DELI SERDANG, PILAR MERDEKA – Pertengahan tahun 2019 viral diberbagai media sosial tanaman hias Janda Bolong (Monstera Andansonii) jenis tanaman dari famili Araceae sementara dari jenis Monstera ini masih ada 12 jenis lagi. Saat Pandemi Covid 19 keberadaan tanaman hias ini semakin populer.
Kebijakan pemerintah membatasi gerak warga masyarakat untuk beraktivitas semakin melambungkan harga jual tanaman tersebut. Angka penjualan yang cukup signifikan diawal kemunculannya di saat ekonomi lagi sulit-sulitnya.
Tren latah tanaman Janda Bolong mewabah pada kaum Hawa mereka berusaha ingin memiliki dan merawat tanaman hias jenis Monstera Andansonii yang indah ini.
Yang sifatnya dibudidayakan dengan mudah tentu memiliki sebuah masa berlaku (expired), lain halnya dengan tanaman hias jenis Anggrek (Orchidaceae) atau penggemar Bonsai yang perlu perawatan khusus hingga menemukan titik akhir dari sebuah seni dan kepuasan tertinggi bagi sang pemiliknya hingga menjadi sebuah mahakarya tanaman hias.
Janda Bolong, sebutan awal yang berasal dari bahasa Jawa Ron Dho Bolong, yang bermakna bahwa Ron itu dalam bahasa Jawa Kromo Inggil bermakna Daun, sementara Dho (Phodo) bermakna semua sama dan bolong secara harfiah berlubang.
Jadilah tanaman hias tersebut sebuah tanaman yang berdaun tapi berlubang semua. (Rondo,=Jawa ) Janda Bolong. Hal ini dikemukakan seorang peneliti dari LIPI bidang Sistematik dan Taksonomi.
Sementara dalam nalar sederhana, bahwa sebutan Janda Bolong adalah ungkapan untuk seorang wanita yang sudah menikah tetapi ditinggal pisah mati atau pisah hidup dan bolong berarti berlubang, sebuah kesan yang diskriminatif dilihat dari sisi yang lainnya.
Keberadaan Tanaman Janda Bolong kini seakan dilupakan, kalaupun ada tidak seperti di awal-awal memiliki, hampir setiap saat dilihat bahkan dipegang daunnya. Kini sang Janda Bolong posisinya tergantikan oleh si Janda Pirang. Ada apalagi dengan sebutan Janda Pirang?
Ternyata itu adalah sebuah lagu yang berjudul Ikan Dalam Kolam yang pada akhirnya sedikit “klik” berganti judul menjadi Janda Pirang, dan ini adalah sebuah keunikan tersendiri.
Lagu yang diciptakan oleh Ami Hadi lalu dipopulerkan oleh El Corona Gambus lewat suara Husein Bawafie, sebuah group musik yang beranggotakan 6 orang yang kehilangan pekerjaan akibat sebaran virus Corona di awal tahun 2020.
Lewat lagu ini pula group ini menjadi terkenal hingga pada berbagai kesempatan dan acara group ini selalu tampil. Lagu dengan lirik sederhana serta gampang dicerna berpadu pula irama Padang Pasir dan Melayu langsung mendapat tempat dihati pendengarnya.
Maka tak heran, diberbagai kesempatan pesta hajatan, di cafe, di Karaoke dan di acara game outbond selalu dinyanyikan. Sebuah lagu dengan rentak ceria tetapi mampu menghipnotis pendengar agar sabar menunggu lanjutan bait berikutnya.
Mengapa? Karena akan ada lanjutan pantun berikutnya, oleh yang ahli serta piawai berpantun seketika akan dirubah syair dan liriknya. Bisa menjadi gokil, lucu dan rada-rada…..hmmmm gitu.
Lagu Janda Pirang pada akhirnya dicover dan diaransemen ke irama Dangdut, Irama Kentrung dan Remix House hingga pada akhirnya khasanah musik Indonesia semakin banyak pilihan bagi penikmatnya.
Ada benang merah atas munculnya tren tanaman hias Janda Bolong dengan lagu Janda Pirang, sepakat atau tidak sepakat bahwa adanya setiap peristiwa akan menimbulkan perubahan. Akan muncul ide baru, gagasan dan kreativitas. Sebuah kekuatan energi untuk tetap berjalannya roda ekonomi disaat sisi roda yang lain macet.
Jadilah saat ini tren Janda Pirang naik daun mengalahkan Janda Bolong yang memberikan keuntungan bagi usaha Make Up/ tata rias, salon kecantikan dan pabrikan kosmetik dengan menyediakan Cat Rambut agar menjadi pirang seperti rambutnya orang Bule. (Budi Sudarman)