MEDAN, PILAR MERDEKA – Indonesia memiliki luas wilayah mencapai 8,3 juta kilometer persegi, hampir 2/3 atau 6,4 juta kilometer persegi perairan dan selebihnya daratan. Kondisi perairan yang begitu luas, Indonesia pun dijuluki negeri bahari dengan gugusan pulau-pulau, lebih 17 ribu pulau dari Sabang sampai Papua.
Gambaran luas perairan Indonesia itu, secara tidak langsung memaksa dan menuntut pemerintah pusat di masa itu untuk segera mendirikan suatu perusahaan angkutan, transportasi air. Tak terbantahkan, angkutan sungai, danau dan penyeberangan memang transportasi yang paling dekat dengan rakyat.
Dekat dengan rakyat, karena hanya transportasi air ini yang memungkinkan bisa menjangkau antar wilayah tingkat kecamatan di satu kabupaten, antar kabupaten di satu propinsi, dan antar propinsi di satu pulau serta antar pulau-pulau kecil hingga pulau besar di belahan nusantara.
Di Desa Harian Timur, Kecamatan Kualuh Hilir, Kabupaten Labuhanbatu Utara (sebelum pemekaran masuk Kabupaten Labuhan Batu), Provinsi Sumatera Utara, berdiri sejumlah perkampungan penduduk antara lain Kandang Horbo, Sepakat dan Sei Apung. Perkampungan itu hanya sebagai contoh pemukiman penduduk yang dilalui Sungai Kualuh, sungai yang mengalir ke Selat Malaka.
Mata pencaharian warga setempat dan sekitarnya mayoritas bertani atau bercocok tanam padi tadah hujan. Sekitar tahun 70-an hingga paruh 90-an, para petani disana tak punya pilihan sarana angkutan kecuali transportasi air-angkutan sungai berupa kapal serta perahu motor-boat sebagai angkutan barang dan orang.
Di masa itu, kapal motor sebagai angkutan sungai menjadi andalan utama warga Kandang Horbo, Sepakat, Sei Apung dan sekitarnya untuk menjual hasil panennya. Dan bila warga hendak berpergian dan/atau sebaliknya sanak keluarga berkunjung, perahu motor-boat menjadi sarana tak terkecualikan.
“Memang masa itu kalau mau jual padi, satu-satunya angkutan hanya pakai kapal. Kalau angkutan orang pakai perahu motor atau boat,” kenang Dikar Habeahan (51), Kamis (11/4) lewat hand phone.
Lanjutnya, kapal motor itu cukup sederhana, berbahan kayu, dan kalau tidak salah mesin bermerek Berfot (mesin tunggal agak besar). Bila mau dinyalakan, terlebih dahulu komponen yang tersedia pada mesin ditarik berkali-kali, jadi bukan distarter. Kapasitas angkut kurang lebih 800 karung besar padi atau mencapai 70 ton kapasitas angkut, termasuk awak kapal dan pemilik padi.
Para petani yang akan menjual padi, hanya ada dua jalur pilihan melalui sungai, menuju hilir dan hulu sungai kualuh. Kalau arah hulu, berarti padi dijual kepada cukong di daerah Kota Aek Kanopan, kini Ibukota Kabupaten Labuhanbatu Utara. Dan arah hilir, berarti padi dijual kepada cukong di daerah Tanjung Balai, Kabupaten Asahan. Tujuan kapal ke hilir atau ke hulu, tergantung kepada cukong yang mana si penjual padi atau gabah menjualnya, tak terlepas dari faktor harga dan hitung-hitungan ekonomisnya.
Menurut Habeahan, arah tujuan hilir atau hulu, masing-masing punya plus dan minus serta resikonya. Jika pemilik kapal memilih arah hilir, tentu harus mempertimbangkan faktor kondisi sungai, sungai sedang tidak pasang atau air laut tidak naik. Dan faktor cuaca juga dipertimbangkan, karena arah hilir itu menuju Selat Malaka.
Sedangkan arah hulu melawan arus sungai menuju pangkalan kapal di Tanjung Pasir dan Gotting Saga tanpa mengarungi lautan atau selat. Arus sungai pasang dan cuaca kurang bersahabat bukan penghalang bagi kapal untuk tidak operasional. Sementara waktu tempuh baik melalui hilir maupun hulu dari asal kapal berangkat ke tujuan masing-masing, antara 10 – 12 jam.
Angkutan orang atau barang (bukan padi/gabah) juga tidak punya pilihan alat transportasi lain kecuali transportasi air, angkutan sungai yang menggunakan perahu motor atau boat, kapasitas beban angkut 2-3 ton. Waktu tempuh dari Desa Harian Timur, Kecamatan Kualuh Hilir menuju hulu ke arah Tanjung Pasir atau Gotting Saga, rata-rata bisa mencapai sekitar 9-10 jam.
“Kalau naik boat, penumpang sekitar 30-an orang, dan barang bawaan biasanya hanya untuk sekedar kebutuhan rumah tangga,” jelas Ramli Simarmata, kelahiran Kandang Horbo 46 tahun silam.
Kata Ramli melalui hand phone-nya, waktu tahun 80-an, dari Kota Aek Kanopan, jenis mobil pengangkut orang dan truk pengangkut padi dan/atau barang belum bisa menjangkau dusun atau kampung-kampung para petani di Desa Harian Timur, hanya bisa sampai Jembatan Titi Payung. Belum ada jalan mobil, apalagi truk. Kondisi jalan untuk sepeda motor saja masih belum layak.
“Seingat ku, sejak pertengahan tahun 90-an, satu persatu angkutan kapal dan boat mulai berkurang,” jelas Ramli, Selasa (09/4), Jam 20.00 WIB. Kini ia pengganti orang tuanya bercocok tanam padi.
Habeahan menambahkan, pada 1986, orang tuanya sudah menghentikan operasional kapalnya, karena sudah cukup lelah selama belasan tahun mengoperasionalkan kapal tersebut. Orang tua Habeahan salah satu pemilik kapal sebagai angkutan perintis di daerahnya di tahun 70-an. “Pada dasarnya, bapak dan ibu bertani,” cerita Habeahan yang kini berdinas di Sukabumi sebagai TNI-AD.
Seiring waktu, Desa Harian Timur, Kecamatan Kualuh Hilir, Kabupaten Labuhanbatu Utara, perlahan berbenah, pengerasan jalan mulai merata. Kini truk pengangkut padi sudah bisa menjangkau sejumlah desa di kecamatan tersebut. Angkutan kapal pun tertinggalkan.
Hingga sekarang, angkutan penyeberangan orang dan barang antar desa dan/atau antar kecamatan bagi sebagian penduduk di Kecamatan Kualuh Hilir masih sangat dibutuhkan, bahkan belum bisa terpisahkan dari kehidupan penduduk setempat.
Era Inovasi
ASDP tidaklah terhentikan dan tergantikan oleh kemajuan zaman selama sungai, danau dan laut di Indonesia tak surut “ditelan” waktu. Sekalipun itu pasti, namun bisnis juga butuh sesuatu ruang lingkup usaha yang baru dan butuh perkembangan lebih luas. Jika bisnis berkutat di satu itu saja, tentu timbul kejenuhan.
Kelihatannya, PT. ASDP Indonesia Ferry (Persero) perlahan sudah bergerak mengepakkan sayap bisnis baru di luar bisnis utama, langkah itu tentu positif.
Jadi, tiada kata “tidak”, PT ASDP harus terus maju melangkah mengembangkan usaha baru. Asset yang ada, kebijakan dan regulasi jadikan satu paket sebagai modal konkrit penggerak dan mewujudkan serta mengembangkan usaha baru.
Sukses membangun kawasan komersial, berbasis bahari yang lengkap di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur pada 2017-2018, dan saat ini viral PT. ASDP sedang mempercepat pembangunan Bakauheni Harbour City (BHC) di Lampung Selatan.
Pembangunan BHC diproyeksikan sebagai destinasi wisata waterfront berfasilitas cukup lengkap, moderen dan dibangun berstandar internasional.
Tujuannya, menggairahkan dan meningkatkan ekonomi daerah, disamping itu menjadi alternatif tujuan wisata bagi wisatawan lokal serta wisatawan manca negara. Taman Siger (Siger Park) merupakan primadona BHC. Di lokasi itu terdapat sejumlah bangunan, diantaranya Selasar Siger dan Siger Market Mandiri.
Fasiltas yang belum rampung dikebut pembangunannya. Meskipun sudah puluhan bahkan ratusan ribu pengunjung telah kesana, tetapi fasilitas belum maksimal. Diharapkan, pada 2024 semua fasilitas yang direncanakan di BHC bisa terealisasi secara total.
Dewasa ini, PT. ASDP Indonesia Ferry tanpa sengaja sedang menguji “tangan dingin” sendiri dalam berinovasi mengelola usaha baru selain usaha lama.
Pada akhirnya, terucap kata,”Dirgahayu 51 Tahun PT. ASDP Indonesia Ferry (Persero)”. Semoga tetap berjaya sepanjang masa, maju dan sukses serta ditunggu inovasi-inovasi berikutnya. Dan senantiasalah menjadi perajut dan perekat nusantara.(Monang Sitohang)