Testimoni di Antara Orasi Prof Hermawan “Kikiek” Sulistyo
BEKASI, PILAR MERDEKA – Orasi Kebudayaan Prof (Ris) Hermawan “Kikiek” Sulistyo kemarin, Selasa (25/7) di kampus Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (UBJ) Bekasi, menjadi menarik. Sejumlah sahabat didaulat maju ke podium untuk menyampaikan testimoni.
Kikiek menyampaikan Orasi Kebudayaan berjudul: The Death of The Intellectuals, Nation-State, Saintek, dan Masa Depan Peradaban. Sedangkan testimoni para sahabat, cenderung warna-warni. Tidak sedikit yang mengundang tawa hadirin. Tak sedikit pula yang menguak serpihan sejarah penting.
Kenangan Ahwil Luthan
Sebelum Prof Kikiek berorasi, MC mempersilakan sejumlah sahabat menyampaikan testimoninya. Diawali dengan testimoni Komjen. Pol. Purn Drs. Ahwil Luthan, SH, MBA, MM. Mantan Dubes RI untuk Meksiko, merangkap Panama, Honduras dan Costa Rica itu menyampaikan kenangannya bersama Prof Kikiek ke Jerman. Tentu saja ini hanya satu di antara sekian banyak kenangan.
Sekadar pengingat, Ahwil Luthan adalah lulusan Akpol 1968. Ia termasuk seorang polisi yang memiliki karier luar biasa. Sebelum purna tugas tahun 2002, ia pernah menjabat Sekretaris NCB-Interpol Indonesia, Gubernur PTIK, Kepala BNN, Irwasum Polri, hingga Sekretaris Jenderal Polri. Ahwil Luthan juga pernah menjadi calon kuat kapolri pada tahun 2001. Mantan Kepala BNN ini sekarang aktif membantu BNN sebagai Pimpinan Staf Ahli.
Persinggungan eratnya dengan Kikiek terjadi sekitar tahun 1998 saat ia menjabat Gubernur PTIK. Saat itu, Kikiek aktif di LSM RIDeP (Research Institute for Democracy and Peace). Kikiek mengajak “jalan-jalan” ke Jerman, pasca penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur.
Penyatuan kembali Jerman (Jerman Deutsche Wiedervereinigung) berlangsung pada tanggal 3 Oktober 1990, ketika eks kawasan Republik Demokratis Jerman (“Jerman Timur”) digabungkan ke dalam Republik Federal Jerman (“Jerman Barat”).
“Dalam kunjungan ke Jerman, ikut serta Bapak Suaidi Marasabessy, dan anggota Komisi III DPR RI,” kata Ahwil Luthan, sambil melempar pandang dan menunjuk Letjen TNI Purn Suaidi Marasabessy, yang ada di baris depan hadirin.
Di Jerman, mereka mengunjungi markas batalyon angkatan darat, juga markas kepolisian. Pasca unifikasi Jerman, banyak terjadi cerita unik. Sebagai contoh, tantara Jerman Timur yang berpangkat mayor, pasca penyatuan jerman, justru turun jadi Kapten.
Kikiek mengajak rombongan kecil ke Jerman itu, karena negara ini pernah mendapat julukan “negara polisi”. Jerman memiliki banyak satuan polisi. Di antaranya Polisi Pelindung Negara (Schutzpolizei des Reiches), Polisi Perlindungan Kota (Schutzpolizei der Gemeinden), Polisi Pedesaan Negeri (Gendarmerie), Polisi Lalu Lintas (Verkehrspolizei), Polisi Air (Wasserschutzpolizei), Polisi Api (Feuerschutzpolizei), dan sejumlah polisi pembantu.
Sebagai seorang polisi, Ahwil Luthan tentu sangat berkesan saat mengunjungi markas kepolisian Jerman. Di situ, Ahwil Luthan bertanya bagaimana cara mengatasi aksi demonstrasi. Sebab, saat itu di Jerman masih marak aksi demo pasca menyatunya dua Jerman yang sebelumnya beda ideologi itu.
Perwira polisi Jerman mengatakan, mereka menghadapi demonstran dengan mengerahkan anggota kepolisian. Luthan bertanya lagi, bagaimana jika aksi demo lebih besar dan melibatkan massa yang juga lebih besar. Dijawab, kepolisian Jerman akan mengerahkan lebih banyak lagi anggota kepolisian. Luthan masih mengejar, bagaimana kalau demonya jauh-jauh lebih besar bahkan berpotensi chaos. Dijawab lagi, “kami punya cadangan mantan polisi. Mereka akan kami kerahkan.”
Luthan pun menohok pada pertanyaan kunci, “Apakah tidak melibatkan tantara?” Dan perwira polisi Jerman menjawab, “Sama sekali tidak. Ini bukan perang. Ini soal HAM, dan tentara tidak dipersiapkan untuk menghadapi demo HAM. Kamilah (polisi) yang harus bertanggung jawab menghadapinya.”
Itulah, tambah Ahwil Luthan, cikal-bakal gagasan pemisahan Polri dari ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). “Pemisahan itu telah melalui banyak kajian, banyak tahapan, dan bersyukur akhirnya bisa berpisah dengan baik-baik. Peran mas Kikiek besar dalam proses pemisahan Polri dari ABRI,” kata Luthan.
Sejarah mencatat, pada 1 April 1999, Presiden B. J. Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Kepolisian dari ABRI. Sejak diterbitkannya instruksi tersebut, Polri yang tadinya di bawah Mabes ABRI ditempatkan di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam).
Seremoni serah terima dilakukan di Mabes ABRI, Cilangkap. Bentuknya berupa penyerahan panji-panji Polri dari Kasum ABRI, Letjen TNI Sugiyono, kepada Sekjen Departemen Hankam, Letjen TNI Fahrul Rozi. Kemudian panji-panji tersebut diserahkan kepada Kapolri Jenderal Polisi Roesmanhadi. Momen ini sekaligus menandai perubahan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) menjadi Departemen Pertahanan (Dephan) pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, dan sekarang Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Patron Sukardi Rinakit
Pemberi testimoni berikutnya adalah Sukardi Rinakit, Staf Khusus Presiden bidang Politik. Sebetulnya, namanya dipanggil pertama kali oleh MC, tetapi saat itu dia sedang meninggalkan aula. Karenanya ia mengawali testimoni dengan meminta maaf. “Maaf waktu dipanggil saya sedang ke toilet, lalu ada telepon yang harus saya angkat dari orang yang saya takuti. Ada dua orang yang saya takuti. Pertama pak Jokowi, yang kedua istri,” kata Sukardi, disambut tawa hadirin.
Bicara tentang sosok Hermawan Sulistyo, ia mengaku senang. “Sebab, orang yang kenal mas Kikiek, hanya ada dua ujungnya, sebel atau senang. Nah, saya kebetulan termasuk yang senang dan sayang sama dia,” katanya sambil terkekeh.
Kikiek adalah senior Sukardi Rinakit, sejak dari kampung yang sama di Madiun. “Beliau kuliah di UI, saya juga. Beliau jadi peneliti, saya juga. Beliau menulis, saya juga. Jadi, dalam banyak hal mas kikiek itu patron saya,” kata Kardi pula.
Ihwal karakternya yang sangat provokatif, Sukardi mengatakan, “Sudah lama itu. Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ia menunjuk-nunjuk jenderal aktif,” kata Sukardi sambil bercanda.
Dan yang sangat mengesankan Sukardi adalah, di mana ada peristiwa pengeboman, di situ muncul Kikiek. “Jadi bukan kebalik ya…. Bukan di mana ada mas Kikiek di situ ada bom,” kata Sukardi yang disambut gerrr hadirin.
Sukardi benar. Kikiek bisa dibilang orang pertama yang berada di lokasi Bom Bali 1. Ia kemudian terlibat dalam tim investigasi peristiwa 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang dan melukai 209 korban itu.
Kemudian pada kasus Bom Bali 2 (1 Oktober 2005), Kikiek juga hadir. Ia turut menginvestigasi rangkaian pengeboman, satu di Kuta dan dua di Jimbaran dengan sedikitnya 23 orang tewas dan 196 lainnya luka-luka.
Tak hanya itu, nama Hermawan Sulistyo juga lekat dengan penyelidikan berbagai kasus bom lain, seperti Sri Rejeki Semarang dan Bom Marriott tahun 2003. Keduanya saling berhubungan.
Selalu Ada “Jancuk”
Sahabat Kikiek lain yang memberikan testimoni adalah Prof Dr Jarnuzy Gunlazuardi. Pengajar MIPA UI itu adalah teman Kikiek sejak zaman kuliah tahun 1976 di UI. “Kami sama-sama di FMIPA. Waktu itu dia masih miskin. Kuliah di Salemba, makan combro berapa, bilangnya berapa….,” ujar Jarnuzy yang juga mengundang tawa hadirin.
Persahabatan mereka sempat terputus saat Kikiek melanjutkan pendidikan ke Amerika, sedangkan Jarnuzy ke Jepang dan Inggris. Memang benar. Hermawan Sulistyo sempat menimba ilmu di empat perguruan tinggi di Amerika Serikat. Masing-masing State University of New York (SUNY)-Buffalo, NY, Ohio University (OU)-Athens, OH, Northern Illinois University (NIU), DeKalb, Il, dan Arizona State University (ASU), Tempe Az.
“Meski lama tidak ketemu, ciri khas beliau tidak pernah hilang. Di mana pun ketemu, kata ‘jancuk’ tidak pernah ketinggalan,” katanya disusul tawa. “Jancuk” adalah umpatan khas Surabaya (Jawa Timur). Jancuk juga merupakan ungkapan tanda keakraban yang sering diucapakan oleh orang Jawa Timur.
Terhadap sosok Kikiek, Prof Jarnuzy termasuk satu barisan dengan Sukardi Rinakit. “Benar kata mas Sukardi, sikap orang ke mas Kikiek kalau tidak sebel ya senang. Tapi saya termasuk yang senang. Senang dengan provokasi-provokasinya. Hari ini, membaca judul orasi kebudayaan beliau saja saya jadi terprovokasi,” kata Jarnuzy.
Mas Kikiek, begitu ia menyapa, diakui banyak berkontribusi bagi dunia keilmuan. Sejak menjadi wartawan majalah Gadis, kemudian di LIPI menggagas Lomba Karya Tulis Ilmiah Remaja (LKIR). “Saya senang sekarang masuk dunia perguruan tinggi. Semoga ilmu dan pengalamannya bisa diturunkan kepada generasi muda. Beliau di UBJ, saya di UI, mari berlomba-lomba dalam kebaikan membangun peradaban,” pungkasnya.
Jarang Masuk Kantor
Testimoni tak kalah menarik disampaikan Prof Syamsuddin Haris, sahabat Kikiek di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang sejak 2021 telah lebur ke badan baru, BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) bersama BPPT, Lapan, dan Batan. Syamsuddin Haris sendiri sejak 2019 menjabat Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Mas Kikiek itu sebaya dengan saya, seumuran, lebih tua beliau dua bulan. Kami sama-sama di LIPI selama hampir 35 tahun. Dan yang saya ingat, beliau jarang masuk kantor,” ujar Haris disambut tawa hadirin.
Haris menambahkan, “Yang satu angkatan di LIPI itu mas Kikiek, saya dan Ikrar Nusa Bakti. Kalau saya dengan Ikrar rajin ngantor, tapi kalau mas Kikiek jarang masuk kantor. Kadang di RIDep, kadang di kepolisian, pokoknya nggak jelas rimbanya.”
Toh, ia mengakui Kikiek sebagai intelektual aktivis yang multi talenta. Kontribusinya terhadap LIPI khususnya di Pusat Penelitian Politik, sangat besar. “Yang jelas, kalau dia nongol di kantor, pasti ‘geger’. Sebab, selalu saja ada bahan bully dan candaan yang bikin ramai,” kata Haris pula.
Tentang ide dan gagasan, Haris mengakui ada kalanya tidak sejalan dan beda pemikiran dengan Kikiek, sahabatnya. Tetapi dalam hal ‘pendidikan’, Syamsuddin Haris sangat sependapat dengan Kikiek. Bahwa yang namanya sekolah itu penting, mulai dari dasar, menengah, S1, S2, S3, dan harus menganggap sebagai ritual yang harus dijalani. “Terutama bagi akademisi. Termasuk peneliti,” katanya.
Hal terakhir yang disampaikan Syamsuddin Haris adalah soal jaringan. Prof Kikiek dinilai memiliki jaringan yang sangat luas, baik di lingkungan pemerintahan, masyarakat sipil, maupun militer dan Polri.
Diajak Rapat Pendemo
Moment Orasi Kebudayaan Prof Kikiek di Ghra Tanoto, UBJ Bekasi siang itu menjadi lebih istimewa dengan kehadiran Letjen TNI Purn Suaidi Marasabessy. “Tak bisa disangkal, bahwa Prof Kikiek itu seorang provokator, tetapi juga inspirator,” ujar pria kelahiran Maluku, 76 tahun yang lalu.
Suaidi kenal Kikiek tahun 1987. “Waktu itu saya Asops Kasad. Anak buah saya pak Kiki Syahnakri, bagian intel. Dia datang ke ruangan saya, melaporkan adanya undangan rapat dari para aktivis. Sekilas saya dapat laporan tentang kegiatan para aktivis yang berniat melengserkan pak Harto,” kata Suaidi membuka kisah.
Kepada Kiki Syahnakri, Suadi bertanya, “siapa saja mereka?” Dan disebutlah sejumlah nama, di antaranya nama Hermawan Sulistyo.
Melalui sebuah pertimbangan dan pemikiran, Suaidi yang lulusan Akabari 1971 itu menyatakan siap hadir. Tujuannya ingin mengetahui lebih jauh rencana gerakan itu. Hanya dengan menghadiri rapat itu, ia bisa mendengar langsung rencana para aktivis tersebut. Datanglah Suaidi dan staf ke rapat di salah satu hotel di bilangagn Kemang, Jakarta Selatan. Di situlah, ia mengenal Kikiek.
Dalam rapat itulah Suaidi mengetahui dan mendengar langsung kebulatan tekad para aktivis untuk menurunkan pak Harto melalui gerakan reformasi. Nah, topik yang dibahas hari itu lebih kepada bagaimana cara meyakinkan pak Harto untuk mau mundur secara sukarela.
Mendadak Suaidi kaget ketika diberi kesempatan bicara. Sementara dia sadar posisinya sebagai anggota TNI aktif, dan masih dalam jabatan struktural di TNI-AD. Tak hanya itu, Kikiek malah menanyakan bagaimana kalimat yang baik untuk menyampaikan ke pak Harto agar mau turun secara sukarela.
Waktu berlalu, dan meletuslah aksi reformasi 1998 yang didahului krisis ekonomi. Agenda utama aksi adalah melengserkan Pak Harto dari kekuasaan 30 tahun. Suaidi mengikuti dengan sangat intensif hari demi hari, jam demi jam, bahkan menit demi menit. Termasuk saat peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998 yang disebut sebagai puncak reformasi.
Di tengah situasi genting, Suaidi dipindahtugaskan ke Makassar sebagai Pangdam VII/Wirabuana. Setiba di sana, suasana pun tak kalah panas. Mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) turun ke jalan. Suaidi memberanikan diri masuk kampus, sekalipun harus melalui negosiasi alot dengan para aktivis kampus.
“Kepada para mahasiswa yang hendak demo saya tanya, untuk keperluan demo, kalian perlu apa?” Para mahasiswa di antaranya ada yang meminta tali rafia untuk membuat pagar pembatas, menghindari masuknya penyusup. Suaidi menyanggupi.
Di hari H, Suaidi tak hanya menyiapkan tali rafia, tetapi mengeluarkan dua tank dari Batalyon Kavaleri 10/Mendagiri untuk mengawal aksi demo dari kampus Unhas dari Tamalanrea Indah ke lapangan Karebosi di pusat kota Makassar. Arak-arakan mahasiswa itu menempuh jarak hampir 10 km.
“Saya kontak Gubernur dan Kapolda untuk bersama-sama mengawal aksi demo anak-anak Unhas, tapi tidak ada yang berkenan. Ya sudah, akhirnya saya sendiri yang ikut turun mengawal long march mahasiswa Unhas ke Karebosi. Di lapangan Karebosi, tau-tau saya didaulat bicara, maka saya naik ke tank dan hanya bisa meneriakkan kalimat ‘hidup reformasi’…. ‘hidup reformasi’…. ,” ujar Suaidi mengenang.
Tak lama dari peristiwa itu, ia ditelepon Pangab Jenderal TNI Wiranto dan diminta segera ke Jakarta. Sebelum berangkat, Pangab perintahkan agar ia (selaku Pangdam) menghubungi semua rektor, dan meminta para mahasiswa menenangkan diri, sebab besok pagi pak Harto akan mengumumkan pengunduran dirinya.
Benar, tanggal 21 Mei 1998, pak Harto lengser keprabon. “Semua kisah di atas, erat sekali benang merahnya dengan peran Prof Kikiek,” kata Suaidi.
Lama setelah peristiwa tersebut, berjumpalah Suaidi dengan Kikiek. Usai bicara kian-kemari, mendadak Kikiek berucap, “Pak Suaidi tahu apa tidak? Pak Harto mau mundur itu setelah mendengar berita ada Pangdam mengawal demonstrasi mahasiswa. Ia mengira TNI ada di belakang aksi mahasiswa, makanya pak Harto langsung mundur.”
Keduanya pun tertawa. (*)