Oleh Hery Buha Manalu
Pada tiap 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan di negeri tercinta Indonesia. Setidaknya, peringatan Hari Pahlawan mengingatkan kembali semangat perjuangan serta pengorbanan para pahlawan yang tiada tara dan tak tergantikan oleh apapun demi merebut kemerdekaan. Mereka adalah Pahlawan Kemerdekaan. Kini di abad 21, sosok kepahlawanan berubah peran mengikuti perkembangan zamannya.
Musuh kita saat ini tak lagi kolonial yang bersenjata ingin merampas kekayaan negeri. Tetapi ketidakpedulian, kerakusan dan perusak ekologi. Bumi pertiwi sedang berperang bukan melawan bangsa lain, justru melawan ulah tangan jahil manusia-manusia bangsa sendiri.
Di tengah krisis pelestarian alam, dimana alam adalah, “rumah” bagi semua makhluk hidup, muncul panggilan dan tuntutan baru, menjadi “pahlawan bagi bumi”. Pahlawan tanpa senjata dan peluru yang mengusung dan menggenggam kepedulian demi “rumah” kehidupan. Di tanah Batak, panggilan itu menggema keras melalui lintas generasi sebuah warisan budaya yang sarat makna spritual, atau dikenal tradisi Perang Pulas.
Semangat PULAS
Dalam budaya Batak, PULAS bukan sekadar peperangan antar marga. Ia adalah simbol tanggung jawab moral terhadap kehidupan bersama. Pengumuman PULAS dilakukan ketika ada ancaman terhadap keadilan, martabat, atau keseimbangan hidup masyarakat. Dalam konteks kini, semangat itu dapat dibaca ulang sebagai panggilan moral untuk melawan ketidakadilan ekologis yang terjadi di sekitar kita.
Hutan-hutan di sekitar Danau Toba ditebang, tanah adat dikuasai tanpa restu leluhur, dan air danau yang dulunya jernih kini mulai tercemar. Semua ini bukan hanya krisis lingkungan, tetapi juga krisis spiritual. Sebab, ketika manusia merusak alam, ia sesungguhnya sedang melukai hubungan suci dengan Sang Pencipta.
PULAS masa kini tidak lagi mengangkat tombak, melainkan kesadaran. Ia mengajak setiap orang Batak, dan siapa pun yang mencintai bumi, untuk bangkit dan berkata: “Cukup sudah.” Cukup terhadap kerakusan, terhadap pengabaian, terhadap dosa ekologis yang membuat bumi merana.
Keberanian Menjaga Ciptaan
Dalam teologi Batak, tanah bukan benda mati, ia adalah tubu ni ompunta, tubuh para leluhur. Setiap jengkal tanah yang diinjak adalah ruang kudus tempat Tuhan berdiam. Maka, kehilangan tanah adat bukan hanya soal ekonomi, tetapi kehilangan identitas dan spiritualitas.
Di banyak desa sekitar Danau Toba, masyarakat adat berjuang mempertahankan haknya atas tanah dari perusahaan-perusahaan besar. Mereka bukan sekadar menolak eksploitasi, tetapi mempertahankan kehidupan. Di sinilah lahir pahlawan-pahlawan baru, para petani, ibu rumah tangga, dan pemuda yang menjaga tanahnya agar tetap hijau. Mereka adalah pewaris semangat PULAS yang sejati.
Mereka tidak berperang untuk menghancurkan, tetapi untuk memulihkan. Mereka tidak menuntut kekuasaan, tetapi menuntut keadilan bagi bumi. Mereka menunjukkan kepada kita bahwa kepahlawanan masa kini lahir dari keberanian untuk menjaga ciptaan, bukan menguasainya.
Pertobatan Ekologis
Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ menyerukan “pertobatan ekologis”, perubahan hati yang mengembalikan manusia pada hubungan kasih dengan bumi. Seruan itu menggema hingga ke Tanah Batak, di mana masyarakat hidup di antara gunung dan danau, menyatu dengan alam.
Pertobatan ekologis berarti berhenti memperlakukan alam sebagai objek, dan mulai memandangnya sebagai saudara. Ini adalah langkah spiritual untuk menebus kesalahan manusia terhadap bumi. Dalam semangat PULAS, pertobatan ini bukan sekadar perasaan bersalah, tetapi tindakan nyata.
Menanam pohon, melindungi sumber air, mengurangi sampah plastik, menjaga tanah adat, dan mengedukasi generasi muda, semua ini adalah bentuk perang baru. Perang melawan ketidakpedulian, melawan gaya hidup boros, melawan sistem yang menindas alam demi keuntungan sesaat. Setiap langkah kecil adalah bentuk kepahlawanan ekologis.
Danau Toba, Saksi Luka dan Harapan
Danau Toba, yang bagi orang Batak adalah lambang kesuburan dan rahim kehidupan, kini menyimpan luka yang dalam. Airnya yang dulu biru bening kini perlahan kehilangan kejernihan. Hutan di sekitarnya gundul, tanahnya kering, dan udara tidak lagi sejuk seperti dulu.
Namun di balik luka itu, masih ada harapan. Banyak komunitas adat, gereja, dan kelompok muda kini bergerak untuk memulihkan Danau Toba. Mereka menanam pohon, membersihkan sungai, dan menumbuhkan kesadaran baru bahwa menjaga bumi adalah bentuk iman yang paling sejati.
Dari tepi danau inilah suara profetik PULAS bergema, perangilah ketidakpedulian, damailah dengan bumi. Sebab bumi bukan milik kita, melainkan titipan yang harus dijaga untuk anak cucu.
Keadilan Ekologis
Keadilan ekologis adalah wujud kasih Allah yang menyeluruh, kasih yang mencakup manusia dan seluruh ciptaan. Dalam teologi Kristen, manusia dipanggil menjadi penjaga (steward), bukan penguasa atas bumi. Maka, menjadi pahlawan bagi bumi berarti menjalankan kasih dengan keadilan, menolak eksploitasi, mengupayakan pemulihan, dan memperjuangkan hak hidup semua makhluk.
Tradisi PULAS menjadi cermin dari panggilan ini. Ia bukan tentang perang destruktif, tetapi tentang keberanian moral untuk menegakkan tatanan ilahi di tengah ketidakadilan ekologis. Inilah wajah baru kepahlawanan, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan kesetiaan kepada kehidupan.
Dari Tanah Batak untuk Dunia
Hari Pahlawan tahun ini mengajak kita merenung, apakah kita masih memiliki semangat berkorban seperti para pejuang terdahulu? Jika dulu pahlawan berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa, kini kita dipanggil untuk mempertahankan kemerdekaan bumi.
Bumi yang merdeka adalah bumi yang lestari, tempat manusia dan alam hidup berdampingan dalam damai. Pahlawan bagi bumi adalah mereka yang berani mengubah gaya hidup, membela lingkungan, dan menolak ketidakadilan ekologis. Mereka yang menanam, bukan menebang. Mereka yang memulihkan, bukan merusak.
Di Tanah Batak, semangat ini telah hidup sejak lama. PULAS kini menemukan maknanya yang baru, bukan perang untuk menumpahkan darah, tetapi perang untuk menegakkan kasih. Bukan perang untuk menguasai tanah, tetapi untuk menjaga kehidupan.
Menjadi pahlawan bagi bumi adalah panggilan iman, panggilan cinta, dan panggilan kemanusiaan. Dari tanah yang subur dan danau yang biru, orang Batak mengajarkan bahwa perjuangan sejati bukan untuk menang, tetapi untuk menyembuhkan.
Hari Pahlawan mengingatkan kita bahwa keberanian tidak selalu berarti berperang. Kadang, keberanian sejati adalah menanam satu pohon di tanah yang gersang, menolak proyek yang merusak hutan, atau sekadar mengajarkan anak-anak untuk mencintai bumi.
Sebab pahlawan sejati adalah mereka yang menjaga kehidupan, dengan hati, dengan iman, dan dengan cinta.
Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana STT Paulus Medan, Pemerhati Lingkungan dan Budaya


