Oleh Rabiatul Adawiyah Lubis
MEDAN, PILAR MERDEKA – Menurut Cambridge Dictionary, Oksigen adalah unsur kimia yaitu gas tanpa bau atau warna. Oksigen membentuk sebagian besar udara di bumi, dan sangat dibutuhkan oleh semua mahluk hidup, baik itu manusia, hewan dan tumbuhan.
Pada kondisi normal, manusia mampu menghirup udara atmosfir yang mengandung sebanyak 21% oksigen (O2) dengan tekanan parsial sebesar 150 mmHg melalui sistem respirasi.
Oksigenasi adalah memberikan aliran oksigen (O2) lebih dari 21% pada tekanan 1 atmosfer sehingga konsentrasi oksigen meningkat dalam tubuh.
Terapi oksigen (O2) merupakan suatu intervensi medis berupa upaya pengobatan dengan pemberian oksigen (O2) untuk mencegah atau memperbaiki hipoksia jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan agar tetap adekuat dengan cara meningkatkan masukan oksigen (O2) ke dalam sistem respirasi, meningkatkan daya angkut oksigen (O2) ke dalam sirkulasi dan meningkatkan pelepasan atau ekstraksi oksigen (O2) ke jaringan.
Dalam penggunaannya sebagai modalitas terapi, oksigen (O2) dikemas dalam tabung bertekanan tinggi dalam bentuk gas, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa dan tidak mudah terbakar. Oksigen (O2) sebagai modalitas terapi dilengkapi dengan beberapa aksesoris sehingga pemberian terapi oksigen (O2) dapat dilakukan dengan efektif, di antaranya pengatur tekanan (regulator), sistem perpipaan oksigen (O2) sentral, meter aliran, alat humidifikasi, alat terapi aerosol dan pipa, kanul, kateter atau alat pemberian lainnya.
Dalam pemberian terapi oksigen (O2) harus dipertimbangkan apakah seseorang benar-benar membutuhkan oksigen (O2), apakah dibutuhkan terapi oksigen (O2) jangka pendek (short-term oxygen therapy) atau panjang (long-term oxygen therapy). Oksigen (O2) yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.
Terapi Oksigen (O2) Jangka Pendek
Terapi oksigen (O2) jangka pendek ini merupakan terapi yang dibutuhkan pada keadaan hipoksemia akut, di antaranya pneumonia, penyakit paru obstruktif kronis PPOK dengan eksaserbasi akut, asma bronkial, kemudian gangguan kardiovaskuler dan emboli paru atau gumpalan darah paru yang menghambat peredaran darah di paru-paru.
Pada keadaan tersebut, oksigen (O2) harus segera diberikan dengan adekuat dimana pemberian oksigen (O2) yang tidak adekuat akan dapat menimbulkan terjadinya kecacatan tetap ataupun kematian.
Maka pada kondisi ini, oksigen (O2) diberikan dengan fraksi oksigen (O2) (FiO2) berkisar antara 60-100% dalam jangka waktu yang pendek sampai kondisi klinik membaik beserta terapi yang spesifik diberikan.
Terapi Oksigen (O2) Jangka Panjang
Digunakan pada kasus dengan hipoksemia, terutama pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan kelompok yang paling banyak menggunakan terapi oksigen (O2) jangka panjang.
Terapi oksigen (O2) jangka panjang pada seseorang dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) selama empat sampai delapan minggu bisa menurunkan hematokrit, memerbaiki toleransi latihan dan menurunkan tekanan vaskuler pulmoner.
Pada seseorang dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan kor pulmonal, terapi oksigen (O2) jangka panjang dapat meningkatkan angka harapan hidup sekitar enam sampai dengan tujuh tahun.
Selain itu, angka kematian bisa diturunkan dan dapat tercapai manfaat survival yang lebih besar pada orang dengan hipoksemia kronis apabila terapi oksigen (O2) diberikan lebih dari dua belas jam dalam satu hari dan berkesinambungan.
Oleh karena terdapat perbaikan pada kondisi pasien dengan pemberian terapi oksigen (O2) jangka panjang, maka saat ini direkomendasikan untuk pasien hipoksemia (PaO2 < 55 mmHg atau SaO2 < 88%), terapi oksigen (O2) diberikan secara terus menerus selama dua puluh empat jam dalam satu hari. Pasien dengan PaO2 56 sampai dengan 59 mmHg atau SaO2 89%, kor pulmonal dan polisitemia juga memerlukan terapi oksigen (O2) jangka panjang.
Pada keadaan ini, awal pemberian terapi oksigen (O2) harus dengan konsentrasi rendah (FiO2 24-28%) dan dapat ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil pemeriksaan analisa gas darah dengan tujuan mengoreksi hipoksemia dan menghindari penurunan pH di bawah 7,26.
Terapi oksigen (O2) dosis tinggi yang diberikan kepada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) yang sudah mengalami gagal napas tipe II akan dapat mengurangi efek hipoksik untuk pemicu gerakan bernapas dan meningkatkan ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi. Hal ini akan menyebabkan retensi CO2 dan akan menimbulkan asidosis respiratorik yang berakibat fatal.
Seseorang yang menerima terapi oksigen (O2) jangka panjang harus dievaluasi ulang dalam dua bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap atau ada perbaikan dan apakah masih dibutuhkan terapi oksigen (O2) lagi. Kemudian sekitar 40% yang mendapat terapi oksigen (O2) akan mengalami perbaikan setelah satu bulan pemakaian dan tidak perlu lagi meneruskan pemakaian terapi oksigen (O2). (dikutip dari berbagai sumber)