“Ketika Cinta, Logika, dan Tawa Menyala di Bawah Lampu Teater”
Hujan deras mengguyur Purwokerto namun Malam di Gedung Kesenian Sutedja terasa berbeda. Lampu panggung berpendar lembut, deru tawa penonton bersahutan, dan aroma khas teater campuran antara debu, cat, dan semangat seni menguar di udara.
Di bawah sorotan lampu itu, Komunitas Teater Tubuh LARSENI Panginto mempersembahkan sebuah karya segar bertajuk “GENDHAKAN”, drama komedi yang merangkai kisah cinta, logika, dan tawa dalam satu panggung kehidupan.Berlangsung di Gedung Kesenian Sutedja.Purwokerto, Sabtu (8/11).
Disutradarai oleh Bambang Wadoro, atau yang akrab disapa Bador Kayu, pementasan ini menjadi cermin kehidupan sosial yang dibalut dalam humor khas Banyumasan. Cerita bergulir dengan ringan, tetapi tetap menyentuh lapisan-lapisan perasaan penonton dari tawa renyah hingga renungan halus tentang cinta dan kesetiaan.
“Gendhakan bukan sekadar kisah selingkuh, tapi tentang bagaimana manusia kadang tersesat antara logika dan rasa,” ujar Bador Kayu di sela persiapan tampil. “Kami ingin penonton pulang dengan tawa, tapi juga dengan sesuatu untuk dipikirkan.”ujarnya lagi.
Panggung Hidup yang Penuh Warna

Deretan pemain lokal tampil penuh energi dan karakter. Selvi memerankan Sinah dengan aura lembut namun tegas, sementara Bahrein sebagai Karman mencuri perhatian lewat kelucuan natural dan ekspresi jenaka. Duo hansip, Setyo (Kacel) dan Randi (Codot), menjadi sumber tawa utama dengan improvisasi yang mengalir liar namun terukur.
Tak ketinggalan, Didit Chow, Wahyu (Putu Ne Kaki Peang) sebagai Bonang, Ivaan sebagai Warso, serta Rik dan Agus Kaacel yang memerankan pasangan suami istri dengan dinamika lucu dan relatable. Di sisi lain, Joni Jonte sebagai Bapane membawa nuansa klasik teater rakyat yang tetap terasa segar.
Pertunjukan ini semakin hidup dengan ilustrasi musik oleh Sidik Isi, menghadirkan nuansa tradisional yang berpadu dengan ritme modern. Tata cahaya yang digarap Bagas Suliwa Sentir menciptakan atmosfer teatrikal yang magis berganti dari lembut ke dramatis seiring perubahan adegan.
Tim setting yang terdiri dari Faiq, Kuing, Ashar, dan Heri Boled berhasil menghidupkan panggung menjadi ruang realisme jenaka. Sementara itu, para penari Lengger Ama, Nurul, dan Amanda dari Sanggar Seni Panginyongan membuka pertunjukan dengan tarian simbolik yang memikat, menggambarkan gairah dan godaan dalam kehidupan asmara.
Lany dari Sanggar Seni Panginyongan, menyiapkan tata rias para pemain secara totalitas. “Penampilan dan sentuhan tata rias dan kostum menjadi kekuatan tersendiri.” ungkap Lany.
Gratis, tapi Bernilai Tinggi

Uniknya, seluruh pertunjukan ini dibuka gratis untuk umum. Bagi LARSENI Panginto, teater adalah medium berbagi, bukan sekadar hiburan berbayar. “Kami ingin menghidupkan kembali budaya menonton teater di masyarakat. Gratis bukan berarti murahan. Justru ini bentuk cinta kami pada seni dan penonton,” tutur Bagus Satria, staf produksi.
Pertunjukan berdurasi hampir dua jam itu ditutup dengan tepuk tangan panjang. Penonton, yang datang dari berbagai kalangan pelajar, seniman, hingga masyarakat umum terlihat puas. “Lucu, tapi dalam,” kata seorang penonton muda, sambil tertawa kecil mengingat adegan favoritnya.
Tentang LARSENI Panginto
LARSENI Panginto dikenal sebagai komunitas teater tubuh yang kerap mengangkat isu sosial dan budaya lokal dengan pendekatan eksperimental. Mereka memadukan teater fisik, dialog berlogat Banyumasan, serta elemen musik dan tari rakyat. “Kami percaya bahwa tubuh manusia adalah bahasa yang paling jujur,” kata Bador Kayu, menegaskan filosofi teater tubuh yang menjadi roh komunitas ini.
Dengan “GENDHAKAN”, LARSENI kembali membuktikan bahwa seni pertunjukan lokal masih punya daya hidup, bahkan di tengah arus hiburan digital. Teater bukan sekadar tontonan adalah ruang temu, tawa, dan renungan bersama. (Agus Oyenk)


