DELI SERDANG, PILAR MERDEKA – Kesulitan dalam hidup mengajarkan kita untuk terus belajar dan berusaha agar hidup makin lebih baik dan setiap orang pasti mengalami pengalaman dengan versinya masing-masing, ada yang berusaha langsung sukses, tetapi ada juga yang harus mengalami jatuh bangun baru sukses.
Kuncinya adalah semangat dan siap untuk lelah menghadapi semua kegagalan dengan pola bagaimana mengubah tantangan menjadi kesempatan, itu pun bukan sebatas ucapan melainkan harus dengan tindakan sungguh-sungguh.
Seperti halnya pria separuh baya ini, Hambali (53 tahun) yang berkeinginan menjadikan kehidupan rumah tangganya lebih mapan dari sisi ekonomi dengan mencari peruntungan nasib bermodalkan tekad kuat, ia pun hijrah ke Pulau Sumatera pada tahun 1999.
Mendarat pertama di Kabupaten Asahan, setelah menjalani kehidupan beberapa tahun, Hambali lalu bergeser ke Kab. Deli Serdang tepatnya di Lubuk Pakam, kemudian beberapa tahun pindah ke Galang, masih di kabupaten yang sama, hingga akhirnya Hambali pun menetap di Desa Sei Rotan, Jl. Sidomulyo Pasar 9 Gang Madani, Kec. Percut Sei Tuan, Kab. Deli Serdang.
Bapak yang memiliki anak tiga ini memantapkan hati dengan tekad bulat bahwa daerah ini adalah kawasan yang pas untuk berusaha dan sebagai pilihan usahanya tempe dan Lontong. “Kalau membuat tempe itu melihat kondisinya, tidak setiap saat, kalau kacang kedelainya lagi mahal kadang buat tempe kadang juga tidak, tetapi kalau pembuatan lontong itu setiap hari,” ujar Hambali beberapa hari lalu di kediamannya.
Ekonomi Terpuruk
Seiring waktu usaha sedikit demi sedikit alhamdulillah lancar, apa lagi ini usaha yang saya tekuni sampai saat ini adalah sebuah keputusan hati. Tapi apa daya seperti kata pepatah “Untung tak dapat diraih, Malang tak dapat ditolak”. Kira-kira seperti itu yang pas dialami Hambali.
Ketika terpuruknya ekonomi keluarga saya, akibat kena tipu investasi bodong, uang tabungan rumah pun lenyap. Hasil usaha yang sudah disimpan dari usaha tempe habis. “Bahkan untuk beli kacang kedelai saat itu sudah tak mampu lagi…. akhirnya keputusan hati saya akibat ekonomi terpuruk,” ungkap Hambali.
Situasi itu tidak membuat saya diam merenungi dan menyesali segalanya. “Justru saya berfikir cepat agar tidak larut, sontak bertanya, bagaimana mengubah tantangan ini menjadi sebuah peluang dan keputusan hati saya mencoba membuat usaha lontong dengan awal beberapa kilo saja lalu dipasarkan sendiri, kalau habis alhamdulillah, kalau sisa saya bawa pulang untuk dimakan,” jelas Hambali.
Seiring berjalannya waktu, Allah ternyata masih menolong saya, hari demi hari usaha lontong saya semakin dikenal dan banyak dibeli para pedagang lontong atau pun warung sarapan pagi yang mereka itu hanya cukup menyiapkan kerupuk, tauco, telur rebus atau mata sapi, perkedel, sayur gulai, bumbu pecal dan Rendang.
Hingga untuk pembuatan lontong itu setiap harinya biasa satu goni beras ukuran 30 kg dan beras yang digunakan jenis IR, beras baguslah, kalau merknya, ada yang cap Panah, cap Aries sama cap Semut. Jadi kalau awal yang namanya usaha pastinya butuh proses sabar dan tekun, dari pembuatan lontong yang tadinya sedikit hingga saat ini alhamdulillah meningkat.
Setelah itu, awak media ini menanyakan, “Pernah tidak Mas membuat lontong sampai 10 goni dalam sehari?” Sembari senyum, langsung Hambali menuturkan, “Bukan hanya 10 goni Bang perhari tetapi 20 goni beras ukuran 30 kg, yang mana saat itu sampai-sampai membuatnya itu seperti orang mabuk minuman 5 krat,” Hambali sambil tertawa. “Dan itu biasanya pas Hari Raya Idul Fitri sama Idul Adha, saat itu kita harus pakai karyawan 6 orang,” ujarnya lagi.
Kemudian, lanjut awak media ini mempertanyakan lagi, “Kenapa hanya menjual lontongnya saja, ini kan hal yang tak lazim, biasanya warung lontong itu sekalian komplit sama sayur lodehnya, tauco dan lainnya?”
Hambali pun langsung memberikan penjelasan: “Memang tak lazim bang !, diluar kebiasaan istilahnya tapi hal yang sederhana prinsip saya adalah lontong itu jika tak laku bisa saya makan, karena keuangan yang sangat-sangat sulit pada saat itu. Tapi saya tetap yakin, Allah itu akan menolong saya lewat investasi bodong, Allah menegur saya agar selalu bersedekah dan ibadahnya lebih baik lagi,” ungkap Hambali sambil menyeruput kopi panaspanas malam itu.
Kampung Halaman
Memang saya suka melanglang buana dan ingin cari pengalaman hidup, tentunya tidak sebatas pengalaman tapi punya tekad harus dapat mengubah nasib lebih baik. Desa Tegalsuruh, Kec. Sragi berjarak 20 km dari Kota Pekalongan jalur Pantura Jawa menuju arah Barat Daya asal leluhurnya dan Hambali.
Yang mana Pekalongan merupakan sebuah desa dengan home industri konveksi dan UMKM lainnya. Hambali mempunyai leluhur yang ahli dan piawai dalam membatik. Mengingat Kota Pekalongan merupakan tempat industri tekstil dan konveksi yang terkenal sampai mancanegara dengan produk batiknya.
Selain UMKM dan home industri di Kota Pekalongan, ternyata di Kecamatan Sragi ini berdiri pabrik Gula Sragi.(BUMN) sebagian warga ada yang kerja di pabrik.
Namun sebagian besar anak muda dikawasan banyak yang keluar daerah merantau di seantero Nusantara, termasuk Hambalib dengan alasan merubah kehidupan, yang terjepit ekonomi. “Sehingga kepandaian membatik tulis kini tinggal segelintir yang mampu dan menekuninya,” ujar Hambali.
Kemudian dilanjut Hambali kalau di Sragi usaha tempe saya buka sudah banyak dan bertumpuk-tumpuk, beda halnya di sini (Sumatera), daya saing tidak terlalu banyak pembeli alhamdulillah. Ya dimana pun merantau tetap ada sedikit tabungan, untuk bisa pulang ke Jawa bersama keluarga untuk menjenguk saudara di sana.
Kemudian, di akhir bincang-bincang Hambali menjelaskan ini perlu untuk diketahui. “Lontong hasil produksi kami ini higienis tanpa pakai pengawet, lontongnya murni dan tanak masaknya,” ujar Hambali sembari mengacungkan kedua ibu jarinya, pertanda lontong Hambali memang oke dan mantap. (Budi Sudarman)