NIAS SELATAN, PILAR MERDEKA – Desa Hilismaetano merupakan sebuah Desa Cagar Budaya yang berada di Kabupaten Nias Selatan (Nisel), Sumatera Utara. Bagi pecinta traveling desa ini wajib Anda kunjungi jika bepergian ke Kepulauan Nias. Tidak berlebihan memang jika menyebut desa yang satu ini sebagai pesona daya tarik wisata Nias.
Jadi sungguh beralasan pula mengapa Desa Hilismaetano menjadi begitu kaya akan ragam budaya beserta situs peninggalan masa lampau. Bisa jadi, ini erat terkait dengan sejarah imigrasi suku “Ono Niha” ke Nias pada tahun 1350 M.
Sebagai permukiman pertama yang didirikan berada di Sifalagö Gomo, Nias Selatan. Orang-orang Ono Niha dikenal memiliki pengetahuan unggul untuk teknik bangunan dan pembuatan alat besi. Dari Gomo mereka tersebar ke seluruh pulau sampai semua orang Nias menyebut diri mereka Ono Niha.
Beberapa bulan lalu saya berkesempatan melihat langsung budaya Desa Hilismaetano bersama rombongan Fam Trip Disbudpar Sumut. Dan kami disambut Kepala Desa Hilismaetano, Formil Dakhi S.Pd.K beserta perangkat desa, serta masyarakat setempat.
Sanggar Budaya
Laksana tamu kehormatan kala itu, kami peserta Fam Trip Disbudpar Sumut disambut tarian indah Fanema Tome. Sebuah tarian adat Nias Selatan yang spesial untuk menerima tamu-tamu kehormatan. Ciri khas para penari terletak pada busana yang dikenakan.
Para penari putri mengenakan pakaian adat Õröba Si’öli. Sementara, penari pria mengenakan pakaian adat yang disebut Baru Oholu. Pakaian adat tersebut memiliki warna khas, yakni warna emas atau kuning yang dipadukan dengan warna lain seperti hitam, merah, dan putih.
Para penari Fanema Tome tadi tergabung dalam sanggar Ansambel Musik Hilisimaetano. Mereka biasanya memang mendapat peran menari di pintu gerbang desa, Bawagoli.
“Kami memiliki beberapa sanggar sebagi sarana latihan pemuda-pemudi. Khusus anak-anak ada sanggar budaya cilik yang melatih usia dini untuk mempelajari seni tari Hilisimaetano,” ujar Kristiaman Dakhi, S.Kom, Sekdes Hilismaetano.
Kemudian ia pun menyebut sejumlah nama sanggar. Di antaranya Faluaya, Hoho dan Mogaele. Nama terakhir adalah saggar khusus untuk perempuan. “Sanggar-sanggar itu juga ada yang mengajarkan seni melompat batu yang memang menjadi atraksi unggulan Nias,” jelas Dakhi
Kemudian di lanjut Dakhi lagi bahwa di Nias Selatan, anak-anak diajari melompat batu sejak usia 8 tahun. Lompat batu dalam bahasa Nias disebut hombo atau fahombo. Saat bocah, mereka diajarkan melompati batu yang tentu saja masih rendah. Bahkan bukan batu, melainkan replika kayu berbentuk tumpukan batu.
Lompat batu adalah uji ketangkasan, umumnya untuk pria. Zaman dahulu, tingkat kematangan seorang pria adalah ketika sudah berhasil melompati tumpukan batu setinggi 2 meter. Itu artinya, ia sudah siap menjadi prajurit desa.
Puncak Nias
Jika Hilismaetano menjadi Desa Cagar Budaya, wajar adanya. Desa seluas 10 km persegi ini dihuni 1.932 warga dari 576 KK. Selain dataran rendah, Hilismaetano juga memiliki sejumlah bukit. Di desa ini terdapat 69 unit rumah adat, serta enam unit home stay dengan nuansa adat Nias yang pekat.
Mayoritas warga Hilismaetano bermata pencaharian sebagai petani. Tak heran jika desa ini menjadi lumbung padi tebesar di Kepulauan Nias.
Percayalah, tidak cukup waktu sehari untuk menikmati semua keindahan desa ini. Banyak objek wisata di sana yg bakal memanjakan Indra penglihatan Anda.
Selain bisa menikmati air terjun berketinggian 50 meter, Anda juga bisa menikmati sejumlah air terjun “anakan” dengan ketinggian sekitar 5 meter. Aneka pohon keras di sekelilingnya, membuat Anda serasa berada di “surga-belantara”.
Belum lagi jika Anda naik ke atas bukit. Dari atas, Anda bisa menyapu-pandang hamparan Nias Selatan yang “ijo royo-royo”. Saat ini, otoritas pariwisata setempat juga mengembangkan kawasan puncak yang lain, dengan spot pemandangan yang mirip, dengan sentuhan yang berbeda.
Ritual Kuno
Bukan satu-dua hasil riset yang menyebutkan, daerah Hilisimaetano di Nias Selatan adalah cikal-bakal peradaban Nias yang kita kenal sekarang. Tonggak waktu yang dicatat para periset tadi adalah tahun 1350 M. Jika dihitung tahun, usianya sudah 6 abad lebih. Persisnya 672 tahun yang lalu.
Menyadari fakta sejarah, otoritas Desa Cagar Budaya di sana pun sangat memelihara tradisi dan adat leluhur. Salah satu yang ditampilkan kepada rombongan Fam Trip Disbudpar Sumut saat itu adalah atraksi Famadaya Harimao.
Famadaya Harimao (Lawölö Fatao) adalah ritual tolak bala dan penetapan hukum-hukum adat yang berlaku di Desa Hilisimaetanö dan daerah sekitarnya. Pada ritual ini, dilaksanakan Fo’ere (doa-doa kuno), serta perarakan patung yang disebut Lawölö Fatao serta diiringi prajurit-prajurit Desa Hilisimaetanö. Atraksi itu kini dibalut peragaan perang seorang prajurit melawan musuh.
Menenun dan Menumbuk
Saya bersama peserta Fam Trip Disbudpar Sumut saat tiba di desa Hilismaetano, pertama-tama diberikan topi yang mereka sebut sou. Itulah tradisi untuk menandai bahwa kami telah “dilindungi” di Desa Hilisimaetano. Bagaimana cara membuat sou (topi khas Nias), pun dipertunjukkan kepada kami.
Lalu tampak sekelompok emak-emak tengah menyulam sou. Kegiatan itu mereka namakan “mobewewò“. Kemudian setalah menyaksikan kegiatan tersebut beberapa peserta Fam Trip ada yang tertarik mencoba bagaimana cara membuat topi sou.
Tak jauh dari situ, kami diperlihatkan aktivitas emak-emak menumbuk padi di Losu. Cara tradisional mengolah padi hasil panen menjadi beras yang siap ditanak.
Selagi kaum ibu mengolah makanan di dapur, anak-anak pun bermain. Itulah yang dipertontonkan kepada kami. Sebuah permainan anak-anka yang disebut Fasukhu-sukhu dimainkan sejumlah anak berpakaian adat dengan riang gembira.
Fa + Sukhu artinya Mencari Sisir. Sisir yang hilang sebagai sumber permainan. Sejumlah anak berdiri sambil memeluk pinggang kawan di depannya, sehingga membentuk barisan memanjang ke belakang. Anak terdepan mengucapkan pekataan “he so zukhugu?” yang artinya “Di mana sisirku?” kepada anak yang ada di belakangnya.
Nah, anak di belakang harus cepat menjawab dengan jawaban “sukhu me furigu” yang artinya “Sisirmu ada di belakangku”. Begitu seterusnya diulang-ulang, hingga tiba giliran anak yang berada di paling belakang. Ia tentu tidak lagi bisa menjawab “sukhu me furigu”, karena di belakangnya tidak ada siapa-siapa.
Dalam permainan itu, anak paling belakanglah yang bersalah. Maka, anak terdepan akan mengejar anak yang paling belakang tapi tetap dalam formasi berbaris memegang pinggang. Jadilah gerakan kepala mengejar ekor yang lucu. Permainan anak yang sangat menghibur.
Bisa kiranya Fasukhu-sukhu diangkat menjadi permainan anak Nusantara, yang masuk kurikulum dan bisa dimainkan seluruh anak di Indonesia. Ia tak kalah menariknya dengan permaina anak nusantara lain, seperti gobak sodor, egrang, patil lele, dan sebagainya.
Keseluruhan acara di Desa Hilisimaetano hari itu, ditutup dengan santap kuliner tradisional. Seorang ibu-ibu menyebutkan nama makanan yang dihidangkan. Saya mendengar ada yang disebut babae, fowi nitutu, kofo-kofo, kamumu nib aba ndrua, sagu nibiniogo, dan gowi nibe balae.
Last but not least, perlu kiranya dicatat informasi ini. Bahwa Desa Hilisimaetano ditetapkan sebagai Desa Cagar Budaya oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Nias Selatan dan Sumatera Utara pada tanggal 27 Oktober 2022. Ketika itu hadir Bupati Nias Selatan, Dr Hilarius Duha, SH, MH serta Kepala Badan Arkeologi Sumut dan Tim Cagar Budaya Sumut.
Bahkan Desa Hilisimaetano tahun lalu
dianugerahi menjadi salah satu dari 50 desa wisata terbaik katagori desa. Untuk itu, desa ini beroleh Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) dari Kemenparekraf. (Monang Sitohang)