Oleh Maal Indrawan, SE
“Kesadaran dan Berbudaya”
Lingkungan dan/atau suasana di tempat tinggal sekitar kita tertata rapi, terlihat indah, nikmat mata memandang dan terasa nyaman, tentulah idaman setiap orang. Mampukah kita mempertahankan pelestarian alam nan asri di wilayah DKI Jakarta di zaman ini, sepertinya sudah jauh dari kata ‘mampu’, itu tinggal harapan semata.
Luas wilayah Jakarta mencapai 664 Km2 (data Pemprov DKI Jakarta), jumlah penduduk lebih dari 10 juta jiwa, dan kepadatan penduduk sekitar 13 ribu jiwa per Km2. DKI memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) tidak mencapai 6 persen dari luas wilayah Jakarta, atau masih jauh dari yang ditargetkan 30 persen.
Memperhatikan kondisi di wilayah Jakarta, secara umum hampir sudah tidak ada lagi ditemukan lingkungan atau suasana rumah tinggal yang asri. Kalaupun ada di komplek perumahan, itupun hanya sebagian, perumahan kelas menengah keatas atau perumahan elite.
Dulunya rumah tinggal penduduk asli (Betawi) boleh dibilang rata-rata memiliki pekarangan/halaman yang tumbuh sejumlah tanaman, berupa jenis kembang dan tanaman buah, terlihat suasana saat itu masih asri.
Namun seiring waktu, perlahan suasana seperti itu terus berkurang. Pekarangan/halaman rumah yang dulunya dihiasi tanaman, sudah berganti bangunan, kalau tidak dibangun warung, ya rumah kontrakan atau kos-kosan. Artinya, lahan penghijauan berkurang, bangunan semakin padat rapat dan membuktikan keasrian mulai minus.
Contoh lain, para pendatang atau kaum urban, membeli tanah sebatas untuk rumah tinggal, luas tanah antara 50-100 m2, cenderung mereka akan memanfaatkan tanah semaksimal mungkin untuk bangunan rumah, bahkan membangun rumah ngepas ke tepi jalan. “Urusan izin/tata ruang, dan AMDAl, bagaimana nanti, yang penting rumah berdiri, kira-kira begitu di benaknya.”
Lain lagi dengan warga punya kendaraan roda empat/mobil tapi tak punya garasi. Mobilnya ada yang parkir di pinggir jalan depan rumah, Perda terabaikan, dan sebagian mobil numpang di lahan tetangga. Selain itu, ada warga punya mobil dan garasi, tetapi lebar jalan menuju rumahnya ngepres pas satu mobil. Situasi dan kondisi tersebut, tentu mengusik orang lain. Hanya saja, suasana itu sudah lumrah dan membudaya di sebagian masyarakat.
Gambaran sederhana diatas itu, menunjukkan bahwa secara umum lingkungan atau suasana di wilayah Jakarta, sudah mustahil bisa disunglap untuk menjadi asri. Sekalipun segala upaya akan dikerahkan Pemda DKI Jakarta, baik berbentuk fisik maupun non fisik atau aturan.
Tapi paling tidak, mempertahankan, menjaga, merawat dan mendandani sisa-sisa ke-asri-an lingkungan yang ada saat ini adalah sikap bijak yang harus diimplementasikan. Sikap itu bukan saja beban di “pundak” Pemerintah, tetapi warga masyarakat juga harus turut berperan aktif.
Kalau tidak salah, 5 tahun ke depan Jakarta dicanangkan akan menjadi salah satu diantara 20 kota megah di dunia-Global City Top Twenty. Dan salah satu persyaratannya, lingkungan-lingkungan atau suasana di wilayah DKI Jakarta dinilai asri, tertata rapi, indah, nikmat dipandang mata dan nyaman.
Tentu tidaklah semuda mencanangkan untuk mewujudkan Jakarta of Global City Top Twenty. Optimis terwujud, dengan catatan Pemda DKI Jakarta harus bekerja ekstra, dan maksimalkan penggunaan anggaran yang ada tepat sasaran. Selain itu, peran serta warga masyarakat Jakarta juga menentukan.
Ingat, menanamkan dan menumbuhkan rasa kesadaran dan berbudaya untuk peduli serta bertanggungjawab atas kelestarian lingkungan di sekitar kita, adalah kunci mempertahankan sisa-sisa ke-asri-an alam Jakarta.
Air Mengalir Ke Rumah
Dalam beberapa hari terakhir, Jakarta di guyur hujan. Minggu malam Senin, (2/3)-(3/3), sekitar Jam 24.00 WIB – 03.30 WIB, hujan cukup deras dan hampir merata di wilayah Jakarta. Sebagian warga terdampak, air kali mengalir sampai ke sejumlah rumah.
Salah satu rumah warga terdampak banjir, yaitu rumah Pak Kosasih, warga RT.004/RW.06 Kelurahan Cipayung, Jakarta Timur. Kali Jati meluap, kemungkinan kali tak mampu menampung deras air hujan dengan intensitas tinggi, hampir empat jam hujan, sesaat redah dan kembali hujan.
Bukan ukuran Kali Jati kurang lebar dan kurang dalam, atau belum diturap (belum ada struktur konstruksi penahan tanah), tapi diperkirakan aliran air diantara sepanjang Kali Jati, tersendat/terhambat. Aliran air dari arah selatan ke utara, atau dari belakang Kantor Kecamatan Cipayung mengalir ke arah Bambu Apus.
Dari penelusuran di lokasi Kali Jati, setidaknya ada dua penyebab air tersendat mengalir hingga meluap sampai ke rumah warga. Pertama, lebar kali tidak rata atau tidak simetris kiri ke kanan dan dari hulu ke hilir, ibarat bentuk botol berbaring.
Kedua, sampah-sampah kecil seperti plastik dan ranting kayu, meski bobot tidak banyak tetapi berpotensi memperlambat aliran air, apalagi kali belum diturap. Mungkin masih ada faktor lainnya.
Pagi sekitar Jam 7.30 WIB, selaku Ketua LMK dan Formapel, langsung bergerak ke lokasi untuk monitoring situasi-kondisi rumah warga dan survey Kali Jati. Turut monitoring, Lurah Cipayung, Yulian Fathiniah dan RW.06, Amid S.
Penulis adalah Ketua Forum Masyarakat Peduli Lingkungan (Formapel) Kelurahan Cipayung.