JAKARTA, PILAR MERDEKA – Seperti umumnya jelang Pemilu maka politik uang pun ikut memainkan peranannya. Pelakunya adalah sebagian peserta Pemilu yang ingin mempengaruhi preferensi pemilih dengan cara memberikan uang atau pun sembako.
Hasil penelitian menyebut, cara ini tidak efektif dan hanya menghambur-hamburkan uang saja. Karena sebagian besar orang yang menerima uang atau pun sembako tidak akan memilih si pemberi uang.
Dalam ‘Bedah Politik’ bertema ‘Potensi Politik Uang pada Pemilu 2024’ yang disiarkan SMRC TV, Prof Saiful Mujani dan Saidiman Ahmad juga mengungkap tentang hasil survey terkait masalah politik uang.
“Sebenarnya, seberapa besar pengaruh atau toloransi masyarakat terhadap praktik politik uang dan seberapa jauh pengaruhnya terhadap preferensi politik mereka?” Tanya Saidiman Ahmad pada Prof Saiful, pendiri SMRC yang juga Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Menurut Saiful, pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban empiris bukan spekulasi. “Tapi berdasarkan pembicaraan di publik, para pengamat atau pun politisi, sepertinya meyakini bahwa politik uang penting untuk mempengaruhi pemilih. Itu opini yang saya tangkap secara umum,” paparnya.
SMRC, lanjutnya, juga melakukan survey terkait masalah ini pada bulan November 2023 lalu, guna mengecek seberapa besar pentingnya politik uang.
Lalu Saiful pun mengungkapkan pertanyaan dalam survey tersebut,
Di dalam survey nasional, kita punya pertanyaan seperti ini: “Sebagai usaha untuk memenangkan Pemilu, ada calon presiden atau calon anggota DPR, DPRD, atau orang membantu mereka memberikan uang atau hadiah tertentu agar memilih calon tersebut. Menurut Anda, apakah pemberian tersebut dapat diterima sebagai hal yang wajar atau tidak bisa diterima atau tidak bisa dibenarkan,” tutur Saiful menguraikan pertanyaan yang disampaikan pada responden.
Ternyata, lanjutnya, yang menyatakan bahwa itu bisa diterima sebagai hal yang wajar 44 persen.
Jadi, jika jumlah pemilih Pemilu 2024 adalah 204 juta jiwa, yang mungkin datang ke TPS sekitar 160 juta, artinya yang menganggap pemberian uang itu adalah hal yang lumrah atau bukan masalah besar, adalah sekitar 70 juta orang. Atau bisa saja hampir 100 juta orang dari total populasi pemilih. “Ini jumlah yang cukup banyak,” tambahnya.
Sebagian masyarakat itu sepertinya tidak menganggap tabu menerima uang, meski tahu bahwa hal itu melanggar hukum dalam Pemilu.
Sementara sebagian masyarakat lainnya, yakni 36 persen, tidak bisa menerima dan mengatakan ini melanggar hukum, dll.
Jika melihat hasil ini maka 4 dari 10 kasus menganggap ini wajar. Tapi, ucapnya, apakah orang yang mengatakan wajar itu akan terpengaruh pilihannya karena pemberian uang tersebut?
Ternyata banyak yang menjawab, tidak terpengaruh.
“Jadi pertanyaan berikutnya yang kami ajukan adalah, apakah ibu bapak sendiri akan menerima bila ada orang yang memberi uang atau hadiah tersebut?”
Yang menjawab ya akan menerima dan akan memilih calon yang memberi uang tersebut, 21 persen. Akan menerima dan memilih calon yang memberi lebih banyak 5%.
Hanya 10 Persen yang Terpengaruh
Jika ditotal, jumlahnya 26 persen, atau sekitar 10 persen dari orang yang menyatakan menerima uang adalah wajar, lumrah.
Jadi, lanjut Saiful, dalam masyarakat nasional yang jumlahnya 204 juta tersebut, hanya 10 persen yang terpengaruh. Dalam artian, hanya 10 persen penerima uang akan memilih orang yang memberi uang. Itu hanya 1 dari 10 kasus.
“Masalahnya adalah, jika ingin efektif dalam memberi uang dan berharap orang akan memilih Anda, maka peluangnya adalah 1 dari 10. Masalahnya adalah dimana adanya orang yang satu itu di antara 10 warga itu,” urai Saiful dengan nada bertanya.
Jadi, lanjutnya lagi, betul politik uang ada pengaruhnya sebanyak 10 persen tapi Anda tidak tahu persis 10 persen itu siapa dan berada di mana. Oleh karena itu, menjadi tidak mudah membuat politik uang itu menjadi betul-betul efektif dan efisien.
“Misalnya, kalau hanya 1 dari 10, ya sudah saya mau kasih ke satu orang saja, kan itu tidak mudah. Anda harus punya namanya dan Alamat orang yang akan terpengaruh. Itu tidak mudah mencarinya,” tandas Saiful.
Karena itu, Saiful berpandangan, pelaku politik yang akan menghambur-hamburkan uang saja. “Untuk mendapatkan satu suara Anda harus memberi 10 amplop. 10 amplop efektivitasnya hanya 1. Itu lah yang membuat Pemilu menjadi mahal,” tegas Prof Saiful.
Orang menerima dikasih uang tapi belum tentu memilih.
Lebih tegas lagi Saiful menyebut, pelaku politik uang seperti spekulan. Ia menyebarkan uang tapi hanya mendapat satu (suara). “Karena itu politik uang jadi mahal, dan belum tentu efektif. Bayangkan kalau semua calon melakukan hal yang sama,” ujarnya.
Guna menekan praktik politik uang ini, Saiful Mujani menyarankan agar pihak Bawaslu, Pengawas, Aparat, dll, memperketat pengawasan.***