MEDAN, PILAR MERDEKA – Di ufuk timur sang mentari pagi sekasat mata muncul perlahan keluar dari “persembunyiannya”. Merah berpadu kuning, warna abadi sang mentari yang melambangkan keceriaan, dan semangat energi pagi untuk beraktivitas.
Namun tak selamanya pagi cerah ceria, terkadang sang mentari si pemilik sinar di pagi hari antara jam 09-10.00 yang sarat mengandung sejumlah ‘vitamin’ itu, enggan menampakkan diri hingga tengah hari. Mungkin itulah kodratnya hingga akhir zaman.
Di pulau kecil yang tenang ini, suasana terasa damai. Tidak ada hiruk pikuk kendaraan atau suara mesin. Hanya debur kecil ombak dan kicau burung yang terdengar bersahutan dari kejauhan. Saat udara pagi menyentuh wajah, ada rasa syukur yang pelan-pelan tumbuh—rasa yang sederhana, tapi dalam.
Pagi di Pulo Sibandang yang terletak di tengah Danau Toba, tepatnya di Kecamatan Muara, Tapanuli Utara (Taput), seolah punya cara tersendiri untuk menyapa manusia. Ia tidak pernah mengeluh, selalu tersenyum, dan selalu datang membawa kesempatan baru. Baik bagi mereka yang rajin bangun sebelum matahari terbit, maupun bagi yang masih bergelut dengan kantuk.
Dari ujung dermaga, terlihat nelayan mulai menyiapkan perahunya. Di tepi jalan kecil, seorang ibu tua menjemur ikan asin sambil sesekali menatap langit. Semua tampak sibuk dengan ritme masing-masing, tapi semuanya dimulai dari satu hal yang sama, pagi yang memberi semangat untuk memulai hari.
Bersyukur mungkin terdengar sederhana, namun di Pulo Sibandang, maknanya terasa nyata. Bagi penduduk pulau, setiap pagi adalah anugerah. Kesempatan untuk bekerja, berbagi, dan menjalani kehidupan apa adanya.
“Kalau pagi masih datang, berarti kita masih diberi waktu untuk berbuat baik,” ujar seorang warga kala itu sambil menjerang air di dapur kecilnya. Kata-katanya sederhana, tapi sarat makna.
Memang, tidak semua hari selalu mudah. Ada yang berat, ada yang melelahkan. Tapi sebagaimana pagi yang selalu datang tanpa diminta, harapan pun selalu muncul, bahkan dari kesederhanaan.
Pagi di Pulo Sibandang mengajarkan kita untuk menerima hidup dengan ikhlas. Bahwa setiap hari, sekecil apa pun, selalu punya makna. Dan jika keyakinan belum datang, tidak apa-apa—jalani saja hari dengan langkah ringan.
Sambil menyeruput kopi hangat dan menikmati sepiring sarapan sederhana, pagi terasa lebih ramah. “Kalau nggak sarapan, nggak kuat juga jalanin hari,” kata seorang bapak sambil tersenyum. Kalimat itu terdengar ringan, tapi sebenarnya mengandung pelajaran besar: bahwa hal kecil pun bisa jadi sumber kekuatan.
Pulo Sibandang kala itu bukan sekadar tempat indah di tepi Danau Toba. Ia menjadi cermin kehidupan—tentang ketulusan, kesederhanaan, dan rasa syukur.
Di setiap hembusan angin, di setiap sinar matahari yang menyapa, terselip pesan halus: hidup tidak harus selalu sempurna, cukup dijalani dengan hati yang tenang. Dan seperti pagi yang selalu datang, harapan pun akan selalu kembali. (Monang Sitohang)


