JAKARTA, PILAR MERDEKA – Berpostur badan langsing padat tidak gemuk, proporsional dengan tinggi sekitar 175 CM, terlihat perlahan berjalan memilih salah satu kursi di meja bagian belakang RM Padang wilayah Ceger, Cipayung, Jakarta Timur. Ia adalah Tuih, S.Sos, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Kelurahan Cipayung.
Sore itu, sekitar Jam 17.30 WIB, Sabtu (8/3), Tuih datang ke rumah makan untuk berbuka puasa bersama tiga orang lainnya. Di sela-sela Tuih bercerita, pelayan menghampiri menawarkan pesanan, dan tak berselang lama, makanan serta minuman terhidang siap santap, dan mereka pun berbuka puasa dengan hidangan apa adanya, kikil/tunjang lauk favorit bersama.
Putra Betawi tulen, kelahiran Setu lima puluh tahun silam, dikaruniai tiga anak, dua laki dan satu perempuan dari pernikahannya dengan istri tercinta, Yunianingsih. Anak sulung duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah atas, anak kedua kelas lima dan bungsu kelas dua sekolah dasar. Tuih bersama anak dan istri bertempat tinggal di RT.004/RW.05 Kelurahan Setu, Cipayung.
Pertama mengenakan seragam Satpol PP sebagai honorer pada 1999, bertugas di Balaikota/Kantor Gubernur DKI Jakarta dan Walikota Jakarta Timur hingga tahun 2000. Berlanjut, 2001-2004 di Kecamatan Cipayung, 2004-2008 di Kelurahan Lubang Buaya, dan berdinas agak lama di Kelurahan Ceger, 2008-2018. Pada 2007, Tuih diangkat menjadi PNS/ASN dalam lingkup kerja Dinas Satpol PP Pemda DKI Jakarta.
Di 2015, saat masih bertugas di Kelurahan Ceger, Tuih sudah menjabat Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP). Dan 2018 hingga sekarang, ia berdinas di Kelurahan Cipayung. Kata pria yang berpenampilan rapi itu, sudah dua puluh enam tahun sebagai Satpol PP, tentulah ada kejenuhan, itu manusiawi dan mungkin teman-teman yang lain juga mengalami hal sama. Tapi namanya dinas, harus selalu siap mobile.
Secara umum, Satpol PP tak jarang dihujat sebagian masyarakat, contohnya oleh para pedagang kaki lima atau pedagang yang letak lapak bukan pada tempatnya. Bahkan, terkadang tak terhindarkan Satpol PP terpaksa berbenturan fisik dengan para pedagang atau pihak yang terkena tindakan/eksekusi.
Sebagai penegak Peraturan Daerah (Perda), kalaupun dihujat, dicemooh dan bahkan dicaci maki adalah konsekuensi tugas bagi Satpol PP. Maka, bila melakukan penindakan terhadap para pelanggar Perda tentang ketertiban umum, Satpol PP harus dibarengi aturan atau pedoman hukum. Pedomannya, SOP (Prosedur Operasional Standar) berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Propinsi DKI Jakarta Nomor 221 Tahun 2009 tentang petunjuk pelaksanaan Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum.
Sebelum melakukan tindakan, pelanggar diberikan peringan lisan, bila tidak diindahkan dibuatkan peringatan tertulis. Untuk petunjuk kerjanya 731, 7 hari, 3 hari dan peringatan terakhir pelanggar diberikan waktu 1 hari agar mematuhi aturan yang sudah disampaikan secara tertulis tersebut, jika tidak, terpaksa ditindak tegas.
Contoh, ada pedagang makanan dan minuman ringan, seperti penjual gorengan dan es di tepi jalan depan mini market. Kalau si pedagang ditegur, alasannya sudah dapat izin dari pemilik mini market. Dan kalau benar sudah dapat izin, petugas Satpol PP minta si pedagang agar pindah ke area mini market, jangan berjualan di tepi jalan, karena mengganggu ketertiban umum yang berpotensi menimbulkan kemacetan dan lain-lain.
“Kalau tidak ditindak, memungkin para pedagang seperti itu akan semakin bertambah di tepi jalan,”tandas Tuih yang sekilas terlihat kalem, luas dan tegas. Lanjut Tuih, kalau berjualan di atas trotoar dan di depan halte hampir sudah tidak ada, kalaupun ada, si pedagang mencari celah di kala petugas lalai.
Memang di mata masyarakat Satpol PP dinilai selalu kurang baik, apalagi saat melakukan penindakan, seperti penertiban pedagang kaki lima. Tetapi di pihak lain, tak jarang ada juga warga masyarakat yang meminta Satpol PP untuk menertibkan pedagang kaki lima atau pedagang tepi jalan.
Terlebih di saat jam-jam sibuk, dampak pedagang tepi jalan yang bisa berpotensi penyumbang kemacetan, sehingga ada warga pengendara mobil khususnya merasa kurang nyaman dan kemudian menyarankan kepada Satpol PP untuk bertindak.
Disamping itu, Satpol PP juga dituntut agar tanggap dan turut peduli terkait penataan kawasan. Contoh, eks Kantor Lurah Cipayung (asset Pemda DKI) di Jalan Raya Cipayung, kosong dan tidak dimanfaatkan dalam kurun waktu sudah bertahun-tahun. Kondisi itu berpotensi dan khawatir digunakan untuk tempat yang tidak baik, tempat ngumpul orang-orang minum-minuman keras, narkoba dan lainnya.
Sekitar 2021, Tuih selaku Kasatpol PP bersama Lurah Cipayung, Yulian Fathinia berkoordinasi, dan kemudian membongkar bangunan eks kelurahan tersebut. Kini lahannya dimanfaatkan menjadi taman dan alun-alun di wilayah Cipayung.
Tuih menambahkan, secara jujur, sebagai Satpol PP, ia “membenturkan hati nurani” dengan tuntutan tugas. Kata Tuih, sebagai manusia biasa, tentulah punya rasa untuk tidak bertindak fisik meminta pedagang tepi jalan angkat kaki. Tetapi di sisi lain, perintah tugas harus dilaksanakan sesuai ketentuannya. “Kami bukan melarang berjualannya, tapi jangan berjualan di tempat yang dilarang,”tegas lelaki berkulit sawo matang, beranjak menuju Kasir RM Padang. (Roels)