PILAR MERDEKA – Berbagai masalah film mengemuka dalam Forum Group Discussion (FGD) ‘Direktori Film Nasional’ yang dihelat oleh Direktorat Perfilman, Musik dan Media (PMM) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbud Ristek) selama dua hari di Jakarta, baru-baru ini.
Acara FGD ini diikuti para insan perfilman, produser, ekshibitor, publisis, wartawan dan komunitas perfilman.
Imam mewakili sineplek Platinum memaparkan saat ini bioskop Platinum sudah dibuka sebanyak 38 screen di seluruh Indonesia, bahkan sudah ada di Ksmboja, Laos dan Timor Leste.
“Kita akan membuka cabang baru lagi di tahun 2024 di Tegal (Jawa Tengah) dan beberapa kota lagi di Jawa Timur dan Kalimantan. Jaringan sineplek milik pak Raam Punjabi ini memang mengkhususkan membuka layar di luar Jakarta yang sudah dipadati jaringan bioskop XXI. Jadi, kita belum terpikir membuka bioskop baru di Jakarta,” ungkap Imam optimis.
Keoptimisan serupa juga dipaparkan Huri dari grup Cinepolis, Yun Ki Tae dari CGV dan XXI.
Di sesi lain, istilah ‘film lokal’ juga ramai dibahas. Apakah ada film lokal ? Dan bisakah ‘Uang Panai’ produksi Makassar termasuk film lokal?
“Enggak ada film lokal. Adanya film Indonesia,” debat sutradara Adisurya Abdy yang juga mantan Ketua Sinematek Indonesia.
Namun, Irham Acho Bahtiar dari Rumah Semut (Kendari) dan Agus Khanza dari Jogjakarta sudah sejak lama menggiat dan nengangkat tema daerah dalam produksi filmnya.
“Beberapa film buatan saya seperti ‘Coto vs Konro’ dan ‘Horas Amang’ enggak tayang di Jakarta dan hanya main di Kendari dan Makassar. Dan di daerah film-film tersebut diputar berminggu-minggu dan berbulan-bulan,” tutur Acho Bahtiar.
Diakuinya, Acho juga membuat film bioskop dan sebagian ‘cuan’ nya guna memdanai film daerah. Misalnya ‘Molulo’, ‘Mosonggi’, ‘Lost in Papua’ dan beberapa film daerah lain.
Daniel Tito tak ketinggalan memperkenalkan dan memutar trailer film ‘Gereja Setan’ yang difilmkan berdasar kisah nyata. Film ini akan tayang tahun ini.
Sineas-sineas dari daerah memang mengakui sulit membiayai sendiri beberapa film indie yang dibuatnya.
“Label-label jumbo di Jakarta hanya terfokus pada nama-nama sutradara kondang dan aktor-aktor terkenal yang jaringan distribusi peredarannya sangat kuat. Tapi kita di daerah enggak boleh kalah dan khawatir film kita enggak laku. Pangsa pasar film nasional masih luas. Kota-kota di Indonesia Timur seperti Kendari, Fak Fak, Sorong, Ambon dan Makassar siap menyambut film daerah asal ceritanya bagus dan masuk akal,” urai Agus Khanza.
Bayu Pamungkas yang ikut bicara mencontohkan dirinya saat mempromosikan film daerah buatannya yang bertajuk ‘De Toeng dalam Ayunan Nenek’ di Ibukota yang masih terbatas namun film ini sukses berminggu-minggu tatkala diputar di bioskop di Makassar dan Ambon.
Produser yang mantan jurnalis Aris Muda Irawan senada. Berkali-kali dia mengalami jatuh bangun saat mengedarkan film-film buatannya, terutama yang bergenre anak.
“Tapi saya masih optimis dan punya harapan film nasional saatnya sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan menjadi tamu di manca negara,” timpal Aris Muda Irawan.
Dikotomi yang klasik ini dimana film daerah sulit memperoleh tanggal tayang di bioskop Jakarta selalu menjadi dilema dan persoalan serius.
Kemudian, what next ?
FGD yang dimoderatori Yan Wijaya dan Fahrul Muchsen yang difasilitasi Kemendikbud Ristek dan Demi Film Indonesia semoga menjadi pembelajaran dan referensi yang cespleng ketika diresmikan pembentukan Direktori Film Nasional pas di Hari Film Nasional (HFN) tanggal 30 Maret 2024.
Maju dan jayalah film Indonesia ! Ever onward never retreat ! (pik)