BerandaPolitikJangan Salah Pilih Pemimpin di Pilkada 2024

Jangan Salah Pilih Pemimpin di Pilkada 2024

Oleh : Budi Sudarman
Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pileg (Pemilihan Legislatif) pada Februari 2024 telah usai, dan secara resmi KPU sudah menetapkan pasangan pemenang Pilpres, begitu juga wakil rakyat yang terpilih. Selanjutnya, pada Rabu, 27 November 2024, secara serentak akan diselenggarakan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di 37 provinsi untuk memilih gubernur dan di 508 kabupaten/kota memilih bupati/walikota.

Jabatan kepala daerah yang memimpin sebuah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia bukan jabatan publik semata tetapi merupakan jabatan politik. Karena selain melalui jalur independen seseorang yang ingin menjadi pemimpin di suatu daerah harus diusung oleh partai politik dalam pencalonannya.

Namun hal ini tidak berlaku untuk Gubenur Daerah Istimewa Yogyakarta yang prosesnya ditetapkan bukan melalui pemilihan sesuai UU Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta. Pun dengan jabatan Walikota yang ada di wilayah DKI Jakarta yang diangkat oleh gubernur dari PNS dengan pertimbangan berbagai pihak, aturan ini hanya berlaku di Daerah Khusus Ibukota sesuai UU Nomor 29 tahun 2007.

Tahapan Pilkada 2024 yang akan datang, saat ini pada tahapan penjaringan dan pendaftaran bakal calon lewat parpol. Langkah parpol menjaring dan menyaring sang figur dipertimbangkan dengan berbagai alat ukur. Sejauh mana figur tersebut mempunyai elektabilitas, kapabilitas, deal-deal politik, dan terakhir isi tas sebagai modal perjuangan menuju pemimpin daerah.

Tentunya pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada Februari lalu dijadikan tes ombak. Sejauh mana konstituen peduli terhadap sosok “Sang Politikus” tersebut. Bersyukur jika terpilih, jika tidak terpilih akan dicoba lewat jalur Pilkada. Pun ada yang rela melepas jabatan anggota dewan demi menjadi pimpinan tertinggi suatu daerah. Soal pengganti selanjutnya akan didiskusikan dengan sebaik-baiknya.

Jabatan kepala daerah merupakan pimpinan tertinggi teritori sipil di sebuah daerah sudah pasti mempunyai “kuku kekuasaan”. Secara hitung-hitungan politik kepala daerah akan memberi keuntungan bagi partai diwilayahnya untuk 5 tahun ke depan. Jikapun tidak, selama 5 tahun ini para kader partai berpeluang mendapatkan proyek dan kue kekuasaan.

Pemilu di negara demokrasi bukan sekedar memilih sang negarawan tetapi memilih politikus. Karena negarawan dan politikus itu beda tipis, setipis kulit bawang.

Politikus akan menjadi negarawan jika mampu mengelola suatu daerah dengan amanah, jujur dan adil. Saat Pemilu Caleg diberi amanah untuk menyuarakan suara rakyat tapi ada peluang yang lebih baik di Pilkada, amanah itu diabaikan atau masanya belum selesai sudah melompat ke jenjang yang lebih tinggi.

Tidak ada yang salah kan dengan aturan dan perundang-undangan? Tentu tidak. Karena memang yang membentuk aturan itu partai politik juga. Jika aturan di rubah niscaya sosok politikus tersebut akan menjadi negarawan, dia akan amanah dan Istiqomah dengan jabatan yang sudah didapatnya.

Negarawan itu bukan sebatas melaksanakan pembangunan lewat dana APBN dan APBD semata serta Menjaga tata kelola pemerintahan yang bersih, benar dan melayani dengan “label” predikat Wajar Tanpa Pengecualian. sosok negarawan itu diharapkan mampu memberikan terobosan baru demi kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat dan warganya.

Negarawan itu harus punya feeling yang kuat dalam manajemen aparatur sehingga tenaga aparatur di instansi tidak berlebihan. Sampai begitu banyaknya tenaga honorer yang membebani anggaran negara untuk pos gaji pegawai.

Seorang negarawan harus mampu mengaktifkan fungsi pengawasan dan memastikannya berjalan dengan baik. Pengawasan yang melekat pada diri setiap aparatur yang melayani bukan untuk dilayani.

Sosok negarawan yang membaur menyatu dengan warganya, mendengar keluh kesah dalam batasan kepatutan dan kewajaran sehingga menghapus stigma yang selama ini berkembang di masyarakat dengan istilah, “apa beda Pilkada dengan Pil KB”? sebuah ungkapan yang bermakna kalau Pilkada sudah jadi lupa kalau Pil KB kalau lupa bakalan jadi.

Sosok negarawan itu juga harus mampu menjadi teladan bukan sebatas di atas podium yang membacakan teks protokoler sekretariat tetapi ucapan dan perbuatan tak sesuai dengan kenyataan yang ada. Sehingga banyak terjadi beberapa kasus kepala daerah di Indonesia yang harus dimutasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Jadilah pemimpin daerah yang Amanah, Jujur dan Adil yang didoakan dengan baik-baik oleh warga dan rakyat dari hati sanubari. Adakah sosok dan figur itu kita dapatkan dari anak bangsa yang meraih peruntungan dalam kontestasi Pilkada tahun 2024 ini?

Anak bangsa hanya mampu berpartisipasi dalam menyalurkan haknya sebagai warga negara. Semua sudah ada jalan takdirnya, ada rambu-rambu dan konsekuensi hukum di dunia dan hukum akhirat. (Penulis adalah wartawan Pilar Merdeka.com)

Iklan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments