MEDAN, PILAR MERDEKA – Nurhasanah (68), ibu empat putra dan putri, nenek sembilan cucu dan satu cicit. Di usia yang tergolong uzur/lansia, hingga kini ia masih mendayung/menggoes sepeda berkeliling menjajakan bubur, bubur sumsum dan bubur candil. Bik Nur, begitu biasa disapa warga, sudah menekuni berjualan bubur sejak 1984, atau sudah 40 tahun turut memikul beban demi tuntutan hidup keluarga.
Kerutan dan bintik/fleg hitam tampak di wajah sebagaimana kebanyakan “wong cilik” yang bekerja keras menguras tenaga demi tuntutan hidup dengan perawatan wajah seadanya. Sekalipun begitu, Bik Nur masih menunjukkan pancaran wajah yang bersemangat tak kenal lelah seakan lupa usia sudah mendekati kepala tujuh.
Bersama sanak keluarga, Bik Nur tinggal di sekitar Jalan Baru, Desa Kolam, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Ia adalah generasi ketiga, atau sudah memasuki generasi kelima bahkan keenam, mulai mbah/nenek, orang tua, Bik Nur, tiga anaknya, cucu dan cicit, tinggal di Kampung Kolam. Bik Nur asli kelahiran Kampung Kolam, sekarang Desa Kolam. “Mulai belum ada penerangan listrik dan jalan masih tanah, ibu sudah tinggal di Kampung Kolam,” cerita Bu Nur kepada Pilar Merdeka. Com, Rabu (26/2/2025).
Rutinitas setiap hari, pada Jam 4.30 WIB, Bik Nur sudah mempersiapkan bahan-bahan untuk diracik menjadi bubur. Bahan dasarnya tepung beras, baik untuk bubur sumsum maupun bubur candil. Sekarang, ia tidak lagi menggiling beras, karena tepung beras sudah diperjual belikan dalam kemasan.
Setelah semua bahan bubur selesai dimasak, kemudian ditata ke dalam sebuah kotak/box berbahan kayu dan diletakkan diatas tempat duduk sepada bagian belakang. Dan sehabis sarapan, sekitar Jam 08.00 WIB, Bik Nur beranjak menggoes sepeda berkeliling kampung menjajakan dagangannya.
Secara umum, menkonsumsi bubur sumsum dan bubur candil (sebagian orang menyebut bubur biji salak), biasanya ditambahkan gula merah cair dan santan matang. Bik Nur juga menyediakan ketan hitam sebagai bahan tambahan, karena sebagian pelanggan punya rasa nikmat sendiri bila bubur sumsum atau bubur candil dicampukan dengan ketan hitam.
Ibu berpenampilan khas celana panjang, baju lengan panjang, dan mengenakan songkok serta ditutup topi ala petani, menyediakan dua pilihan porsi bagi pelanggannya, kecil dan besar. Untuk satu porsi cup kecil Rp.2.000, dan porsi cup besar Rp.5.000,-.
Cerita Bik Nur, berjualan pastilah untung, hanya saja untung itu tidak selalu sama setiap hari, terkadang kalau di musim hujan, sebagian bubur pasti tak terjual. “Kalau jualan habis, rata-rata bisa untung antara 100-200 per hari,”jelasnya sembari berujar nilai uang sekarang.
Persis di seberang Mesjid Jami’ Al-Hakim, Jalan Utama 2, Desa Kolam, Rabu (26/2) di siang hari, sejumlah remaja memanggil dan si pedagang bubur pun berhenti. Masing-masing remaja putri beli bubur pilihannya. “Bik Nur beli bubur candil dua ribu, aku bubur sumsum tiga ribu ya,” sejumlah pelanggan membeli.
Kata Eli, perempuan belasan tahun, bubur candil dan bubur sumsum Bik Nur enak juga murah. Dan sudah langganan warga sekitar. “Bik Nur baik, ramah, kami cuma punya uang dua ribu bisa beli bubur,” puji Eli.
Lanjut Bik Nur, ia sudah tidak sekuat dulu. Tahun 90-an, wanita berdarah Jawa kelahiran Sumatera Utara itu, mengaku masih sangat kuat menggoes sepeda hingga puluhan kilometer. “Dari Kampung Kolam keliling ke Tembung, dan juga sampai ke Perumnas Mandala Medan. Pergi dan pulang kurang lebih 25 kilometer,” kenang Bik Nur dengan wajah sendu.
Ia menambahkan, kalau di rumah saja, mungkin malah penyakit yang datang. Mengharapkan bantuan pemerintah, seumur hidup tak kunjung datang. Lebih baik jualan bubur berkeliling di seputar Kampung Kolam saja. “Ya lumayan buat bisa makan,” imbuhnya. (Monang Sitohang)