JAKARTA, PILAR MERDEKA – Siang itu, dering telepon memecah kesunyian. Nada panggilnya berulang-ulang, seolah membawa kabar yang tak ingin saya dengar. Ketika tersambung, suara yang muncul dari seberang adalah suara yang sangat saya kenal, Haji Ridwan Maga. Sosok yang dulu bekerja di bagian percetakan Harian Umum Jayakarta, dan kini sukses mengelola area parkir di Kranggan Permai, Bekasi.
“Gus, sudah dapat kabar belum? Pak Gatot meninggal , kena kanker paru paru ” ujarnya pelan.
Kalimat sesingkat itu cukup membuat dada saya sesak. Ada ruang yang tiba-tiba runtuh di dalam diri saya.
“Innalillahi wa inna ilaihi rooji’un…” hanya itu yang sempat keluar dari lisan saya. Sebuah refleks duka yang datang bersamaan dengan runtuhnya kenangan.
Alm. Gatot Soetijono berpulang pada usia 71 tahun, Senin , 01 Desember 2025, Jam 13.00 WIB. Mendengar namanya saja sudah cukup membawa saya kembali ke masa-masa di tahun 90-an, saat kami sama-sama bekerja di Harian Umum Jayakarta. Saya di bagian keuangan, sementara alm. Gatot bertugas di bagian umum bersama dua rekannya, alm.Akbar dan Bambang. Bertiga, mereka dijuluki “ABG”: Akbar, Bambang, Gatot. Sebuah julukan sederhana, tetapi sangat menggambarkan kekompakan dan canda riang mereka.
Dalam kegiatan Ex Karyawan Jayakarta, alm.Gatot termasuk yang paling aktif. Hampir setiap ada acara. Entah di Caringin, Bogor atau Anyer, Banten ia pasti hadir. Tak jarang ia datang bersama Haji Ridwan, bergantian menyetir mobil. Keduanya seperti pasangan sahabat yang saling memahami ritme masing-masing.
Saya pun beberapa kali bertemu alm. Gatot di Kantor Haji Ridwan di Kranggan Permai. Kami sering hanya sekadar ngopi, ngobrol apa saja, lalu tertawa tanpa sebab yang penting. Pertemuan-pertemuan itu selalu terasa ringan. Gatot bukan sosok yang ribut, bukan pusat sorotan. Tapi entah bagaimana, kehadirannya justru sering menjadi pemantik suasana menjadi lebih hangat.
Saya masih ingat jelas pertemuan terakhir kami, sekitar sebulan lalu. Kebetulan saya melintas di daerah tempat tinggalnya. Ia menyapa dengan senyum dan keramahan yang sama, seperti tidak ada yang berubah sejak puluhan tahun lalu. Tak tampak sedikit pun tanda-tanda sakit. Siapa sangka, di balik ketenangannya, ia sedang melawan penyakit yang perlahan menggerogoti tubuhnya.
Pernah suatu kali ia bercerita ringan tentang tubuhnya yang kurang enak. “Cuma minum setengah tablet Bodrexin saja sudah baikan,” katanya sambil tertawa kecil. Ia memandang sakit dengan cara yang begitu sederhana, mungkin karena ia memang terbiasa kuat, tidak ingin mengeluh dan enggan merepotkan siapa pun.
Di mata saya, alm.Gatot adalah sosok yang baik dan pendiam. Bila berbicara, suaranya selalu pelan, seperti angin yang lewat dan hilang begitu saja. Namun ia membawa kehangatan yang tenang, kehadirannya mampu membuat orang merasa nyaman tanpa perlu banyak kata.
Kini semua itu hanya tinggal kenangan. Kenangan yang lembut, tapi meninggalkan ruang kosong yang sulit digantikan. Alm.Gatot pergi dalam sunyi, sama seperti dirinya semasa hidup: sederhana, tenang, dan tidak banyak bicara, tapi selalu meninggalkan bekas yang mendalam.
Selamat jalan, Pak Gatot…..
Semoga segala kebaikanmu menjadi penerang di alam sana, dan Semoga Allah menempatkan mu di sisi terbaik-Nya. Aamiin. (Agus Oyenk)


