BerandaBudayaMemaknai Konsep Dalihan Na Tolu Dalam Kehidupan Masyarakat Batak

Memaknai Konsep Dalihan Na Tolu Dalam Kehidupan Masyarakat Batak

MEDAN, PILAR MERDEKA – Tataring, selintas pikiran tertuju ke tungku. Lebih dari itu, tataring adalah satu ruang atau lokasi dapur yang utamanya tempat memasak. Selain itu, tataring juga bisa dimanfaatkan untuk perapian, menghangatkan tubuh kala musim dingin, dan saat seorang perempuan Batak yang baru melahirkan akan ‘marsisilu’ – menghangatkan diri dekat perapian tersebut. Letak tataring cenderung di bagian belakang ruang utama rumah.

Di ruang tataring pasti ada tungku, biasanya di satu rumah tertata dua tungku. Tiap tungku terdiri dari tiga batu berposisi segi tiga sebagai dudukan bagi wadah/peralatan memasak. Dahulunya, mungkin dari pola pikir tungku itulah leluhur Suku Batak mencetuskan suatu ide berupa konsep Dalihan Na Tolu (Dalihan = tungku, Na Tolu = yang tiga). Bukan tidak beralasan, Dalihan Na Tolu itu dijadikan pedoman dalam kehidupan sosial kemasyarakatan bagi Suku Batak hingga sekarang.

Tiga batu ditata berbentuk segita menjadi satu kesatuan tungku, cukup ideal dan kuat untuk menahan wadah/alat sesuai peruntukan bahan yang dimasak. Seperti periuk, kuali dan dandang. Dua batu menjadi satu tungku, cenderung kurang kokoh. Empat atau lima batu, kurang ideal untuk memasukkan bahan kayu untuk dibakar.

Dimaknai dalam kehidupan, tungku berbahan batu harus sejajar dan sama tingginya agar kokoh. Dan batu memiliki sains berfikir para leluhur Batak bahwa batu bagian dari alam atau kosmologi. Artinya sejak dahulu masyarakat Batak sudah menganut pemikiran yang tak terlepas dari ikatan alam.

Dalihan Na Tolu
Dr. Hery Buha Manalu, S.Sos, M. Msi, Dosen Pasca Sarjana STT Paulus Medan, juga Pemerhati Budaya dan Lingkungan. (Foto. Istimewa)

Konsep Dalihan Na Tolu juga gambaran keseimbangan, kesederhanaan dan kejujuran. “Kalau satu tungku terdiri dari berbahan batu, kayu dan besi tentulah tidak nyambung. Kayu akan terbakar. Jadi satu tungku harus sama berbahan batu,” jelas Dr. Hery Buha Manalu, S.Sos, M. Msi, Pemerhati Budaya dan Lingkungan, belum lama ini di Desa Tembung.

Implementasi atau prakteknya, Dalihan Na Tolu memiliki tiga makna dalam kehidupan. Pertama, manat mardongan tubu. Dimaknai agar tidak sembrono, hati – hati dan sopan santun kepada satu marga dan/atau satu padan. Karena marga itu tidak satu dan berdiri sendiri. Pasti ada padanan marga satu dengan lainnya.

Kedua elek marboru. Kira – kira bisa dimaknai agar lebih membujuk, mengalah dan santun menghadapi anak perempuan kandung, adik atau kakak perempuan kandung (ito), kepada saudara perempuan satu marga dan padanan/rumpun marga itu sendiri.

Termasuk namboru, saudara perempuan dari bapak kita, juga patut dielek. Ketiga somba marhula – hula. Secara adat kedudukan hula – hula lebih tinggi di hadapan borunya. Hula – hula itu bukan dimaknai harus disembah, tapi cukup dihormati dan dihargai. Hula – hula (tulang) atau paman merupakan saudara laki – laki dari yang melahirkan kita. Dan saudara laki – laki dari sang istri. Contohnya, meskipun seseorang itu lebih muda, tetapi kalau statusnya tulang, tetap disebut tulang, dan memamggil nama tulang termasuk tabu.

Menurut pengamatan Dosen Pasca Sarjana STT Paulus Medan itu, punya konsep berfikir kehidupan, makan itu harus diambil dari alam maka penyangganya juga harus diambil dari alam yang kuat dan kokoh tidak boleh pecah. “Hal itu menjadi sifat alamiah dalam kekerabatan Batak,” tutur pria berambut panjang sebahu dan berpostur tinggi. (Monang Sitohang)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

spot_img
- Advertisment -

DAERAH