MEDAN, PILAR MERDEKA – Rumah Tjong A Fie merupakan salah satu, cagar budaya, yang melegenda di Tanah Melayu Deli. Jika berbicara tentang destinasi wisata di Kota Medan, tak sedikit yang bisa dikunjungi baik sisi sejarah maupun budayanya. Salah satu sejarah yang memiliki history penting di Kota Medan yaitu rumah Tjong A Fie.
Rumah Tjong A Fie terletak di salah SATU kawasan bergengsi, daerah Kesawan, Jalan Ahmad Yani, No. 105, dan/atau mendekati sekitar pusat Kota Medan di Tanah Lapang Merdeka, dan tidak begitu jauh dari Istana Maimoon – Istana Kesultanan Deli, kurang lebih dua kilometer.
Tjong A Fie yang bernama asli Tjong Fung Nam alias Zhang Yao Xuan, kelahiran 1860 di Sungkow, Mexian Guangdong, Tiongkok. Ia dilahirkan dari kalangan keluarga sederhana, keturunan orang Hakka. Tjong A Fie tujuh bersaudara dan ia anak ke empat. Keenam saudaranya yaitu, Tjong Chiok Chen, Tjong Yong Hian, Tjong Chiok Kiu, Tjong Chiok Pei, Tjong Chiok Chen dan Tjong Chiok Sien.
“Pada tahun 1878, Tjong A Fie merantau ke Indonesia (masa itu bernama Hindia Belanda), tepatnya di wilayah Kesultanan Deli – Melayu Deli, sekarang lebih dikenal bernama Kota Medan. Kala itu Tjong A Fie masih berusia sekitar 18 tahun,” ujar Hendri salah seorang guider di rumah peninggalan Tjong A Fie, Sabtu (18/3)
Berbekal uang pas-pasan, anak keempat dari tujuh bersaudara itu, menyusul abangnya-Tjong Yong Hian yang telah lima tahun lebih dahulu datang ke Tanah Deli.
Tanah Deli menjadi pilihan bagi keluarga Tjong A Fie untuk mengadu nasib, kemungkinan besar dikarenakan pada masa itu Tanah Deli sudah begitu tersohor hampir ke seluruh belahan dunia sebagai salah satu penghasil tembakau terbesar yang memiliki cita rasa dan aroma berkualitas internasional. Dari zaman Hindia Belanda, sebagian besar wilayah Deli memang perkebunan tembakau.
Di masa itu, Tjong Yong Hian sudah menjadi Kapitan (pemimpin) bagi kalangan Tionghoa di Tanah Deli – Medan. Karenanya, tidak sulit bagi Tjong A Fie untuk mendapatkan pekerjaan. Terbukti, tidak sampai hitungan tahun menginjakkan kaki di Tanah Deli, Tjong A Fie mulai bekerja di toko milik teman abangnya bernama Tjong Sui Fo.
Tidak betah bekerja di toko, berbagai pekerjaan lainpun dilakoninya. Mulai dari memegang buku, melayani pelanggan sampai menagih utang sekalipun dinikmati. Gambarannya, Tjong A Fie adalah seorang pekerja keras, ulet/tekun dan pintar bergaul dengan berbagai kalangan.
Bagi Tjong Yong Hian, sosok adiknya si Tjong A Fie itu punya talenta untuk menggantikan posisinya sebagai pemimpin komunitas Tionghoa di Tanah Deli. Tepatnya 1911 atau setelah 30 tahun lebih Tjong Yong Hian menjadi Kapitan Tionghoa (Majoor der Chinezeen), posisi itupun berganti kepada Tjong A Fie.
Sejak saat itu hingga sekarang, nama besar Tjong A Fie tak pernah pudar termakan waktu. Selain meninggal nama besar, Tjong A Fie juga punya peninggalan yang bernilai sejarah dan budaya di Kota Medan, yakni bangunan rumah tinggal yang berdiri di atas tanah seluas 6.000 meter persegi dengan luas bangunan 4.000 meter persegi, terdiri dari 24 kamar, 40 ruangan dan 2 kamar mandi. Rumah tinggal itu dibangun tahun 1895 dan selesai 1900.
Walaupun Tjong A Fie berasal dari Tiongkok, namun bangunannya tidak sepenuhnya bergaya Tionghoa. Rumah Tjong A Fie merupakan perpaduan dari tiga gaya arsitektur, yaitu Tionghoa, Eropa, dan Melayu. Gaya Tionghoa sangat jelas terlihat pada gerbang serta ornamen-ornamen yang menghias bangunannya. Jendela kayunya bergaya Melayu dan tiang-tiang besar di dalam rumah sangat jelas bergaya Eropa.
“Jika dilihat sisi sejarah dan budayanya, rumah peninggalan Tjong A Fie itu punya histori penting di Kota Medan. Sekitar 2010 telah dijadikan cagar budaya serta menjadi salah satu destinasi wisata sejarah dan budaya,” jelas Hendri yang juga alumni dari Poltekpar Medan.
Semasa Hidup Tjong A Fie
“Tjong A Fie semasa hidupnya memiliki 11 anak dari tiga istri. Istri pertama Madam Lee berasal dari Cina punya seorang anak (diadopsi). Istri kedua Madam Chew berasal dari Penang, memiliki tiga anak kandung, dan istri ketiga Madam Lim Kei Yap berasal dari Binjai turunan Melayu-Cina Singapore memiliki tujuh anak kandung,” ungkap Hendri.
Di dalam kehidupan sehari-hari, Tjong A Fie selalu menjalankan tradisi sebagaimana di negeri asal, seperti menghormati arwah-arwah nenek moyang yang telah meninggal, dan menjalankan ajaran-ajaran agama Budha, membangun rumah berdasarkan fengsui, memberikan edukasi kepada anak laki-laki tanpa batasan. Sementara edukasi untuk anak perempuan tidak begitu luas karena saat mau dinikahkan akan memakan banyak biaya.
Sebelum akhir hayat, Tjong A Fie berpesan,”bilamana ia meninggal dunia supaya dikebumikan di Medan. Hal itu sebagai bukti ungkapan hati atas kecintaannya terhadap pribumi. Pada 4 Februari 1921, Tjong A Fie meninggal dunia dalam usia 61 tahun, kabarnya terkena stroke, dan dimakamkan di Pulau Brayan, Kota Medan. Setelah Tjong A Fie tiada, seluruh harta diurus oleh anak-anaknya.
Pengunjung (wisatawan) bisa datang ke rumah Tjong A Fie setiap hari, Senin sampai Minggu, mulai dari Jam 9.00 – 17. 00 Wib. Perorangnya harus merogoh kocek sebesar Rp. 35.000, baik wisatawan lokal maupun mancanegara, kecuali anak-anak umur 6 – 12 tahun itu Rp. 20.000, Sedangkan untuk anak sekolah dikenakan Rp. 20.000. Dan saat Imlek rumah Tjong A Fie tidak beroperasional. (Monang Sitohang)