BerandaKolom"Perjalanan Waktu Mengubah Waktu Tempuh Perjalanan Menuju Samosir"

“Perjalanan Waktu Mengubah Waktu Tempuh Perjalanan Menuju Samosir”

Oleh Monang Sitohang
Pada pertengahan dekade tahun 70-an, perjalanan dari Kota Medan menuju salah satu kampung/desa di sekitar wilayah Samosir, contohnya Perkampungan/Desa Janjimartahan, Kecamatan Harian Boho, Kabupaten Samosir (dahulu : Kabupaten Tapanuli Utara), bisa menyita waktu tempuh perjalanan mencapai 14-15 jam, berangkat Jam 06.00 WIB, dan sampai tujuan akhir Jam 20.00 WIB.

Kala itu, moda angkutan orang masih sangat terbatas, prasarana untuk angkutan itu sendiri, seperti kualitas jalan belum semulus sekarang, terminal terpadu tak punya, dan sebagian jembatan masih berbahan kayu. Bahkan plus berjalan kaki berkilometer agar sampai tujuan akhir/rumah tinggal/perkampungan penduduk di Desa Janjimartahan tersebut.

Tak punya pilihan, perjalanan pun tak efisien, boros waktu dan pasti merogoh kantong lebih dalam untuk biaya selama di perjalanan. Gonta ganti sarana angkutan atau transit bisa sampai empat kali pada jenis moda yang sama (darat) hanya untuk satu tujuan perjalanan.

Kisahnya, dari rumah berjalan kaki ke persimpangan Pasar 2 Jalan Rakyat, Medan Timur (kini Medan Perjuangan). Kemudian, naik becak mesin atau angkot (Sudaco) ke Terminal Sambu, lanjut ganti angkot tujuan Terminal Amplas, lanjut lagi dari Amplas menumpang bus antar kota dalam propinsi menuju terminal di Pematang Siantar, dan dari terminal ini menumpang bus (saat itu Laut Tawar salah satu bus ternama) menuju Dermaga Harang Gaol atau Tigaras untuk berpindah ke moda angkutan air/danau yang berada diantara Kabupaten Simalungun dan Karo.

Pada masa itu, waktu tempuh dari bilangan Pasar 2 Jalan Rakyat atau asal keberangkatan menuju pelabuhan/dermaga di Harang Gaol via rute Medan-Pematang Siantar- Harang Gaol, bisa mencapai sekitar 6-7 jam perjalanan dengan jarak tempuh lebih 200 kilometer. Mungkin waktu tempuh tak jauh berbeda bila melalui rute Medan-Kabanjahe-Merek-Raya-Harang Gaol atau Tigaras. Untuk pilihan rute tersebut, tergantung asal keberangkatan penumpang.

Waktu
Bukit Cinta di Desa Janji Martahan, Kecamatan Harian Boho, Kabupaten Samosir. (Foto. Pilar Merdeka) 
Waktu
Monang Sitohang saat berjalan menuju Bukit Holbung, Kecamatan Harian Boho. (Foto. Pilar Merdeka)

Kalau penumpang asal Medan Timur, Tembung, Percut Sei Tuan, Medan Belawan, Amplas dan sekitarnya, cenderung memilih rute Medan-Pematang Siantar-Harang Gaol atau Tigaras. Sedangkan masyarakat penumpang asal Medan Barat, Helvetia, Sunggal, Delitua dan Padang Bulan, lebih memilih rute Medan-Kabanjahe-Merek-Raya-Harang Gaol atau Tigaras. Masing-masing pilihan rute bagi penumpang adalah untuk efisiensi. Dan ketersediaan bus terbatas untuk melayani kedua rute tersebut, serta jam keberangkatan bus juga tak terjadwal secara teratur.

Berangkat dari Medan sekitar Jam 06.00 WIB, tiba di pelabuhan Harang Gaol via Pematang Siantar, antara Jam 12.00-13.00 WIB. Untuk melanjutkan perjalanan menuju Pangururan, beralih moda ke transportasi air-angkutan danau, dan harus menunggu keberangkatan kapal dua sampai tiga jam bahkan terkadang bisa lebih dari waktu tunggu tersebut.

Mau tak mau, suka tidak suka, dan tak punya pilihan, keberangkatan kapal memang harus ditunggu. Sebab, tak ada alternatif angkutan kapal lain rute Harangaol-Pangururan. Ketepatan, situasi dan kesempatan saat itu, Hari Pekan tiap Rabu di Pangururan. Sementara, satu-satunya kapal penumpang dari Desa Janjimartahan, kalau Hari Pekan tidak melayani penumpang tujuan Harang Gaol. Disamping itu, faktor cuaca juga menentukan keberangkatan kapal.

Kapal lepas tali sandar, sekitar Jam 14.00 WIB, perlahan meninggalkan Harang Gaol menuju pelabuhan di Pangururan melintasi Pulau Malau, pulau di tengah Danau Toba. Ketepatan Rabu itu, kapal terbilang sedikit lebih awal berangkat dari hari lainnya.

Rabu itu, di bulan Oktober 1974, sekitar Jam 14.00 WIB, kapal lepas tali sandar dan perlahan memutar arah meninggalkan pelabuhan Harang Gaol menuju pelabuhan di Pangururan. Cuaca cerah,  ombak bersahabat dan terik matahari tak terkecuali menyengat ke sekeliling alam Danau Toba.

Waktu
Kapal penumpang di perairan Danau Toba. (Foto. Pilar Merdeka)

Ketepatan, keberangkatan kapal hari itu terbilang sedikit lebih awal dari hari-hari lainnya. Tak lain, agar tidak telat menjemput waktu tunggu kapal-kapal dan/atau boat yang sandar di Onan Lama (Pekan/Pasar Lama) Pangururan. Bagi masyarakat Samosir sekitarnya, ‘Rabu’ adalah special day, mereka datang dari sejumlah perkampungan/desa berpekan untuk menjual hasil tani dan tangkapan ikan serta sebaliknya belanja kebutuhan rumah tangga untuk selama beberapa minggu bahkan bulanan.

Perjalanan kapal rute Harang Gaol-Pangururan dan Pangururan-Harang Gaol, melintasi satu pulau, Pulau Malau namanya, berada di tengah Danau Toba diantara kawasan tao (perairan) Kabupaten Samosir, Simalungun, Karo, dan Kabupaten Dairi. Pulau itu menjadi cerita rakyat yang melegenda turun-temurun, sarat mistis dan spiritual. Tak banyak orang yang melihat langsung pulau itu, kecuali yang pernah melintasi perairan disana.

Tanpa terasa, senja menjelang, sekitar Jam 17.00 WIB, kapal memasuki perairan Tano Ponggol (tanah terpisah). Tano Ponggol pemisah daratan Pulau Sumatera dengan daratan Pulau Samosir yang terhubungkan oleh jembatan, dan tenar disebut Jembatan Tano Ponggol. Ketepatan senja itu, air tak dangkal dan kapasitas penumpang wajar, sehingga kapal tetap bisa melaju dengan perlahan tanpa menurunkan sebagian penumpang. Biasanya, kalau air dangkal, sebagian penumpang diturunkan untuk mengurangi beban angkut.

Beberapa saat kemudian, kurang lebih Jam 17.30 WIB, kapal menambatkan tali sandar di pelabuhan Onan Lama Pangururan. Suasana terlihat sudah tak ramai, seakan hari itu bukan hari maronan/berpekan-Rabu. Hanya tinggal dua kapal dan beberapa perahu boat siap diberangkatkan kembali dari dan ke pelabuhan asal mengangkut penumpang.

Terlihat di seberang kejauhan, tujuan  perjalanan pulang kampung, Kampung/Desa Janjimartahan, gelap gulita, tak satupun tampak cahaya penerang disana, di kampung kelahiran kedua orang tua. “Masih jam enam kurang seakan sudah tengah malam.”

BACA JUGA  Pendekatan Pro-Life dalam Hukum Indonesia: Larangan dan Pengecualian Aborsi

Senja menjelang malam saat itu, seorang bapak dan anak sudah naik ke salah satu dari dua kapal yang masih berada di pelabuhan dan sudah siap-siap lepas tali tambat meninggalkan Pangururan menuju pelabuhan di Kampung Sihotang (Desa Muara Pohan), sekarang lebih dikenal daerah wisata Bukit Holbung.

Menumpang kapal rute dari dan ke Sihotang-Pangururan bukanlah pilihan awal tapi pilihan akhir karena tak punya pilihan lain. Sementara kapal tujuan awal Kampung/Desa Janjimartahan, dan Harian Boho (kota kecamatan) yang jaraknya lebih dekat ke Janjimartahan adalah pilihan kedua, ternyata kapal tujuan ke dua tempat tersebut sudah lebih dulu meninggalkan Pelabuhan Onan Lama Pangururan.

Si bapak itu mengaku merasa bersyukur masih sempat menumpang kapal tujuan Sihotang, meskipun ia tahu konsekuensi nantinya. Tanpa terasa, kurang lebih sudah dua jam perjalanan mengarungi perairan Danau Toba. Bapak itu membangunkan si anak dari tidur pulas nya. Kapal sandar, satu per satu penumpang mulai turun dari kapal.

Sambil menenteng satu tas bermuatan pakaian dan beberapa bungkus roti tawar, orang tua  yang berumur 34 tahun kala itu, perlahan ia menuntun si anak menapaki “jalan tikus” melintasi pemukiman penduduk di Kampung Sihotang hingga menanjak landai menuju jalan (umum) di badan bukit. Saat ini, jalan tersebut seperti simpang tiga, arah Desa Janjimartahan, wisata Bukit Holbung dan arah Desa Muara Pohan.

Sambil menenteng sebuah tas berisi pakaian dan beberapa bungkus roti tawar, lelaki yang kala itu berumur 32 tahun, ia menuntun si anak lewat jalan setapak melintasi pemukiman penduduk Kampung Sihotang, perlahan menanjak landai, mengikuti jalan meliuk bak ular yang terbentuk sendiri oleh pejalan kaki.

Melangkah tanpa penerang lampu jalan, terlihat cahaya remang dari rumah-rumah penduduk yang agak berjauhan satu sama lain, sebagian berjarak antara sepuluh sampai dua puluh meter. Umumnya warga masih menggunakan penerangan variasi lampu senter yang terbuat dari kaleng dan kaca, bersumbu jenis kain dianyam dan berbahan bakar minyak tanah.

Jalan tanah bebatuan, rerumputan, ilalang dan pepohonan tumbuh liar di sisi jalan, pandangan mata ekstra awas. Si anak berjalan seakan merangkak, tak pernah dan pertama kali merasakan suasana  malam berjalan tanpa penerangan, apalagi mendaki perbukitan serta plus bercampur lelah seharian dalam perjalanan gonta ganti angkutan, dan ujungnya harus berjalan kaki.

Rembulan seakan genit mengintip dan bintang-bintang tak begitu menerangi jalan tanah bercampur bebatuan, rerumputan, ilalang dan pepohonan tumbuh liar di sisi jalan sehingga mengajak mata ekstra awas. Si anak berjalan tertatih, tak pernah dan baru pertama kali berjalan dalam suasana malam hari tanpa penerangan, apalagi mendaki landai perbukitan yang menguras energi. Letih sudah pasti, seharian perjalanan gonta ganti angkutan dan ujung-ujungnya harus berjalan kaki. “Kalau tahu begini, aku tak ikut pulang kampung,”mungkin kira-kira begitu gumam si anak dalam hati.

Sekilas mengenang persimpangan jalan tempat si bapak dan anak  istirahat di malam hari sekitar lima puluh satu tahun silam, sekarang lokasi/persimpangan tersebut adalah persimpangan tujuan wisata Bukit Holbung, viral sebagai bukit camping bagi kawula muda di kawasan Samosir.

Sekilas mengingat lima puluh satu tahun silam di persimpangan jalan tempat istirahat si bapak dan anaknya pada malam hari, sekarang persimpangan-lokasi tersebut adalah menjadi salah satu persimpangan menuju wisata Bukit Holbung, viral sebagai bukit camping bagi wisatawan kawula muda yang berada di kawasan Samosir. Di sekitar persimpangan itu, kini sudah ada penerangan listrik-PLN, tampak sejumlah warung makanan dan minuman ringan serta gorengan.

Perlahan orang tua dan putranya itu, beranjak melangkah menuruni badan bukit di jalan tanah bebatuan agak sedikit meliuk yang lebarnya kurang lebih satu meter. Berjalan arah ke barat, si anak diposisikan di sebelah kiri si bapak, sebab di sebelah kanan jurang lumayan curam dengan ke dalam lebih dari 100 meter. Si anak sempat ciut nyalinya, selain kondisi jalan tak nyaman, penerangan pun nihil. Sehingga ia sesaat digendong di pundak si bapak hingga puluhan meter ke depan.

Beberapa kali istirahat, hampir satu jam berjalan dalam sunyi dan gelapnya malam, keduanya sampai di Dusun Holbung. Mungkin saat itu si bapak sedikit merasa lega, karena setelah Holbung tibalah di Desa Janjimartahan.

Di bawah hamparan lereng perbukitan antara pebukitan Holbung dengan Janjimartahan dan diatas perkampungan Dusun Holbung, dua anak manusia perlahan-lahan melangkah menelusuri jalan tanpa banyak berkata-kata. Tepat, sebelum di satu badan bukit dimana tampak sebagian badan bukit tersebut tergerus/bekas longsor yang seakan terbelah, si bapak menghentikan langkahnya.

Intinya, si bapak terpaksa uji nyali, harus melalui badan pebukitan yang tergerus longsor dengan lebar serta kedalaman sekitar 10-20 meter dan panjang menurun ke arah danau setidaknya 50 meter. Kalau bapak itu memilih turun ke bawah arah danau atau memilih mendaki bukit lebih diatas badan bukit yang longsor, rasanya tak mungkin karena pasti sangat melelahkan. Penuh ekstra kehati-hatian, keduanya selamat melintasi jalan, meliuk-liuk di bagian dalam bukit hingga ke seberang jalan  yang lebih nyaman. Kondisi badan bukit yang curam dan padat bebatuan itu, warga lokal menyebutnya “silgang”.

BACA JUGA  Debat Pertama Paslon Bupati Kabupaten Samosir

Kurang lebih 20 menit setelah melewati Silgang, persis di persimpangan bukit, kini viral menjadi tujuan wisata baru, dikenal sebagai Bukit Cinta di belahan utara, dan arah ke barat tampak sudah Desa Janjimartahan. Sejenak istirahat, si bapak berkata dan menunjuk arah ke depan,”itulah kampung kita”.

Tak lama beristirahat, keduanya melanjutkan perjalanan. Melalui jalan agak turunan, datar,  tanjakan landai, menurun lagi, menyeberangi kali kecil, dan jalan menanjak berbelok diantara bebatuan cukup besar atau batu sebesar ‘angkutan kota’ serta kiri kanan rimbum nya bambu bagaikan pintu gerbang  memasuki pemukiman, tibalah di sebuah rumah, diperkirakan sudah hampir Jam 01.00 WIB.

Empunya rumah agak terheran, ia tak menduga anak dan cucunya tiba dini hari. Sekedar gambaran, rumah panggung berbahan 100% kayu merupakan gaya bangunan rumah di pemukiman tersebut. Di bagian bawah/kolong, cenderung digunakan kandang ternak seperti, kerbau, sapi/lembu, kambing dan ayam. Lumban Uruk adalah sebutan pemukiman itu, disana berdiri 7 rumah, dua rumah dihuni bermarga Pasaribu, dua Sitanggang, dua Sitohang dan satu rumah dihuni bermarga Habeahan.

Sampri “Menggilas” Waktu

Waktu
Bus Samosir Pribumi (Sampri) (Foto. PO Sampri) 

Beberapa tahun kemudian atau memasuki pertengahan era 80-an, di masa Orde Baru, kalau tidak salah dalam Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) Tahap II, transportasi, jalan, infrastruktur dan penerangan termasuk ke dalam prioritas program kerja lima tahun. Masa itu, pemerintah lebih fokus memperkuat transportasi moda darat yang mampu menjangkau dan melayani angkutan orang dan/atau barang dari dan ke pelosok negeri hingga perkotaan.

Samosir Pribumi (Sampri), salah satu perusahaan bus di zamannya, bus sedang AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi), angkutan orang yang melayani trayek dari dan ke Medan-Pangururan/Samosir via Kabanjahe-Sidikalang-Tele menuju Pangururan. Kalau tidak salah, awal Sampri operasional antara 1982-1985. Saat itu, Terminal Sampri berlokasi di Jalan Sei Wampu, Kota Medan.

Bagi warga masyarakat Samosir baik yang berdomisili di bonapasogit (kampung halaman) sekitarnya maupun di perantauan seperti Kota Medan, Deli Serdang dan Langkat merasa sangat berterimakasih atas kehadiran Sampri. Bus Sampri dianggap era perubahan pelayanan angkutan darat, salah satu angkutan pemberi alternatif, bisa efisiensi secara finansial dan waktu, serta efektif dalam pelayanan meskipun masih terbatas.

Terbukti efisien dari dan ke keberangkatan hingga tujuan akhir perjalanan, naik Bus Sampri trayek  Medan/Sei Wampu-Pangururan lewat Kabanjahe-Sidikalang, waktu tempuh perjalanan lebih singkat dibandingkan perjalanan di tahun 70-an sebelumnya, trayek Medan-Pematang Siantar (angkutan darat) Harang Gaol/Tigaras-Pangururan (angkutan perairan), setidaknya lebih singkat 5 sampai 7 jam. Kemungkinan bisa kurang dari 5 jam selisih singkat waktu tempuhnya bila dihitung dari asal keberangkatan rumah di Medan hingga tujuan akhir rumah di bona pasogit.

Efisiensi waktu diikuti juga efisien biaya perjalanan (low cost of traveling). Disamping efisiensi waktu dan biaya perjalanan, di masa kehadiran Sampri tersebut, perjalanan Medan-Samosir, sudah tidak lagi gonta ganti angkutan sebagaimana perjalanan di masa  tahun 70-an.

Bila berangkat dari Terminal Sampri di Sei Wampu, Kota Medan tujuan Pangururan, waktu tempuh perjalanan mencapai sekitar 8 sampai 9 jam. Keberangkatan Bus Sampri saat itu terjadwal dan teratur. Pagi sebelum jam 8.00 WIB, menjelang siang antara jam 10-11.00 WIB dan antara jam 12 sampai 14.00 WIB. Tarif atau ongkos cukup terjangkau, seingatnya Rp.8 ribu-an.

Di masa tahun 80-an, berangkat dari Terminal Sampri di Sei Wampu, Kota Medan menuju Pangururan cukup satu kendaraan moda angkutan saja bisa sampai tujuan tanpa ganti kendaraan baik inter maupun antar moda. Istirahat dan/atau makan-minum hanya sekali di Sumbul, Dairi.  Waktu tempuh perjalanan antara 8 hingga 9 jam.

Keberangkatan Bus Sampri kala itu, terjadwal dan teratur. Kalau tidak salah, trip pertama di pagi hari, biasa berangkat sekitar Jam 8.00 WIB, trip kedua menjelang Jam 10-11.00 WIB dan trip ketiga/akhir antara Jam 12-14.00 WIB. Tarif atau ongkos Medan-Pangururan, seingatnya mencapai Rp.8 ribu-an per orang dewasa, dan ongkos penumpang untuk  anak-anak kecuali balita separoh ongkos dewasa.

PSN Manjakan Penumpang

Waktu
Bus Pulau Samosir Nauli (PSN) (Foto. Fb PT PSN)

Pulo Samosir Nauli (PSN), salah satu perusahaan angkutan penumpang orang pendatang baru di era tahun 90-an setelah Sampri di tahun 80-an. PSN melayani trayek Medan-Pangururan/Samosir dan sekitarnya. Pool PSN berlokasi di Jalan Jamin Ginting, Padang Bulan, Medan. Kalau tidak salah, jenis armada-armada PSN yang dioperasionalkan adalah jenis ELF,  berpenumpang kurang lebih 15 orang.

Keberadaan PSN saat itu membuktikan bahwa pemerintah berupaya meningkatan pelayanan transportasi di Sumatera Utara, khususnya di sub-sektor transportasi darat, angkutan penumpang orang yang melayani trayek Medan-Kabanjahe-Sidikalang-Pangururan/Kawasan Samosir. Peningkatan pelayanan tersebut semakin nyata dan terasa dengan dibarengi pembangunan serta perkembangan infrastruktur jalan.

Tak terhindarkan, tampak terjadi persaingan diantara sejumlah pengusaha angkutan di trayek yang sama, Medan-Pangururan. Sampri yang terlebih dulu merintis, sudah punya pasar dan pelanggan. Sementara, PSN salah satu perusahaan angkutan pendatang baru di masanya, masih “meraba” pasar untuk berstrategi guna merebut hati calon penumpang/pelanggan.

Seiring bergulirnya waktu, terbukti strategi PSN ampuh, meskipun terbatas namun PSN sudah punya pasar penumpang yang bahkan menjadi pelanggan tetap baik di pelosok bonapasogit maupun di sekitar Kota Medan.

BACA JUGA  Menhub Budi: SDM Jadi Tonggak Utama Kemajuan Transportasi

Keunggulan PSN, “memanjakan” penumpang, PSN bersedia antar-jemput penumpang dari dan ke depan rumah. Bagi sebagian penumpang, cara PSN seperti itu dianggap pelayanan ekstra, penumpang menjadi tertarik untuk menjadi pelanggan. Mungkin itulah strategi PSN memikat hati calon pelanggan.

Yang jelas, pelayanan ekstra PSN tersebut menguntungkan bagi penumpang. Setidaknya, bisa mempersingkat waktu tempuh perjalanan, pengeluaran uang lebih irit dan tak boros tenaga.

Contohnya, PSN bersedia mengantarkan sejumlah penumpang dari Medan ke tujuan akhir perjalanannya, seperti ke sekitar Kecamatan Harian Boho, Desa Janjimartahan, Dusun Holbung dan Desa Muara Pohan/Sihotang atau bukan tujuan akhir perjalanan Pangururan. Terlebih kalau selain Hari Pekan (Rabu) di Pangururan, penumpang sangat berharap diantar ke tujuan akhir. Supaya sinkron antar-jemput, baik dari dan ke Medan-Pangururan,  penumpang biasanya menyesuaikan jadwal keberangkatan PSN dan konfirmasi beberapa hari sebelumnya.

Bagaimana strategi pelayanannya, PSN bersedia mengantarkan langsung ke tujuan akhir perjalanan sesuai permintaan penumpang yang bersangkutan, biasanya lebih dari dua penumpang. Seperti, ke wilayah Kecamatan Harian Boho, Desa Janjimartahan, Dusun Holbung dan Desa Muara Pohan-Sihotang.

Apalagi di hari selain hari Rabu/hari pekan (hari onan) di Pangururan, para penumpang sangat berharap bisa diantar ke wilayah tujuan akhir perjalanan tersebut, sebagian penumpang bisa turun tidak jauh dari rumah tujuan, dan bahkan sebagian penumpang bisa diantar sampai ke depan rumah.

Kalau tidak diantar, konsekuensinya penumpang akan berjalan kaki dari Gotting. Bisa dibayangkan lelahnya kalau berjalan kaki dari Gotting ke Desa Janjimartahan dan/atau ke Dusun Holbung. Diperkirakan bisa menyita waktu satu sampai satu setengah jam berjalan kaki dengan kondisi jalan bebatuan dan turun-naik dataran tinggi, terlebih bila malam hari waktu tempuh bisa mencapai dua jam perjalanan.

Posisi Gotting jika datang dari Tele berada di pertigaan/persimpangan, antara Kecamatan Sianjurmulamula dengan Kecamatan Harian Boho. Di Gotting itulah biasa angkutan/bus menurunkan penumpang yang bertujuan ke perkampungan/desa-desa di wilayah Harian Boho, sebelum PSN operasional.

Apalagi pada hari selain hari pekan-Rabu (ari onan) di Pangururan, penumpang sangat berharap bisa diantar sampai ke depan rumah dan/atau setidaknya diturunkan tak jauh berjalan kaki menuju rumah. Begitulah konsep pelayanan angkutan penumpang yang ditawarkan oleh PSN di awal keberadaannya di tahun 90-an.

Online, Menggeser Waktu

Sejumlah perusahaan bus seperti Sampri, PSN dan perusahaan bus lainnya yang melayani trayek dari dan ke Medan-Kabanjahe- Sidikalang-Pangururan serta sebaliknya, masing-masing punya masa ke-emas-an di zamannya. Dan pastinya, perusahaan-perusahaan bus tersebut sangatlah berjasa dalam melayani kebutuhan angkutan penumpang bagi masyarakat di Kota Medan tujuan Pangururan via Kabanjahe-Sidikalang. Kini, masa ke-emas-an itu tinggal kenangan.

Waktu terus bergulir, perkembangan dan kemajuan teknologi menjalar ke berbagai bidang, hampir seluruh sendi-sendi kehidupan manusia butuh sentuhan teknologi. Satu diantaranya, teknologi digital yang cukup terdepan dibutuhkan.

Waktu bergulir mengejar masa depan, perkembangan dan kecanggihan teknologi terus menjalar ke berbagai bidang. Dewasa ini, hampir seluruh sendi-sendi kehidupan umat manusia butuh sentuhan teknologi, satu diantaranya teknologi digital. Tak mengikuti zaman yang serba teknologi, kita akan tertinggalkan.  Persaingan bisnis dan/atau usaha sekecil apapun sekarang ini, sudah dirancang dan dipetakan dalam bisnis online, termasuk angkutan penumpang orang yang dipersiapkan secara sistematis.

Model atau sistem pelayanan angkutan atau bus antar kota dalam propinsi (AKDP) era tahun 70-an sampai 90-an dan medio tahun 2000-an, perlahan telah tergusur oleh sistem pelayanan angkutan penumpang orang sistem online. Down load aplikasi, pesan secara online, kapan saja, kendaraan/mobil pribadi berplat hitam langsung meluncur ke titik terdekat lokasi pemesan.

Kendaraan jenis mobil pribadi yang dipesan secara online itu, bukan saja menjemput ke lokasi terdekat pemesan-penumpang, tetapi juga mengantarkan si pemesan-penumpang sampai ke tujuan akhir perjalanan. Pelayanan angkutan online tersebut, boleh dibilang pelayanan eksklusif.

Tentu biaya kendaraan angkutan online lebih diatas biayanya atau lebih mahal dibandingkan angkutan bus. Misalnya, PSN menjemput lima penumpang dari rumahnya di Medan dan mengantarkan sampai ke tujuan akhir, seperti ke Kecamatan Harian Boho, Desa Janjimartahan atau Dusun Holbung, ongkosnya paling sekitar Rp.150 ribu per orang. Sedangkan, bila lima orang menggunakan/menyewa kendaraan angkutan online dengan rute yang sama, biaya ongkos bisa mencapai antara Rp.1,2-1,5 juta, atau hampir dua kali lipat.

Terkadang orang tidak begitu perhitungan untuk biaya ongkos angkutan mobil online, tergantung kebutuhan dan kepentingan seseorang. Mobil online dirasakan lebih private, jadwal penjemputan/ keberangkatan sesuai waktu order dan bisa tepat waktu sampai tujuan akhir perjalanan.

Menggunakan mobil online, waktu tempuh perjalanan bisa juga lebih singkat dibandingkan bus. Disamping itu, pelayanan mobil online tentu terasa lebih nyaman, aman, tepat waktu, ongkos bersaing sesuai pangsa pasar, dan selamat sampai tujuan sebagaimana prinsip penyelenggaraan transportasi nasional.

Tak terbantahkan, standby dan siap sedia meluncur kapan saja dibutuhkan oleh pemesan/penumpang adalah salah satu keunggulan mobil online. Secara tidak langsung, mobil online merupakan “penggeser waktu” keberangkatan alias tak terjadwal secara teratur sebagaimana umumnya angkutan penumpang orang dan tanpa terminal. Penulis Wartawan Pilar Merdeka

Google

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

- Advertisment -

DAERAH