BerandaDaerah"Pajak Sambu Riwayat-mu Kini"

“Pajak Sambu Riwayat-mu Kini”

MEDAN, PILAR MERDEKA – Di era akhir menjelang tahun 70-an hingga pertengahan tahun 90-an, bahkan hingga sekarang pun, Sambu masih tergiang akrab di telinga warga Kota Medan. Pada masanya, Sambu dikenal sebagai terminal angkutan kota. Seperti angkutan kota jenis bus sedang, Desa Maju dan Povri, angkutan kota jenis kecil, Sudaco dan Bemo, tapi sebelum pertengahan tahun 80-an, Bemo menghilang dari peredaran Terminal Sambu.

Kebanyakan warga Kota Medan, kayaknya kagok atau canggung menyebut Sambu dengan menyematkan kata Terminal diawalnya, sehingga menyebutnya Terminal Sambu. Masyarakat Kota Medan dan sekitarnya, lebih familiar menyebutnya Pajak Sambu atau Sambu dari pada Terminal Sambu. Kenapa, itulah pertanyaannya.

Kala itu, terlihat adanya Sambu sebagai terminal. Faktanya, sejumlah jenis angkutan kota ngetem pada tempat sesuai rutenya, menaikkan serta menurunkan penumpang, dan juga angkutan kota disana melayani penumpang dari dan ke tujuan Terminal Sambu. Artinya, kondisi itu sudah menunjukkan ciri-ciri suatu terminal, terlepas dari laik atau tidak laik sebagai terminal sesuai aturan dan ketentuannya.

Meskipun faktanya Sambu yang berada di Kelurahan Gang Buntu, Kecamatan Medan Timur tersebut adalah suatu kawasan terminal angkutan dalam kota, namun bagi warga Kota Medan, akrab menyebutnya Pajak Sambu.

Pengertian pajak bagi masyarakat Sumatera Utara umumnya dan Kota Medan khususnya adalah suatu tempat transaksi jual beli atau berbelanja kebutuhan rumah tangga, mulai sandang, pangan dan papan. Hampir di setiap kecamatan di Kota Medan memiliki pajak tradisional.

Di luar Sumatera Utara dan/atau di kota lain di luar Kota Medan, tempat transaksi berbelanja atau tempat jual beli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan antara pembeli dan penjual biasa disebut pasar, termasuk pasar tradisional.

Sementara, pengertian pajak umumnya adalah suatu kewajiban orang atau badan untuk membayarnya kepada negara melalui pemerintah. Contohnya, pajak bumi dan bangunan, pajak penghasilan serta pajak kendaraan.

Sekilas merujuk kepada kata pajak dan pasar, tentulah kurang matching bila menggandengkan kata pajak dengan Sambu atau menjadi Pajak Sambu. Yang pasti, itu hanya sebutan semata, tidak masalah dan ‘tahu sama tahu-TST saja’ sesama warga Kota Medan. Kalau ditanya siapa awalnya yang menyebut Sambu menjadi Pajak Sambu sampai memasyarakat dan melegenda hingga sekarang, jawabnya “tanyakan pada rumput yang bergoyang”.

Jadi, Sambu masa itu lebih matching disebut Terminal Sambu dari pada Pajak Sambu. Kawasan Sambu yang juga dikenal rawan tindak kejahatan tersebut, dikelilingi gedung-gedung bertingkat, diantaranya gedung pertokoan. Di bagian luar dan dalam terminal cukup ramai pedagang kaki 5, warung kopi, rumah makan dan pedagang-pedagang mikro lainnya.

Seiring waktu, pertumbuhan populasi orang akan kebutuhan angkutan tak terhindarkan. Mungkin salah satu penyebab adalah dampak arus urbanisasi dari kabupaten/kota-kota di Sumatera Utara menyerbu Kota Medan.

Sementara Pajak/Terminal Sambu di medio tahun 80-an, terlihat sudah cukup padat tak tertata yang mengesankan kondisi di bagian dalam lokasi terminal sumpek, sebagian jalan berlubang, dan kalau hujan sebentar saja, disana sini tampak genangan air. Perwajahan itu menggambarkan, sudah tidak zamannya Sambu sebagai terminal.

Perlahan beban tampung Pajak Sambu sebagai terminal berangsur melorot setelah Terminal Amplas dan Pinang Baris aktif beroperasional. Artinya, warga Kota Medan dan daerah-daerah penyangga sekitarnya serta para pendatang dari luar daerah tidak lagi bertumpu kepada angkutan kota di Pajak Sambu untuk melanjutkan perjalanan mencapai tujuan akhir.

Monza Sambu

Pajak
Tampak para pengunjung saat melintasi pedagang Monza di Pajak Sambu. (Foto. fajaruddin adam batubara)

Sambu tetaplah Sambu hingga sekarang, sekalipun fungsinya bukan lagi terminal. Namun tak terbantahkan, kini sebutan Pajak Sambu mulai memudar dan bahkan berganti sebutan menjadi Monza Sambu. Monza sinonim dari Mongonsidi Plaza.

Mongonsidi itu nama salah satu jalan di Kota Medan. Sedangkan kata Plaza adalah hanya sekedar sebutan trend saja, bukan Plaza sebagaimana pusat perbelanjaan dengan gedung megahnya. Di era tahun 90-an, Monza cukup populer sebagai pusat perbelanjaan barang-barang bekas seperti baju, celana, tas, sepatu, karpet dan lainnya yang berkualitas impor dengan harga bersahabat dan terjangkau. Pelanggannya, juga dari luar Kota Medan.

Karena kepopuleran nama Monza itu, setiap ada tempat baru penjual barang-barang secondhand di Kota Medan, maka secara otomatis tempat tersebut akan mendapat lebel Monza, seperti Sambu menjadi Monza Sambu. “Mau kemana, beli Monza. Itu maksudnya beli barang bekas”.

“Mari…mari…lihat dulu celana kepernya, kodoraynya hanya 35 ribu/potong, tiga potong 100 ribu,” begitu cara sebagian pedagang di Monza Sambu menjajakan barang dagangannya kepada para pelintas jalan di depan lapak/kiosnya, menurut pantauan Pilar Merdeka.com beberapa hari lalu. .

Sejumlah para calon pembeli pun tampak singgah ke kios pedagang tadi. Lalu memegang dan nelihat-lihat beberapa celana keper yang digantung. Terlepas dari upaya pedagang tadi menawarkan barang dagangannya kepada calon pembeli jika dilihat pas dan barang yang ditawarkan masih bagus, maka transaksi jual beli pun terjadi. (Fajaruddin Adam Batubara/Monang Sitohang)

Iklan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments