Oleh Budi Sudarman
PILAR MERDEKA – “Ketua….apa kabar?”..Apa petunjuk Bangnda”? Belum sempat menjawab pertanyaan pertama, langsung meluncur pertanyaan kedua, begitu renyah dan ramah kulontarkan pertanyaan kepada seniorku saat masih bersama di sebuah media lokal. Momen pertemuan langka, yang pada akhirnya Sang Maha Kuasa membawa kami berjumpa lagi setelah sekian lama tak bersua.
Akrab dan bersahabat, tak berubah. Masih seperti yang dahulu. Meski ia sudah menjadi orang sukses dalam bisnis dan sebagai anggota DPRD sebuah kabupaten. Spontan, Ia berujar, “Silahkan…silahkan pesan”! Sembari tangannya memberi kode ke pramusaji agar ke meja kami, lalu kembali ia mengatakan, “Silahkan pesan mana yang selera”.
“Semakin awet muda aja Abang kutengok, meski usia semakin bertambah” ujarku, sesaat sang Pramusaji meninggalkan kami.
“Sejak kakakmu pindah tugas promosi di Kepolisian ya abangmu ini ikutlah, meski tak bersama lagi kita kan masih ada liputan sama artikel kukirimkan ke media kita”. “Nah lewat perantara media kita itulah aku ikut berbisnis,” sesaat Pramusaji datang, menata pesanan di meja kami. “Kau ini, dari dulu memang pecandu kopi ya,” saat segelas kopi hitam, air mineral, Roasted Beef Ribs berikut nasinya disajikan kehadapanku. (Jurus Aji Mumpung Kupergunakan)
“Apa bisnis Abang rupanya”? Tanyaku penasaran, menelisik lebih jauh.
“Awalnya ada Tauke memberi kepercayaan padaku untuk menyediakan kayu ke panglongnya, yang kubeli dari warga selanjutnya diolah di Saw Mill salah satu warga lalu antar ke panglongnya”,
“Awalnya pakai truk dan dana dari dia, lewat situlah aku kumpulkan modal buka Saw Mill sendiri, lalu punya anggota sendiri,”.
“Jadi Abang pelaku illegal logging?” Tanyaku lagi, seakan tak percaya.
“Selama abang jadi jurnalis, abang kritis terhadap pelaku pembalakan liar yang merusak lingkungan hidup, semasa kuliah Abang juga ikut Mahasiswa Pecinta Alam, ikut LSM Lingkungan Hidup,”.
“Kenapa jadi berubah begini bang, mana idealisme abang? “Kenapa Abang gadaikan atas nama kata-kata sukses?” ibarat senapan serbu M-16 peluru pertanyaan demi pertanyaan kulontarkan menghujani Bang Danil.
“Begini lanjut bang Danil, sama halnya izin HPH yang dilakukan oleh pengusaha bermodal besar diberi izin oleh pemerintah, selanjutnya kayu diambil untuk dimanfaatkan lalu kawasan tersebut menjadi hutan industri kebun sawit,”.
“Meski diriku tak membayar pajak, keuntungan yang kudapat kusisihkan juga untuk pembangunan jalan, jembatan, rumah ibadah, kegiatan sosial yang memang dirasakan manfaatnya langsung oleh warga sekitar, tak pakai proses tender lah, pakai uang salam lah kepada pemerintahan setempat,”.
Panjang kali lebar bang Danil menjelaskan namun tak mampu lagi ku cerna lewat pendengaran serta ingatan. Terasa sesak dadaku mendengar penuturannya yang disampaikan oleh bang Danil, sambil kuseruput kopiku…kuhisap rokok kretekku….
“Iya bang, kini Abang jd anggota dewan yang membuat aturan agar dilaksanakan pemerintah, malah Abang pelaku langsung yang tidak taat perintah Undang-undang,”
“Dapat modal nyaleg dari arah yang tak tepuji”
Sambil menghela nafas yang dalam Bang Danil menjelaskan “Tapi kini sudah kuhentikan pembalakan liar itu, kilangku hanya beli pohon yang tua milik warga yang kujadikan bahan kayu, sehingga warga kerjanya kadang hari Senin kadang hari Kamis”
“Nah akupun jadi anggota dewan ini berkat dukungan mereka juga, setelah jadi anggota dewan, kuberi dana kepada warga, hutan yang kayunya telah kuambil agar ditanami pohon buah-buahan kualitas unggul, sekarang daerah kami malah jadi swasembada buah-buahan, habis musim ini ganti musim yang ini,”.
“Belum lagi hasil dari pertanian dan peternakan, ternak lembu dan ayam meskipun skala kecil, tapi saat Idul Fitri dan Idul Adha tempat kami ramai dikunjungi orang luar, ada di beberapa tempat jadi sentra ternak lebah penghasil Madu,”.
“Intinya Lih (dari nama panggilanku, Galih) mereka jangan merusak hutan kayak aku,”.
Diam sesaat, suasana menjadi hening.
“Suatu saat bila ada waktu yang pas sama libur anak sekolah ajak keluargamu ke tempat Abang. Soal ongkos Abang yang bayar, soal makan di sana ya apa adanya lah”.
“Nanti sudah sampai sana akan kau lihat, tak ada lagi istilah lahan kosong yang gundul yang isinya cuma tanaman semak dan perdu. Sekarang isinya Rumput Gajah semua,”.
“Perlu juga Abang sampaikan sama Galih, ada sebuah kawasan yang kami tanami kayu Meranti, Damar, Mahoni, Trembesi, sampai Beringin pun kami tanam”, “apalagi ya”, sambil mengernyitkan dahi,”pohon Jati sudah pasti ada, kayu Sungkai, pohon Angsana (Sono) dan Akasia, itu lahannya lih, seluas 20 hektar kurang lebih”. “Sebuah lahan yang cukup luas untuk hitungannya bila jadi kebun Sawit cukup 1 blok”.
“Lahan itu kami rawat lih secara giliran kayak sistim Ronda Kampung, waktu giliran kami, kakakmu, anak-anak dan abangmu ini pas hari Minggu ya ikut kerja bawa golok dan cangkul, karena waktunya yang bisa pas hari Minggu buat kami”.
“Jadi semua warga dapat jadwal piket bersih-bersih”
“Ada gubuknya yang kami buat untuk tempat istirahat dan makan, ada kamar mandi dan toilet serta tempat sholat juga kami bangun. Kalau Mushala sederhana kami buat pakai panggung”.
Sebuah deskripsi dari seorang wartawan senior memberikan testimoni buatku begitu lancarnya, bathinku. Aku simak dan telaah ucapan Bang Danil.
“Jumpa piket kedepannya itu 2 bulan sekali, jadi setiap hari di hutan buatan itu ada aja yang kerja, yang tak bisa piket pagi, siang, tak bisa siang sore lengkap bersama anak-anak yg sudah pulang sekolah”
“Akh…kan karena Abang sudah jadi anggota dewan, bisa bicara gitu” sergahku lagi. “Nah abangmu ini untuk 2024 kan mau maju lagi ke DPR-RI, Abang tau pihak keluarga istrimu itu keluarga besar yang bakal jadi Dapil Abang, kau bantu dulu abangmu ini ya” hening sesaat, sorot mata bang Danil begitu berharap sekali agar aku menerima tawarannya.
Kemudian lanjutnya :”Abang ingin kau jadi Tim Sukses karena Abang tak sukses tanpa bantuanmu” “percayalah idealisme tetap Abang jaga” (Dalam hatiku berkata-kata”apa iya?”) “Ini ada titipan dari kakakmu, pakailah buat keluargamu di rumah ya,”.
“Sampaikan salamku buat istrimu,” begitu lembut dan santunnya kata-kata yang diucapkan Bang Danil bagai sebilah pisau belati yang sudah dibenamkan ke Frezeer seminggu. Dingin……!!! menusuk relung hati dan akalku.
Kuterina amplop kuning yang isinya sangat tebal. Ada rasa percaya dan tak percaya. “Bang, diberinya kita 10 ikat sama bang Danil, tengoklah ini” istriku berbinar matanya antara bahagia dan haru sambil memegang uang pemberian bang Danil. “Padahal tadi siang adek WA sama Abang kan, kalau beras sudah habis untuk esok pagi apalagi si Ayu harus bayar uang les, si Raka jadwal bayar uang latihan Taekwondo”
Aku terdiam…..teringat lagu yang dipopulerkan Iwan Salman :
🎼Siapa benar siapa salah mana sebenarnya yang salah Jika benar takkan salah
Yang salah kan tetap salah 🎤. ***