JAKARTA PILAR MERDEKA – Nama Ryan Kyoto tentu tak asing bagi penikmat musik era 1980-an. Komposer handal ini dikenal lewat karya-karyanya yang pernah dipopulerkan Ermy Kullit, Chrisye, hingga Novia Kolopaking. Selain aktif mencipta lagu, ia juga sempat merilis album solo dan membentuk kelompok musik Air bersama Richard Kyoto, Iga Mawarni, dan Annie Ibon.
Kini, di usianya yang matang, Ryan Kyoto menegaskan perkembangan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), tidak akan pernah menggantikan orisinalitas karya musik. Menurutnya, AI hanya berfungsi sebagai alat bantu, bukan pengganti kreativitas pencipta lagu.
“AI hanyalah alat. Karya tetap lahir dari hati pencipta,” ujar Ryan Kyoto saat ditemui awak media ini di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (18/8).
Ryan menilai perkembangan musik Indonesia sejalan dengan pesatnya kemajuan global. Lagu yang lahir di luar negeri kini bisa langsung terdengar di tanah air. Namun, ia mengingatkan musisi tetap menjaga identitas. “Saya tetap menjadi diri sendiri. Nuansa Melayu atau dangdut hadir karena saya suka, bukan karena tren,” katanya.
Tantangan dan Royalti
Meski teknologi memberi kemudahan, Ryan menyoroti tantangan lain yang dihadapi musisi, yakni promosi karya. Banyak musisi kini harus mandiri tanpa dukungan label besar. “Kami bikin studio sendiri, musik sendiri, promosi pun sendiri. Itu tantangan besar,” ungkap komposer 80-an itu.
Selain itu, persoalan royalti disebut masih menjadi pekerjaan rumah besar industri musik. Menurut Ryan, pemahaman soal kewajiban royalti belum merata, terutama di daerah. “Banyak pengguna musik di daerah tidak tahu kewajiban royalti. Sosialisasi belum maksimal,” tegasnya.
Ia pun meminta pemerintah hadir lebih aktif mengawasi pelaksanaan pembayaran royalti dan mendorong transparansi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). “Semua harus jelas, biar tidak ada saling curiga,” kata Ryan.
Kemudian Ryan Kyoto mengajak para pencipta lagu untuk bersatu memperjuangkan hak bersama, alih-alih terjebak perpecahan. “Jangan saling ribut sesama musisi. Lebih baik kita bersatu memperjuangkan hak,” kata Ryan lagi.
Jiwa Musik Lahir dari Manusia
Menanggapi tren AI, Ryan menilai teknologi hanya sekadar fenomena. Jiwa musik tetap lahir dari manusia. “AI bisa membuat suara, tapi jiwa musik lahir dari manusia,” tegasnya.
Menurutnya, musisi tak perlu takut kehilangan ruang karena kreativitas dan selera masyarakat akan selalu berkembang.
Ryan juga mengingatkan pentingnya generasi muda mengenal akar budaya agar musik Indonesia tidak kehilangan identitas. “Musik tradisi bisa hidup berdampingan dengan musik modern. Kreativitas itu luas,” katanya.
Bagi Ryan Kyoto, musik bukan sekadar hiburan, melainkan cermin budaya bangsa. “Musik adalah jiwa bangsa. Kalau sistemnya jelas, semua pihak akan sejahtera,” tutupnya. (Agus Oyenk)