BerandaPendidikanMenelusuri Jejak Alam, Geopark Toba dan Kesadaran Ekologis Masyarakat

Menelusuri Jejak Alam, Geopark Toba dan Kesadaran Ekologis Masyarakat

MEDAN, PILAR MERDEKA – “Danau Toba disebut sebagai Tao Na Marsiaholan, danau yang menghidupi. Hutan disebut parlindungan, tempat perlindungan dan pemurnian. Batu dianggap sebagai tempat bermukimnya arwah leluhur atau simbol kehadiran roh pelindung,”ujar Dr. Hery Buha Manalu, S.Sos, M.Mis Dosen Pasca Sarjana STT Paulus Medan di Kantin Gubsu, Jalan Diponegoro, Kota Medan, Selasa (29/7).

Inilah ekologi, ujarnya lagi dalam bahasa lokal: bukan “pelestarian” dalam arti teknokratis, melainkan Pangurupi—cara hidup yang menghormati tanah sebagai pemberi hidup.

Di balik pemandangan memesona Geopark Kaldera Toba (GKT), yang membentang dari lembah danau purba hingga perbukitan vulkanik yang menjulang, tersimpan pesan-pesan ekologis yang sangat dalam.

Namun pesan itu tidak selalu terucap dalam bahasa sains atau regulasi modern, melainkan dalam narasi adat, simbol batu, dan ritus budaya yang hidup dalam masyarakat Batak. Bahkan kesadaran ekologis, yang kini menjadi isu global—sesungguhnya telah lama hadir dalam kearifan lokal Batak.

Toba
Batu Marsanggul di Desa Janji Martahan, Kecamatan Harian Boho, Kabupaten Samosir. (Foto. Pilar Merdeka)

“Hanya saja, ia berbicara dengan bahasa leluhur,”jelas Hery Buha yang menggunakan kemeja panjang kotak-kotak.

Dalam konteks masyarakat Batak, tutur Hery menjaga alam bukan semata tindakan ekologis, melainkan bagian dari menjaga Habonaran (kebenaran), Hamoraon (kemakmuran), dan Hasangapon (kehormatan). Alam adalah bagian dari struktur moral dan spiritual.

Simbol seperti Batu Hobon atau Tugu Marga bukan hanya benda sakral, tetapi wahana transmisi kesadaran ekologis. Mereka mengajarkan generasi muda untuk “mengingat” leluhur, dan dengan itu, menghargai tanah tempat leluhur itu berpijak.

Tugu tidak dibangun sembarangan. Ia didirikan berdasarkan perhitungan spiritual, mengikuti aliran angin, menghadap danau atau gunung, dan ditanam di tanah yang dianggap Sombaon, tanah suci. Ini adalah bagian dari relasi ekologis yang mendalam antara manusia, ruang, dan waktu.

BACA JUGA  Rasa Ketir di Lidah Khas Manuk Napinadar

“Sayangnya, dalam arus modernisasi dan pariwisata yang kian masif, banyak nilai lokal itu tergerus. Batu menjadi sekadar objek wisata, danau menjadi latar swafoto, dan tugu dilihat hanya sebagai artefak budaya. Padahal, di balik itu semua, terdapat sistem pengetahuan yang bisa menjadi fondasi bagi kesadaran ekologis yang kontekstual dan tahan krisis,”ungkap Hery sambil menyeruput minumannya.

Toba
Lokasi Batu Hobon berada di Desa Limbong, Sarimarrihit, Samosir, Sumatera Utara. (Foto. Pilar Merdeka)

Maka, membangun kesadaran ekologis dalam masyarakat Batak tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan luar, seperti kampanye plastik atau peraturan pemerintah. Perlu pendekatan Dalihan Na Tolu, menghidupkan kembali sistem nilai kekeluargaan, di mana hubungan dengan sesama (dongan tubu), dengan tanah (tanah tumpuan), dan dengan leluhur (sumangot) menjadi utuh kembali.

Sosialisasi ekologi bisa dimulai dari ritus adat: saat Mangalahat Horbo, berbicara tentang keseimbangan alam. Saat marsialap ari, berbicara tentang peralihan musim dan siklus tanah. Bahkan dalam ungkap budaya seperti “Tanah do Hamoraon ni Hasangapon” (Tanah adalah sumber kemakmuran dan kehormatan), sudah terkandung ajaran pelestarian lingkungan yang sangat kuat.

Menurut Hery Buha Manalu, penulis dan peneliti budaya Batak, “Masyarakat Batak tidak bisa dipisahkan dari simbol. Maka, simbol itulah yang harus digunakan untuk menghidupkan kembali kesadaran ekologis. Jangan mengajarkan pelestarian lingkungan dalam bahasa asing, ajarkan lewat tugu, lewat batu, lewat ritual adat, karena di sanalah mereka merasa memiliki.”

Geopark Kaldera Toba, dalam hal ini, bisa menjadi jembatan antara dunia modern dan dunia simbolik masyarakat Batak. Ia bisa menjadi ruang dialog, tempat generasi muda belajar geologi dan spiritualitas sekaligus. Ketika batu tak lagi hanya dilihat sebagai benda mati, tapi sebagai pewarta nilai, dan ketika danau dipahami bukan hanya sebagai air, tapi Tao Na Marsiaholan, maka kesadaran ekologis akan tumbuh bukan karena instruksi, tapi karena keyakinan.

BACA JUGA  Gubsu: Sudah 21 Kabupaten/Kota Usulkan Sekolah Rakyat

Geopark Toba harus menjadi ruang edukasi ekologis yang hidup, di mana cerita, nyanyian, dan simbol budaya Batak menjadi metode pendidikan yang menyatu,”harap Hery Buha.

Hery Buha Manalu menambahkan, kesadaran ekologis sejati tidak tumbuh dari larangan tapi dari penghayatan. Penghayatan itu telah lama hidup, dan kini saatnya kembali membaca dengan bahasa yang dimengerti masyarakatnya sendiri, yakni bahasa batu, tugu dan bahasa danau. (Monang Sitohang)

Google

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

spot_img
- Advertisment -

DAERAH