BerandaFeatureBu Guru, Melintasi Tiga Provinsi Berlabuh di Leksula

Bu Guru, Melintasi Tiga Provinsi Berlabuh di Leksula

MEDAN, PILAR MERDEKA – Perjalanan seorang anak perempuan yang melintasi tiga provinsi yakni Provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta sampai Provinsi Maluku, dan di provinsi terakhir ini-lah ia menjadi tenaga pendidik, persisnya di SMP Negeri 01 Leksula, Kabupaten Buru Selatan. Perempuan itu adalah Bu Guru Hurmida Boru Sagala. Berikut kisah bu guru dimulai dari tanah kelahirannya.

Berpagar bebatuan tersusun rapi dan pepohonan bambu rimbun mengitari satu perkampungan mini, disana berdiri dua rumah bergaya Rumah Batak (bukan ornamen lengkap Rumah Batak), perkampungan itu disebut Lumban Bagas, di Desa Janji Martahan, Kecamatan Harian Boho, Kabupaten Samosir (dahulu Tapanuli Utara), Sumatera Utara.

Di salah satu rumah minimalis ala warga setempat ini, 48 tahun silam, lahir seorang anak perempuan yang cantik, putih, dan mungil bernama Hurmida Boru Sagala. Rumah itu terletak di sebelah timur atau di samping rumah yang lebih besar, dan menjadi tempat kelahiran Hurmida.

Mida begitu sapaan akrabnya, dilahirkan di suatu rumah dan hingga sekarang masih berdiri kokoh meskipun sudah tak utuh. Tiang pondasi, dinding, lantai dan tangga rumah serba kayu, dan beratapkan genteng. Rumah usang itu adalah punya Tulang-Nantulang (paman-bibi) ibundanya.

Huta Lumban Bagas, berjarak kurang lebih 200 meter dari pinggiran Danau Toba, jalan landai menurun melalui Huta Lumban Habeahan. Beragam pepohonan tumbuh subur, belasan pohon kemiri begitu rindang berdaun lebat, beberapa pohon kelapa, mangga dan pepohonan lainnya, terlihat lengkap seakan “mengurung” dua rumah usang di ‘huta hatubuanku’. “Disanalah aku dilahirkan,”bisik hati Mida mengenang Huta Lumban Bagas.

Masa itu, senja menjelang malam atau sekitar Jam 18.00 WIB saja, di semua huta/perkampungan di Desa Janji Martahan, salah satunya Huta Lumban Bagas, nyata gelap gulita, secara umum penduduk desa masih mengandalkan penerangan lampu sentir berbahan bakar minyak tanah.

Di
Bu Guru Mida Sagala saat turun ke pesisir jadi pemateri kegiatan pendampingan kurikulum merdeka. (Foto. Istimewa)

Bagi sebagian besar penduduk desa, sumber air bersih utama adalah air pengunungan, warga setempat menyebutnya, Aek Oppu Martuajulu, berada di bagian selatan perkampungan, mengalir dan meliuk-liuk melewati lembah ngarai hingga ke sekitaran pemukiman penduduk. Dan bagi sebagian kecil warga yang tinggal tak jauh dari pinggiran danau, cenderung Danau Toba dijadikan sumber utama air bersih untuk minum, memasak nasi dan lainnya.

Sulung dari tiga bersaudara, adiknya bernama Andi dan Tiur, mereka adalah buah hati dari pasangan B. Sagala dengan S. Boru Sitanggang. Ketika masih di kampung, ayahandanya yang bermarga Sagala itu, bertani cabai dan bawang, sedangkan ibunda bersawah, bercocok tanam padi. Sagala memang punya basic bertani, ia lulusan SLTA Pertanian di Medan.

Sang Kuasa berkehendak lain, Selepas panen cabai, pada tahun 1978 atau Mida masih berumur sekitar setahunan, Sagala melangkah pasti mengadu nasib ke Ibukota Jakarta. Kedatangan Sagala di Metropolitan, penuh harap seakan sudah ditunggu sebuah pekerjaan. Bagi Sagala, kelahiran putri sulungnya bukan serba kebetulan, tapi semua itu adalah rencana Sang Kuasa. Tak begitu lama atau belum hitungan tahun tiba di Jakarta, ia dapat pekerjaan sebagai tenaga sirkulasi di sebuah perusahaan media cetak nasional terbitan sore.

Di tahun 1979, gadis mungil yang kata banyak orang, wajahnya jiplakan- mirip Pak Sagala itu, masih berumur dua tahunan, sudah dibawa kedua orang tuanya urbanisasi ke Jakarta. Tepatnya, di daerah Cililitan Kecil, Kramat Jati, Jakarta Timur. Waktu itu, mereka menumpang KM Tampomas, dari dan ke Belawan tujuan Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Hari berganti minggu, bulan hingga tahun, waktu terus bergulir, Mida sudah duduk di bangku taman kanak-kanak di umur 5 tahun. Ia anak penurut, tidak rewel, cerdas dan mudah akrab dengan teman sebayanya. Cililitan Kecil, di Jalan Setiawan adalah “kampung halaman” kedua bagi Mida setelah Janjimartahan-Harian Boho, Samosir.

Di
Guru-guru SMP Negeri 01 Leksula foto bersama saat Hari Guru. (Foto. Istimewa)

Hari berganti minggu, bulan hingga berganti tahun, waktu terus berpacu, Mida sudah duduk di bangku taman kanak-kanak di umur 5 tahun. Ia anak penurut, tidak rewel, cerdas dan mudah akrab dengan teman-teman sebayanya. Cililitan Kecil, Jalan Setiawan adalah “kampung halaman” kedua bagi Mida selain Janji Martahan-Harian Boho, Kabupaten Samosir.

BACA JUGA  Kebun Teh Sidamanik, Pesona Alam yang Menyegarkan Jiwa

Perempuan yang berperangai ekstrovert, ceplas ceplos dan humoris itu, menghabiskan masa anak-anak, remaja sampai dewasa di Ciljlitan Kecil. SDN 01 Kramat Jati, SMPN 150 Kramat Jati dan SMAN 14 Cawang di Ibukota Jakarta merupakan ruang tempatnya mengecap pendidikan bertaraf Ibukota.

Pilih Kerja

Usai menyelesaikan sekolah lanjutan atas dari SMA Negeri 14 pada 1995, Mida lebih memilih bekerja, bukan ia tidak ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, kedua orang tuanya menyarankan berkuliah, namun Mida punya pertimbangan lain, pertama urusan ekonomi keluarga yg kurang mendukung, kedua sekolah adik-adiknya tidak terganggu, ketiga bekerja cari pengalaman dan bisa membantu keluarga meskipun orang tua tak berharap.

Sepuluh tahun bekerja sebagai staf inventory di perusahaan retail di seputar kawasan Kwitang, Jakarta Pusat. Tak sedikit pelajaran yang diperoleh selama bekerja, dapat upah pasti, tetapi lebih dari itu Mida secara tak langsung telah menempa diri untuk bekal di masa datang. Ia belajar etos kerja, kerja keras yang bertanggungjawab dan belajar ketelitian di bidang tanggungjawabnya.

Rasa tanggungjawab, ekstra sabar, peduli, pengertian dan mudah mengulurkan tangan merupakan bagian kepribadian yang melekat padanya. Lelah bekerja bukan penghalang bagi Mida untuk turut merapikan pekerjaan sehari-hari di rumah. Disamping itu, perempuan berkulit kuning langsat, dan kerap bergaya rambut sebahu, juga turut bersumbangsih memenuhi kebutuhan keluarga.

Di
Guru SMP Negeri 01 Leksuladi bersama murid-murid. (Foto. Istimewa)

Kedua orang tua dan adiknya sungguh merasakan buah perhatian si anak sulung, bukan saja karena ia mengambil bagian tanggungjawab dari sisi financial, tetapi juga perhatian terhadap pendidikan adik-adiknya serta menunjukkan sikap hormat dan sayang kepada kedua orang tua. Sebaliknya, baik adik maupun orang tuanya cukup sayang dan segan pada Mida.

Jeritan hati tiada yang tahu kecuali Sang Maha Kuasa. Mida tak kuasa berkata-kata, hanya linangan air mata-lah sebagai ungkapan rasa pilu yang mendalam saat mama tersayang dipanggil ke sisi Tuhan pada 2001.

Banyak hal yang ingin ia perbuat dan tunjukkan kepada almarhumah mama, namun apalah daya takdir berkehendak lain, mama sudah terlebih dulu menghadap pencipta-Nya. Dibalik itu semua, terselip sedikit rasa bangga sebagai pelipur lara,”sebelum pergi untuk selamanya, mama masih sempat merasakan hasil keringatku meskipun itu tak ada apa-apanya dibandingkan kasih sayang mama.”

Benih Pendidik

Lika liku pendorong langkah sebagai tenaga pendidik datang tanpa rencana, bahkan tak pernah terbesit dalam benak bercita-cita menjadi seorang guru formal di ruang kelas. Meskipun bukan sebuah cita-cita, tetapi bukan pula sebuah frasa dalam penggalan lagu berjudul Engkau Begini Aku Begitu : “Semangka Berdaun Sirih” ciptaan Rinto Harahap dan dipopulerkan oleh Broery Marantika di zamannya.

Frasa penggalan sebuah lirik lagu tersebut menggambarkan sesuatu yang tak mungkin terjadi, dan memang tak punya benih semangka berdaun sirih. “Frasa itu hanyalah penggalan sebuah lagu, kiasan tentang asmara dua insan”. Berbeda dengan kisah Mida, meskipun menjadi seorang guru bukanlah sebuah cita-cita yang terencana, tetapi sesungguhnya tanpa disadari ‘benih-benih pendidik’ sudah melekat pada dirinya.

Awalnya, Ochie sang sahabat mengajak kuliah Diploma 1 Bahasa Inggris, Mida secara tersirat menolak ajakan tersebut. Pertimbangannya, ia masih membantu kedua adik yang sedang berkuliah. Tapi Ochie setengah memaksa dan bahkan membujuk agar Mida ikut arisan.

Ketepatan Ochie bendahara arisan. Arisan akan dikondisikan. “Semua kertas bertuliskan nama Mida, sehingga nama Mida keluar yang pertama untuk mendapatkan arisan, Ochie berbisik dan tersenyum,”kenang Mida puluhan tahun silam. Dan uang arisan itulah biaya pangkal berkuliah.

Waktu terasa singkat, satu tahun berlalu, Diploma 1 selesai. Bagi Mida, melewati satu tahun meraih Diploma 1 suatu perjuangan yang tidak mudah untuk memanage keuangan, waktu dan tenaga. Ia ingin berhenti, namun Indah seorang sahabat lainnya meraih tangannya sebagai isyarat agar Mida harus bertekad melanjutkan hingga sarjana-S1.

BACA JUGA  Relawan GSM Mahasiswa Aktif, Siap Ditempatkan di Desa-desa

Belajar-Mengajar

Di
Bu Guru Mida Sagala diundang sebagai pemateri Kurikulum Merdeka di SMP YPPK Waeturen, Leksula, Kabupaten Buru Selatan, Maluku (Foto. Istimewa)

Di tahun 2007, Mida resign dari perusahaan retail sebagai tenaga admin. Ia memulai pekerjaan baru, selaku asisten guru si salah satu sekolah TK bertaraf internasional dengan gaji besar, berlokasi di bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara. sekalipun belum punya pengalaman, namun Mida bertekad ingin belajar untuk menimba pengalaman baru yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Urusan honor, mengikuti saja sesuai standar yang diberikan.

Di TK itu, guru-guru berasal dari beberapa negara. Seperti Kepala Sekolah berasal dari Singapore, dan guru lainnya asal Filiphina. Bahasa pengantar sehari-hari di lingkungan TK, Full English. Tanpa disadari, Mida merasakan kemampuan English-nya drastis menanjak lebih bagus. Sebaliknya, Mida mengajari guru-guru asal Filiphina belajar Bahasa Indonesia.

Selain di TK berkelas internasional tersebut, Mida juga belajar dari beberapa tempat lain yang menghantarkannya lebih cepat bisa, setidaknya menjadi lebih berani Speak English. Seperti aktivitasnya di Gereja JPCC (Jakarta Praise Community Church) dan di IES (Internasional English Service), secara tidak langsung menjadi wadah belajar bagi Mida dalam menambah dan mengasah kemampuan Berbahasa Inggris. Karena, tak sedikit kegiatan ibadah menggunakan Bahasa Inggris, dan jemaatnya juga berasal dari berbagai negara.

Semakin hari, hubungan Mida selaku asisten semakin Harmonis dengan para guru. Tak salah langkah, lingkungan di TK tersebut menempah Mida lebih berwawasan. “Kayaknya aku berada di jalur yang benar dan tepat,”kira-kira begitu tergiang di pikiran perempuan yang terlihat tidak cekatan tapi pasti.

Dipersunting Putra Seram

Di
Bu Guru Mida Sagala bersama Darren anak dan suami Albert Kakerissa. (Foto. Istimewa)

Jodoh tak ada yang tahu, bahkan ahli nujum sekalipun tak kuasa meramalkan jodoh atau pasangan hidup seseorang. Begitu pula Mida, sebelumnya ia tak membayangkan bakal dipersunting lelaki berdarah Maluku, berasal dari Kepulauan Seram, terletak di sebelah utara Pulau Maluku. Pada tahun 2008, Albert Kakerissa dengan Hurmida Boru Sagala resmi melangsungkan pernikahan, tepatnya di Kota Ambon.

Tak lama menunggu, pasangan berbeda suku dan satu iman itu, dikaruniai seorang putra bernama Darren. Bersama putranya, mereka pindah dan menetap di Ambon. Dan Kota Ambon adalah saksi bisu ketika Ibunda Darren perlahan menapaki kehidupan baru menata masa depan agar lebih baik dan berarti.

Bermaksud mencoba peruntungan mengikuti test CPNS sebagai Pranata Humas. Karena belum memiliki Akta 4, program pendidikan kependidikan singkat atau akta mengajar yang dulunya dikeluarkan untuk lulusan non pendidikan agar dapat mengajar. Oleh sebab itu, ia tak bisa mendaftar sebagai guru dikarenakan tak memenuhi persyaratan Akta 4

Di kala itu, Mida baru dua minggu melahirkan Darren. Keluarga yang berada di Ambon agak terkaget melihat tekadnya begitu kuat untuk dapat mengikuti test CPNS, meskipun gagal atau belum milik. Tak sampai disitu, Mida berangkat ke Jakarta demi mengejar Akta 4 di UKI Cawang, Jakarta Timur. Kemudian kembali ke Ambon, dan mengajar di TK Kalam Kudus sembari memberikan les private Bahasa Inggris.

Test CPNS dan Lulus

“Kesungguhan, tekad, nekat, tangguh yang dibingkai kesabaran dan menyatu dalam jiwa, terus bergelora mensuarakan,”pantang menyerah sebelum berjuang. Maksudnya, bila ada kesempatan test CPNS, Mida pasti mencoba untuk kedua kali.

Gayung bersambut, pada akhir 2010, Tante Ota pengasuh Darren memberikan info kepada Mida bahwa telah dibuka test CPNS di Kabupaten Buru Selatan, Propinsi Maluku. Suami dan mertua menghardik Mida agar mengurungkan niatnya karena trauma kerusuhan Namrole. Namun Mida tetap kekeh, ia mohon do’a restu untuk menyertai langkahnya dalam proses mengikuti test CPNS tersebut.

Keberangkatan ke Kabupaten Buru Selatan bertepatan pada Minggu, Mida menumpang speed seorang diri. Terpaksa, putranya Darren yang masih berumur dua tahun untuk sementara ditinggalkan bersama keluarga. Seiring tambatan kapal diliepas, air mata berderai membasi pipi, sepanjang perjalanan kapal, ia berkali-kali mengusap linangan air mata dan tak bisa berkata-kata mau bilang apa kepada si buah hati, Darren.

Tiba di Namrole, mama Darren agak terperangah kaget, situasi dan kondisi daerah setempak di luar bayangannya. Tak ada penerangan listrik kecuali penerangan ala lampu tradisi lokal, dan air bersih bersumber dari sumur/perigi yang harus ditimba. Kondisi kurang nyaman, tapi konsekuensinya harus bertahan.

BACA JUGA  Singkirkan Penat-mu di Bukit Holbung, Samosir

Test berlangsung dan Mida menyelesaikan 80 soal kurang dari satu jam, 40 soal dikerjakan berdasarkan hasil buah pikir dan sisanya 40 soal diselesaikan dengan strategi “fifty : fifty”. Pengerjaan soal dikebut demi mengejar jadwal speed balik ke Ambon. Sebab, rute perjalanan kapal terbatas dan terjadwal.

Sebelumnya sudah bertanya kepada pengawas tentang jumlah formasi dan pelamar. Ia meminta izin keluar lebih awal dengan alasan anak kurang sehat. Seketika pengawas menegur agak marah, namun akhirnya Mida diperbolehkan keluar lebih duluan. Tak pikir panjang, Mida berlari menapaki Tanah Merah Masnana menuju pelabuhan, napas tersengal, dan sesaat ia menaiki kapal.

Beberapa waktu setelah test CPNS, Mida mendapat kabar bahwa Kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Ambon terbakar. Karenanya, pengumuman sempat tertunda dalam waktu yang cukup lama, bahkan Mida hampir lupa. Suatu hari, iseng-iseng membaca koran daerah, ia terperangah ketika melihat namanya terpampang salah satu dari yang lulus test CPNS.

Sesaat itu perasaan senang, haru biru disertai tangis sebagai ungkapan rasa syukur yang tak terhingga. Di Jakarta keluarga sempat menduga bahwa kelulusan Mida karena ada uang pelicin. “Namun belakangan keluarga percaya kalau kelulusan CPNS itu murni atas usaha dan kerja keras,”kenang Mida, dan menamahkan tak terlepas “campur tangan” Tuhan.

Bertugas di Daerah 3T

Di
Guru SMP Negeri 01 Leksuladi bersama murid-murid. (Foto. Istimewa)

Kabupaten Buru Selatan, Kecamatan Leksula adalah satu daerah berstatus Daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Mida pertama kali ditempatkan bertugas di SMP Negeri 01 Leksula. Pada September 201o, ia ditemani suami dan anak berangkat ke Leksula.

Bagi Mida, Daerah 3T sebuah tantangan baru. Memang sedikit ada rasa galau yang menimbulkan pertanyaan, “Apa iya aku betah mengajar disini ?”. Namun tak ada hitungan menit, pertanyaan itu diabaikan, Mida jawab sendiri dalam hati,”SMPN 01 Leksula memang memanggilku dan menghendaki aku ada disana.” Mida yakin dan percaya bahwa Tuhan-lah yang menuntunnya bisa sampai di daerah tersebut.

Menurut cerita keluarga beberapa tahun silam, Mida itu orangnya sekilas terlihat lemah, namun dibalik itu ia berpendirian teguh dan bersikap tegas tanpa harus banyak bicara atau bukan orang bertipe ‘talk only no action’. Disamping itu, putri sulung dari tiga bersaudara, kata Pak Sagala, adalah tipe orang yang menjiwai apa yang dikerjakannya.

Kepala Sekolah, Markus Lekatompessy, bersedia rumahnya dijadikan tempat tinggal untuk sementara waktu, sebelum Mida pindah ke rumah dinas guru. Agar layak huni, ia memperbaiki sendiri rumah dinas guru tersebut. Dan setelah rapi, Mida pindah ke rumah dinasnya.

Leksula memberikan pengalaman baru: alam yang berbeda, budaya yang lain, makanan yang asing, dan keterbatasan sebagai wilayah 3T. Tantangan paling berat adalah kondisi alam. Musim timur membuat gelombang Laut Buru begitu ganas. Seringkali Hurmida hampir tidak bisa pulang saat liburan semester.

Di daerah 3T, kata Hurmida, taruhannya nyawa, modalnya hanya nekat dan menyerahkan diri pada Tuhan. Di sekolah, tantangan lain menanti, pola pikir siswa dan lingkungan yang berbeda jauh dari standar sekolah kota. Ia sempat kecewa, tapi ia sadar, ia datang untuk membawa perubahan—sekecil apa pun.

Kini, sudah 14 tahun Hurmida Sagala mengabdi di Buru Selatan. Ia sudah melalui banyak suka, duka, perjuangan, dan air mata. Namun tetap percaya bahwa pendidikan adalah jalan paling mulia untuk menabur perubahan, bahkan jika perubahan itu kecil, bahkan jika ia tidak lagi berada di sana suatu hari nanti.

“Saya adalah Hurmida Sagala.”
“Setiap langkah hidup saya adalah perjalanan menuju panggilan Tuhan menjadi seorang guru,” ujarnya kepada Media Pilar Merdeka.Com beberapa hari lalu. (Monang Sitohang)

Google

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

- Advertisment -

DAERAH