PILAR MERDEKA – Sebuah narasi yang beredar di publik menyebutkan bahwa RT-PCR (reverse transcription-polymerase chain reaction), yang biasa digunakan untuk mendeteksi virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, hanya berfungsi untuk mengecek asidosis. Narasi tersebut mengklaim bahwa tes PCR bukanlah metode untuk mendeteksi keberadaan virus.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH menyatakan, narasi tersebut keliru. Untuk mendukung diagnostik penyakit seperti COVID-19, metode pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai standar emas (gold standard) adalah tes amplifikasi asam nukleat (Nucleic Acid Amplification Test/NAAT).
Tes PCR merupakan tes diagnostik yang menggunakan metode uji amplifikasi asam nukleat, yang memiliki tingkat akurasi tinggi dalam mendeteksi virus SARS-CoV-2. Uji NAAT diakui sebagai standar emas dalam pemeriksaan virus COVID-19.
Tes ini menguji keberadaan materi genetik virus (asam ribonukleat atau RNA) atau fragmennya saat virus tersebut terurai. PCR adalah tes yang andal dan akurat untuk mendeteksi infeksi aktif. Biasanya, tes PCR memerlukan waktu beberapa jam untuk mendapatkan hasil, meskipun ada juga versi yang lebih cepat.
Selain untuk COVID-19, tes PCR dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus lainnya. Sampel berupa saliva, lendir, atau jaringan diambil, kemudian diuji di laboratorium.
“Tes PCR sudah digunakan secara internasional. PCR ini merupakan suatu alat atau cara untuk melakukan diagnostik keberadaan virus. Dengan tes PCR, kita bisa mengetahui patogen yang menyebabkan infeksi penyakit,” kata Syahril di Jakarta, ditulis Senin (21/10).
“Misalnya, dalam pemeriksaan Mpox. Kita bisa melakukan tes PCR di awal dan mendeteksi patogen penyebab Mpox itu memang dari virus”.
Deteksi Jenis Varian Virus
Pada tahap berikutnya, jika ingin mengetahui jenis varian virus setelah tes PCR, pemeriksaan Whole Blood Genomic Sequencing atau Whole Genome Sequencing (WGS) dapat dilakukan. Pemeriksaan ini digunakan, antara lain, untuk mengurutkan genom virus SARS-CoV-2.
Pengurutan genomik SARS-CoV-2 memainkan peran utama dalam respons kesehatan masyarakat terhadap pandemi COVID-19, terutama pemetaan penularan virus di tingkat global dan lokal, menginformasikan langkah-langkah pengendalian infeksi, serta mengidentifikasi dan melacak kemunculan varian SARS-CoV-2 baru.
“Kalau melihat jenis varian virusnya lagi, kita melakukan Whole Blood Genomic Sequencing. Contohnya, kita melakukan tes PCR, untuk mengetahui apakah terinfeksi virus COVID-19 atau tidak. Jika hasil tes PCR positif, maka untuk mengetahui jenis varian virusnya, apakah Delta, Omicron dan lainnya, bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan Whole Blood Genomic Sequencing,” terang Mohammad Syahril.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2023 Tentang Pedoman Penanggulangan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), pemeriksaan tes PCR dan WGS masuk ke dalam upaya surveilans penanggulangan COVID-19. Disebutkan bahwa pemeriksaan kasus harus dilakukan dengan swab antigen dan/atau swab PCR.
Selanjutnya, dilakukan pengumpulan data surveilans untuk memantau tren karakteristik epidemiologi dan virologi influenza dan COVID-19, serta mendeteksi virus varian baru, dengan konfirmasi pemeriksaan molekuler influenza dan SARS-CoV2 hingga pemeriksaan Whole Genome Sequencing (WGS).
Di sisi lain, asidosis merujuk pada kadar asam yang tinggi dalam tubuh. Jika tubuh menjadi terlalu asam atau basa, hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Tubuh perlu menjaga keseimbangan keasaman untuk kesehatan yang optimal.
Kadar asam yang tinggi menyebabkan tubuh berusaha mengimbangi dan membuang kelebihan asam. Paru-paru dan ginjal berperan dalam membuang kelebihan asam dari tubuh. Pemeriksaan asidosis dapat dilakukan melalui tes darah dan urine untuk melihat kadar pH. (*/Mons)