Oleh Dr Hery Buha Manalu
Di tengah derasnya arus digital yang menembus batas ruang dan waktu, manusia kerap terjebak dalam polarisasi pandangan dan perpecahan identitas. Perbedaan yang semestinya menjadi sumber kebijaksanaan justru berubah menjadi alat pemisah. Dalam situasi seperti ini, sebuah pepatah kuno dari Tanah Batak terdengar kembali dengan gema yang kuat, “Tampakna do tajomna, rim ni tahi do gogona,” yang berarti “kebersamaan itu adalah ketajaman, satu jalan pikiran adalah kekuatan.”
Pepatah ini bukan sekadar warisan tutur leluhur, melainkan pedoman etis yang menegaskan bahwa kekuatan sejati tidak pernah lahir dari kesendirian. Ia tumbuh dari kesatuan pikiran dan rasa yang berpadu dalam semangat gotong royong. Filosofi ini menemukan manifestasinya secara historis dalam gerakan pemuda Batak pada awal abad ke-20, terutama melalui organisasi Jong Bataks Bond, yang menjadi bagian penting dalam perjalanan menuju Sumpah Pemuda 1928.
Konteks Sejarah, Ketika Pemuda Batak Menyatukan Perbedaan
Pada awal abad ke-20, di tengah penjajahan Belanda dan menguatnya kesadaran nasional, muncul berbagai organisasi pemuda di Hindia Belanda. Salah satunya adalah Jong Bataks Bond, yang didirikan sekitar tahun 1925–1926 oleh para pelajar Batak di Batavia. Mereka datang dari berbagai sub-etnis, Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak, dan Angkola, yang sebelumnya merasa kurang terwakili dalam organisasi Jong Sumatranen Bond.
Tujuan pendirian Jong Bataks Bond bukan untuk menonjolkan perbedaan, melainkan untuk memperkuat identitas Batak sebagai bagian dari keindonesiaan. Mereka menanamkan semangat “Habonaron do Bona” (kebenaran adalah dasar) sebagai nilai moral perjuangan, serta meneguhkan bahwa perbedaan adalah kekayaan yang memperkaya bangsa.
Tokoh seperti Amir Sjarifuddin Harahap tercatat menjadi bagian penting dalam Kongres Pemuda II tahun 1928, bahkan menjabat sebagai bendahara panitia. Dalam kongres itu, Jong Bataks Bond bersama Jong Java, Jong Minahasa, dan organisasi pemuda lainnya meneguhkan ikrar yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Ini bagian dari semangat “Tampakna do tajomna” menemukan bentuk nyatanya, kebersamaan yang melahirkan ketajaman visi kebangsaan.
Refleksi Nilai Budaya, Dalihan Na Tolu dan Filsafat Menyatukan
Dalam struktur sosial Batak, dikenal falsafah Dalihan Na Tolu: somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Nilai ini mencerminkan keseimbangan dan keharmonisan sosial, menghormati yang lebih tua, berhati-hati terhadap sesama, dan mengasihi yang lebih muda.
Jika ditilik lebih dalam, nilai-nilai Dalihan Na Tolu memiliki keselarasan makna dengan pepatah “Tampakna do tajomna, rim ni tahi do gogona.” Keduanya menekankan pentingnya harmoni dan kerja sama sebagai dasar kekuatan masyarakat. Dalam konteks Jong Batak, prinsip ini menjelma menjadi semangat kolektif untuk menegaskan bahwa kebersamaan antar sub-etnis Batak bukanlah ancaman, melainkan fondasi bagi keutuhan bangsa.
Dengan kata lain, Jong Batak tidak hanya menjadi simbol gerakan pemuda etnis, tetapi juga jembatan antara identitas lokal dan kesadaran nasional. Dari kesadaran itulah lahir sebuah paradigma bahwa keindonesiaan justru tumbuh dari keragaman.
Relevansi Masa Kini, Ujian Kebersamaan di Zaman Viral
Hampir seabad setelah Sumpah Pemuda, generasi Batak kini menghadapi tantangan baru, bukan penjajahan fisik, tetapi penjajahan nilai dan algoritma. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang dialog, sering berubah menjadi arena pertentangan identitas. Perdebatan tentang siapa yang “lebih Batak” atau perbedaan antar sub-etnis mencerminkan kegelisahan identitas di era modern.
Namun sejarah telah memberi cermin yang jernih. Para pendiri Jong Batak tidak memperdebatkan garis keturunan, melainkan mencari titik temu dalam perjuangan. Mereka percaya bahwa persatuan pikiran dan hati lebih penting daripada keseragaman bentuk.
Oleh karena itu, generasi muda Batak masa kini perlu menyalakan kembali api Jong Batak dalam bentuk baru, berkolaborasi untuk mencipta karya. Misalnya, mengembangkan wisata budaya berkelanjutan, membangun literasi berbasis kearifan lokal, atau mengangkat seni dan musik Batak ke panggung nasional. Semua itu adalah wujud kontemporer dari filosofi “Tampakna do tajomna”, ketajaman lahir dari kebersamaan.
Sumpah Baru di Tanah yang Sama
Sumpah Pemuda telah menjadi warisan sejarah yang meneguhkan arah bangsa. Kini, generasi Batak modern perlu meneguhkan sumpah baru, untuk menyatukan, bukan memisahkan; berdialog, bukan menghujat; berkarya, bukan berdebat tentang identitas.
Sebagaimana pesan leluhur, “Tampakna do tajomna, rim ni tahi do gogona”, ketajaman hanya ada dalam kebersamaan; kekuatan hanya lahir dari satu jalan pikiran.
Kita boleh berbeda marga, logat, dan adat, tetapi satu roh persaudaraan menyatukan kita. Itulah warisan sejati Jong Bataks, bukan hanya untuk masyarakat Batak, tetapi juga untuk Indonesia, tanah air yang selalu menemukan daya hidupnya kembali dari semangat kebersamaan.


