BerandaBudayaMenyuarakan Pangan Lokal, Menggali Akar Budaya Lewat Jong Batak's Art Festival

Menyuarakan Pangan Lokal, Menggali Akar Budaya Lewat Jong Batak’s Art Festival

MEDAN, PILAR MERDEKA – Taman Budaya Sumatera Utara yang berada di Jalan Perintis Kemerdekaan, No.33, Kota Medan akan segera dipenuhi dengan irama, warna, dan suara dari akar budaya yang terus hidup. Tahun ini, Jong Batak’s Arts Festival (JBAF) kembali hadir untuk ke-12 kalinya, membawa semangat perayaan dan refleksi mendalam tentang kehidupan manusia, alam, dan kebudayaan yang tumbuh di tanah Sumatera Utara.

Dengan mengusung tema “Pangan Lokal; Ronggurnesia – Suara dari Akar Budaya yang Menggema ke Masa Depan,” festival ini bukan sekadar pesta seni, melainkan ruang kontemplatif yang mengajak masyarakat untuk kembali mendengar suara yang sering luput — suara petani, penenun, pengrajin, dan masyarakat adat yang menjadi penopang kehidupan sehari-hari.

12 Tahun Menyemai Kesadaran Budaya

Dua belas tahun perjalanan Jong Batak’s Arts Festival bukan waktu yang singkat. Dari tahun ke tahun, festival ini tumbuh menjadi ruang pertemuan lintas generasi dan lintas disiplin seni yang memadukan tradisi dengan gagasan kontemporer.

Tahun 2025 menjadi momentum penting, karena JBAF tidak hanya merayakan seni pertunjukan, tetapi juga membuka percakapan tentang pangan lokal sebagai sumber kehidupan dan simbol peradaban. Melalui pangan, manusia belajar tentang tanah yang memberi, tubuh yang menumbuhkan, serta suara alam yang menuntun.

“Jong Batak’s Art Festival ke-12 ini memang akan menampilkan pertunjukan seni yang beragam, seperti musik, tari, teater, dan seni rupa. Namun, tahun ini kita memiliki fokus khusus pada pangan lokal. Semua karya seni yang ditampilkan akan mengangkat tema tentang pangan, khususnya pangan lokal. Kita juga akan menghadirkan makanan-makanan tradisional,” ujar Audrin Manurung, Ketua Panitia Jong Batak’s Art Festival ke-12, Jumat (17/10).

BACA JUGA  Jalan Sumber, Jalur Favorit Mahasiswa USU 

Festival yang berlangsung pada 18–28 Oktober 2025 ini akan menampilkan serangkaian acara yang tersebar di berbagai ruang di Taman Budaya Sumatera Utara.

Program utamanya mencakup:

  • Pementasan seni pertunjukan, teater, tari, musik, dan performance art yang membaca ulang tubuh dan ruang tradisi.
  • Pameran arsip visual dan narasi tentang perjalanan pangan dari masa lalu ke masa kini.
  • Diskusi dan simposium budaya, membahas pangan lokal, lingkungan, sastra, dan gerakan seni akar rumput.
  • Lokakarya interaktif yang membangun kesadaran pangan, kerajinan tradisi dan ekologi kreatif.

Pertunjukan komunitas muda dan kolaborasi lintas daerah sebagai wujud regenerasi dan keberlanjutan budaya.

Tidak hanya menampilkan seniman dari Sumatera Utara, JBAF #12 juga menghadirkan kolaborator dari berbagai daerah di Indonesia. Dari Pekanbaru hadir Nonblok Ekosistem dan Wan Harun, dari Surabaya Tydif Art Center, dan dari Sulawesi Selatan Sanggar Seni dan Budaya Bulu Kumba. Semua bertemu dalam satu panggung, menjembatani masa lalu dan masa depan, yang lokal dan global.

Pangan sebagai Pintu Memahami Identitas

Kuratorial JBAF #12 menempatkan isu pangan sebagai pintu masuk untuk memahami relasi sosial, politik budaya, dan identitas masyarakat. Melalui setiap pertunjukan dan instalasi, pengunjung diajak untuk menafsirkan ulang makna “makan”, “hidup”, dan “merawat bumi”.

Pangan dalam konteks ini bukan sekadar kebutuhan biologis, tetapi sebuah wacana budaya. Ia menjadi simbol bagaimana manusia berhubungan dengan tanah, dengan sesama, dan dengan keberlanjutan. “Ketika kita berbicara tentang nasi, singkong, atau jagung lokal, sesungguhnya kita sedang berbicara tentang sejarah, tentang relasi kekuasaan, bahkan tentang memori bersama,” ujar salah satu panitia.

Ruang Dialog dan Kesadaran Baru

Selain pertunjukan, festival ini juga membuka ruang diskusi publik bertajuk obrol-obrol budaya, di mana seniman, aktivis, dan masyarakat bisa berbagi gagasan. Beberapa tema yang diangkat mencakup pengelolaan sampah, ekologi pangan, hingga pasar seni berbasis komunitas.

BACA JUGA  Pejalan Kaki Kini Merasa Lebih Aman dan Nyaman

Diskusi-diskusi ini bukan hanya percakapan intelektual, melainkan upaya membangun kesadaran baru: bahwa seni dan budaya dapat menjadi medium untuk membicarakan masa depan bumi dan kemanusiaan.

“Merawat budaya adalah bagian dari merawat bumi. Tanpa tanah dan alam yang sehat, tak ada seni yang bisa tumbuh,” begitu pesan yang berulang kali muncul dalam semangat festival ini.

Merawat Hidup, Tubuh, dan Bumi

Pada akhirnya, Jong Batak’s Arts Festival #12 bukan sekadar ajang hiburan, melainkan panggilan untuk mengingat kembali akar. Melalui seni, festival ini mengajak masyarakat Sumatera Utara — dan Indonesia — untuk memelihara hubungan yang lebih intim dengan tanah, tubuh, dan suara kehidupan.

Festival ini menjadi bukti bahwa tradisi bukan masa lalu yang diam, melainkan sumber energi yang terus memberi arah. Di tangan para seniman muda dan komunitas lintas daerah, budaya lokal terus menggema, menyuarakan masa depan yang lebih berakar, berdaya, dan berkehidupan. (Mons)

Google

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

spot_img
- Advertisment -

DAERAH