PILAR MERDEKA – Ini perjalanan saya (My Fam Trip) ke Nias Selatan (Nisel) beberapa bulan lalu selama empat hari tiga malam bersama rombongan Dinas Kebudayaan Pariwisata Sumatera Utara (Disbudpar Sumut), yang saat ini disebut menjadi Dinas Kebudayaan Pariwisata Ekonomi Kreatif Propinsi Sumatera Utara (Disbudparkraf Sumut).
Dalam rombongan Fam Trip ini berjumlah 26 orang yang dipimpin oleh Dedi Arian Rizki Siregar, S.STP Kepala Seksi Promosi Pariwisata dari Disbudparkraf Sumut, Novita Rahayu, S.Par, Septiana Perdana dan lainnya. Kemudian Putri Pariwisata 2022 Elma Hana Hasibuan, juga para pelaku pariwisata Sumut, seperti ASPPI, HPI serta awak media TV, media Online, fotografer dan content creator.
Fam Trip atau Familiarization ini merupakan perjalanan yang bertujuan memperkenalkan destinasi wisata di suatu daerah dan Ini salah satu langkah untuk mempromosikan destinasi pariwisata. Seperti yang dilakukan Disbudparkraf Sumut pada saat itu menyelenggarakan Fam Trip ke Nias Selatan.
Melalui penerbangan Citilink IW 1269 rombongan Fam Trip berangkat dari Bandara Kualanamu pukul 10.20 WIB. Tiba di bandara Binaka Nias pukul 11.20 WIB, kemudian lanjut menuju rumah makan Padang yang tidak jauh dari bandara. Usai makan langsung menuju salah satu destinasi, yaitu Desa Wisata Hilisimaetano.
Sekitar tiga jam di tengah guyuran hujan saat itu perjalanan menuju desa Hilisimaetano kami tempuh. Tanjakan demi tanjakan, tikungan demi tikungan situasi jalan licin sebagai penghias perjalanan kami. “Sayang seandainya hari cerah, kami dapat menikmati keindahan alam Nisel selama perjalanan ini,” gumamku dalam hati.
Desa Wisata Hilisimaetano
Setiba di Desa Wisata Hilisimaetano rintik hujan masih menyelimuti suasana desa, udara terasa sejuk merasuki sendi-sendi dalam tubuh ini. Ternyata kehadiran kami telah dinanti dan disambut Kabid Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Liberty fau, Kabid Pemasaran Yan Prince Laoli serta Kepala Desa Hilismaetano, Formil Dakhi S.Pd.K beserta perangkat desa dan masyarakat setempat.
Saya bersama rombongan langsung menuju ke pemukiman desa, secara perlahan satu persatu kami menapakkan kaki ke tangga yang terbuat dari batu sebagai pintu gerbang desa, lalu sejenak diberhentikan kemudian masing-masing diberikan topi yang mereka sebut sou, Itulah tradisi untuk menandai bahwa kami telah “dilindungi” di Desa Hilisimaetano dan sou itu hasil kerajinan masyarakat.
Kemudian kami dipersilahkan untuk mengambil posisi duduk di halaman desa. Laksana tamu kehormatan, kami disambut tarian indah Fanema Tome. Sebuah tarian adat Nias Selatan yang spesial untuk menerima tamu-tamu kehormatan. Ciri khas para penari terletak pada busana yang dikenakan.
Tersontak kagum terucap dalam hati melihat kearifan lokal dan budaya di desa ini, antusias mulai dari anak-anak perempuan hingga orang tua untuk melakoni tarian ini, “Sangat luar biasa mereka yang sangat peduli dengan seni dan kebudayaan daerahnya,” ujarku dalam hati.
Terlihat para penari putri mengenakan pakaian adat Õröba Si’öli. Sementara, penari pria mengenakan pakaian adat yang disebut Baru Oholu. Pakaian adat tersebut memiliki warna khas, yakni warna emas atau kuning yang dipadukan dengan warna lain seperti hitam, merah, dan putih.
Para penari Fanema Tome tadi tergabung dalam sanggar Ansambel Musik Hilisimaetano. Mereka biasanya memang mendapat peran menari di pintu gerbang desa, Bawagoli.
“Kami memiliki beberapa sanggar sebagi sarana latihan pemuda-pemudi. Khusus anak-anak ada sanggar budaya cilik yang melatih usia dini untuk mempelajari seni tari Hilisimaetano,” ujar Kristiaman Dakhi, S.Kom, Sekdes Hilismaetano.
Kemudian ia menyebut sejumlah nama sanggar, di antaranya Faluaya, Hoho dan Mogaele. Nama terakhir adalah saggar khusus untuk perempuan. “Sanggar-sanggar itu juga ada yang mengajarkan seni melompat batu yang memang menjadi atraksi unggulan Nias,” ujar Dakhi
Setelah itu kami juga dipertunjukkan bagaimana membuat sou oleh sekelompok emak-emak tengah menyulam sou. Kegiatan itu mereka namakan “mobewewò“. Beberapa peserta Fam Trip ada yang tertarik mencoba bagaimana cara membuat topi sou. Tak jauh dari situ, kami diperlihatkan aktivitas emak-emak menumbuk padi di Losu. Cara tradisional mengolah padi hasil panen menjadi beras yang siap ditanak.
Selagi kaum ibu mengolah makanan di dapur, anak-anak pun bermain. Itulah yang dipertontonkan kepada kami. Sebuah permainan anak-anak yang disebut Fasukhu-sukhu dimainkan sejumlah anak berpakaian adat dengan riang gembira.
Lompat Batu
Usai menyaksikan tarian indah Fanema Tome serta kegiatan lainnya lalu kami menyaksikan lompat batu masih di desa Hilisimaetano. Anak-anak diajari melompat batu sejak usia 8 tahun. Lompat batu dalam bahasa Nias disebut hombo atau fahombo. Saat bocah, mereka diajarkan melompati batu yang tentu saja masih rendah. Bahkan bukan batu, melainkan replika kayu berbentuk tumpukan batu.
Lompat batu adalah uji ketangkasan, umumnya untuk pria. Zaman dahulu, tingkat kematangan seorang pria adalah ketika sudah berhasil melompati tumpukan batu setinggi 2 meter. Itu artinya, ia sudah siap menjadi prajurit desa.
Atraksi Lompat Batu ini sudah kesohor, ini merupakan atraksi yang selalu di tunggu ketika berkunjung ke desa ini. Selain itu ada atraksi yang tak kalah menarik lainnya adalah Famadaya Harimao, Maluaya (Tari Perang) ini diperankan oleh anak-anak hingga orang tua dengan pakaian dan peralatan perang. Kemudian Famadaya Harimao (Lawölö Fatao) adalah ritual tolak bala dan penetapan hukum-hukum adat yang berlaku di Desa Hilisimaetanö dan daerah sekitar.
Usai menyaksikan atraksi wisata budaya di Desa Hilisimaetano, kami pun melakukan foto bersama dengan membentangkan spanduk Fam Trip Nias Island 2022. Saat pengambilan video pendek, kami bersama-sama mengucapkan, “Mari berwisata DiSumutAJA”.
Rombongan Fam Trip pun menuju Baga Resort Hotel yang terletak di Jalan Lagundri Km. 12, Desa Laundri, Kec. Luahagundre Maniamolo, Kab. Nias Selatan, disana rombongan Fam Trip istirahat dua malam.
Batu Megalit
Hari kedua, rombongan Fam Trip menuju Situs Batu Megalit di Desa Lahusa Idanotae, Tundrumbaho. Tiba di sana pukul 11.30 dan rombongan berhenti di depan rumah kepala Desa. Pimpinan Fam Trip, Shan Ilano dari HPI Sumut mengajak peserta makan, sebelum menuju situs Batu Megalit, makanan sudah dibeli sebelumnya.
Usai makan, rombongan berjalan kaki sekitar 15 menit menyusuri jalan menanjak, di beberapa bagian yang terjal jalanan dibuat undak-undakan, dalam perjalanan saya melihat beberapa warga desa sedang mencungkil tanaman yang terlihat seperti tanann lengkuaa, lalu saya tanya, “Maaf Pak, itu tananan apa ya?” lalu si Bapak menjawab, “Ini tanaman Kapulaga,”. Dan ternyata desa ini termasuk penghasil kapulaga yang merupakan salah satu rempah untuk masak soup.
Kemudian saya melanjutkan, yang sudah agak tertinggal jauh dari rombongan. Tiba di lokasi, rombongan Fans Trip disambut Tari Elang (Tari Moyo). Tarian itu merupakan bagian dari ritual sebelum berkunjung ke situs Batu Megalit.
Menurut penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Medan melalui analisis metode carbon dating, situs ini tercatat antara 460 – 220 tahun yang lalu. Situs bersejarah ini, sejak tahun 2021 sudah mulai ditata, agar semakin banyak wisatawan domestic dan manca negara berkunjung ke sana.
Desa Wisata Hilinawalo Fau Batu Salawa
Usai meninjau Situs Batu Megalit, rombongan melanjutkan perjalanan darat menuju Desa Wisata Hilinawalo Fau Batu Salawa, Kecamatan Fanayama. Jalur yang berliku tajam, diseling sejumlah tanjakan terjal, menjadikan perjalanan terasa lebih eksotik.
Setelah dua jam perjalanan, rombongan tiba di lokasi, dan kembali disambut tarian adat. Rombongan juga dijamu kuliner lokal seperti, babahe, nasi yang dimasak dengan periok tanah. Ada kolak, lepat ubi, air minum daun pepaya dan lainnya.
Desa Hilinawalo Batusalawa merupakan satu dari empat desa yang masih memiliki Omo Nifolasara (Rumah Adat Besar dengan hiasan kepala lasara yang merupakan rumah tempat tinggal Si’ulu). Keberadaan Omo Nifolasara yang sudah berusia sekitar 10 generasi ini terbilang unik, dan memberi daya tarik tersendiri bagi siapa pun yang datang berkunjung.
Selain itu, Desa Hilinawalo Batusalawa menjadi salah satu dari sedikit desa-desa adat di Nias yang masih memiliki kelengkapan elemen-elemen desa adat khas Nias Selatan seperti: Gerbang desa (Bawagoli), Susunan batu yang menjadi poros desa (Iri Newali), Batu pusat desa (Fuso Newali/Fuso Banua), Tugu lompa batu (Hombo batu), Situs musyawarah adat (Ewali Orahua), Rumah raja (Omo Nifolasara), Pancuran batu tempat pemandian umum (Hele), dan sebagainya.
Desa Hilinawalo Fau/Hilinawalo Batusalawa merupakan desa adat karena selain dikelola berdasarkan prinsip hukum administrasi negara, juga diatur menurut hukum adat lokal yang telah berlaku selama ratusan tahun, dan mengambil wujud dalam relasi antara Si’ulu (Bangsawan), Si’ila (Kaum cerdik pandai) dan Sato (Masyarakat).
Pantai Sorake
Pulang dari Hilinawalo Fau, saya beserta rombongan Fam Trip menuju ke penginapan, tetapi terlebih dahulu kami singgah di Pantai Sorake tempat digelarnya makan malam yang telah dipersiapkan sebelumnya. Malam itu kami disajikan makanan seperti udang, ikan, sayur-sayuran dan sebagainya.
Sorake adalah pantai yang bersebelahan dengan pantai Lagundri yang legendaris. Kawasan pantai yang satu ini, terkenal dengan ombaknya yang besar sehingga sangat cocok untuk kegiatan berselancar.
Setiap tahun banyak wisatawan terutama wisatawan mancanegara (wisman) berselancar di pantai ini. Pantai Sorake ini merupakan surganya para pecinta surfing. Tak main-main, pantai ini disebut sebagai tempat surfing terbaik nomor dua di dunia setelah Hawai.
Pantai Sorake sering dijadikan lokasi kejuaraan surfing kelas dunia, seperti Nias Selatan Open Surfing Contest dan Nias Pro, yang diikuti oleh peserta dari berbagai negara. Di Pantai Sorake ini pengunjung juga disuguhkan oleh pemandangan batu karang, yang betebaran, indah untuk dipandang. Sehingga sangat disayangkan malam itu kami hanya mendengar desiran ombak, hembusan angin yang merasuk ke dalam tubuh.
Museum Pusaka Nias
Hari ketiga, peserta saya dan rombongan Fam Trip Disbudparkraf Sumut bergeser menuju Gunungsitoli. Sebelumnya, kami singgah ke Walo Green Beach dengan jarak tempuh setengah jam.
Puas menikmati pantai dengan berfoto-foto, rombongan menempuh perjalanan dua jam menuju Miga Beach Hotel di Kota Gunungsitoli, tempat kami menginap satu malam lagi sebelum esok paginya pulang menuju Kota Medan.
Siang itu kami makan di Hotel Miga Beach, lokasinya tidak jauh dari bibir pantai, sehingga desiran ombak, angin sepoi-sepoi membuat tambah selera makan siang itu. Setelah makan rombongan beranjak menuju Museum Pusaka Nias di Jalan Yos Sudarso Ujung No.134-A, Iraonogeba, Kec. Gunungsitoli, Kota Gunungsitoli. Setiba di area museum hujan pun kembali turun setiba di dalam area.
Museum Pusaka Nias lokasinya tidak jauh dari pantai, ada beberapa fasilitas di area ini, ada penginapan tempat pertemuan, cafe, taman rekreasi, Pustaka dan lain-lain. Juga di museum ini terdapat benda-benda terkait budaya dan sejarah Nias serribuan artefak.
Museum ini dikelola oleh Yayasan Pusaka Nias yang bersifat sosial dan nirlaba. Kegiatan utamanya berfokus pada pelestarian budaya Nias. Yayasan Pusaka Nias didirikan oleh Pastor Johannes Hammerle yang telah bekerja di Nias sejak tahun 1971.
Setelah mengelilingi museum saya dan rombongan Fam Trip menuju kota tempat penjualan oleh-oleh, untuk membeli makanan atau cendramata khas Nias. Sekitar satu jam berkeliling kami pun kembali ke Hotel Miga Beach.
Pentahelix
Malam harinya, saya beserta rombongan Fam Trip mendapatkan cenderamata dari Dedi Arian Rizki Siregar, S.STP, Kepala Seksi Promosi Pariwisata dari Disbudparkraf Sumut. Sebelumnya, Dedi Arian menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk promosi sekaligus pengenalan destinasi wisata yang dilakukan secara penthahelix.
Kolaborasi pentahelix adalah sebuah kerja bersama yang melibatkan banyak unsur terkait, di antaranya pemerintah, unsur masyarakat, akademisi, pengusaha, dan media. “Komitmen dan sinergi antar unsur menjadi kunci utama,” tambahnya.
Kemudian kepada para travel agent, Dedi mempersilakan buat kemasan paket wisata ke Nias. Kepada media, ia juga meminta bantuannya dalam memasarkan pariwisata Nias pada khususnya, dan Sumatera Utara pada umumnya.
Keesokan paginya saya bersama rombongan Fam Trip Disbudparkraf Sumut beranjak ke Bandara menuju Kota Medand iantar oleh empat orang driver handal yang menemani kami selama di Nisel dan Nias, “Terimakasih abang-abang yang sudah mengantar kami dari datang sampai pulang, sampai ketemu jika diberi kesempatan lag, ” ucapku kepada Mereka.(Monang Sitohang)