BerandaNasionalFarahdibha Tenrilemba: Perjuangkan Hak Cuti Melahirkan Layak Lewat Disertasi Doktoral

Farahdibha Tenrilemba: Perjuangkan Hak Cuti Melahirkan Layak Lewat Disertasi Doktoral

BOGOR, PILAR MERDEKA – Aula Andi Hakim Nasution di IPB University, Darmaga, Bogor, Rabu (23/7) sore dipenuhi oleh ratusan aktivis perempuan dalam dan luar negeri, termasuk legislator yang juga artis Okky Asokawati, menjadi saksi ujian disertasi doktor (S3) seorang aktivis perempuan hebat Farahdibha Tenrilemba (46). Pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini meneliti dan mengulik soal kebijakan cuti melahirkan perusahaan di Indonesia yang dinilai masih termarjinalkan.

Tenaga ahli sekaligus peneliti di berbagai organisasi perempuan dalam dan luar negeri itu mengambil topik disertasi doktoralnya dengan menyuarakan gagasannya terkait pentingnya perubahan kebijakan cuti melahirkan bagi pekerja perempuan di Indonesia. Mengangkat tema: “Pengaruh Promosi, Sikap Kebijakan dan Penilaian Cuti Maternitas Terhadap Kesejahteraan Pekerja Perempuan.”

Acara dihadiri oleh tokoh-tokoh akademik serta mahasiswa, aktifis perempuan termasuk dari manca negara dan puluhan perwakilan Serikat Pekerja Perempuan. Selain keluarga termasuk ayahanda yang juga seorang legislator kawakan Prof. Dr Jafar Hamzah, beberapa anggota DPR RI juga hadir memberi apresiasi.

Dalam penelitiannya di 4 perusahaan Garment di Bandung, promovenda menemukan paling tidak empat persoalan mendasar dalam hal pemberian cuti melahirkan bagi pekerja perempuan di Indonesia. Pertama soal masa cuti melahirkan yang dinilai masih tidak adil yang ditetapkan 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan pasca lahir. Itupun tanpa didukung dengan hak-hak pendukung lainnya, seperti dukungan fasilitas dan waktu jedah untuk menyusui.

Farahdibha
Doktor Farahdibha sedang memaparkan disertasinya dihadapan Tim Penguji (Foto: Agus Oyenk)

Berikutnya dia menemukan tidak ada kompensasi yang adil dan berpihak pada kodrati perempuan. Perlu dicarikan solusi skema pembiayaan kolaboratif pasca melahirkan antara perusahaan, BPJS Tenaga Kerja, Asuransi Kesehatan dan peran Negara. Di Negara-negara Skandinavia ada iuran pekerja wanita untuk sama-sama menanggung kebutuhan kesehatan ibu dan anak. Dan temuan terakhir adalah pentingnya keselarasan dengan Kebijakan ASI eksklusif 6 bulan sesuai Peraturan Pemerintah nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan.

BACA JUGA  Pangdam I/BB, Mayjen TNI A Daniel Chardin, SE, MSi Pimpin Sertijab Danrem 031/WB dan Kakesdam I/BB

Dewan pembimbing terdiri dari Prof. Dr. Ir. Pudji Mulyono, M.Si, Prof. Dr. Ir. Dwi Astuty, M.Sc, dan Prof. Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS. Sementara itu, penguji tamu termasuk Prof. Dr. Cicilia Widianingsih, M.Kes (Rektor URINDO), dan Dr. Anissa Utami Seminar, M.Si. Pimpinan sidang dipegang oleh Prof. Dr. Megawati Simajuntak, M.Si yang mewakili Ketua Program Studi Prof. Dr. Ir. Anna Patchiya.

Aktivis yang sudah 18 tahun bergelut dalam kegiatan sosial khususnya masalah Kesehatan Masyarakat dan lingkungan hidup ini menegaskan bahwa dia tidak bisa diam melihat kenyataan pekerja perempuan hanya mendapatkan hak cuti melahirkan selama 3 bulan, padahal rekomendasi WHO menyarankan 6 bulan pemberian ASI eksklusif.

Pertanyaannya sederhana—bagaimana bisa ibu menjalankan ASI eksklusif jika ia harus kembali bekerja ketika anaknya belum genap dua bulan? Cuti 3 bulan itu pun terfragmentasi 1.5 bulan sebelum dan 1.5 bulan setelah persalinan, sehingga waktu pengasuhan menutur Farahdibha sangat minim.

Dia juga menekankan, perjuangan ini bukan sekadar angka, tapi menyentuh jantung kesejahteraan generasi masa depan. “Ini bukan soal ibu sedang sakit, tetapi ibu yang butuh pemulihan fisik dan mental setelah proses biologis yang sangat kompleks: hamil, melahirkan, dan menyusui. Maka cuti melahirkan harus dianggap sebagai hak pemulihan, bukan belas kasihan,” tegas dosen yang sedang menjabat selaku Sekretaris Jenderal Wanita Tani Indonesia dengan kritis.

Farahdibha
Selesai lulus sebagai Doktor Komunikasi Pembangunan IPB, Farahdibha berfoto bersama Tim Penguji (Foto : Agus Oyenk)

Dalam disertasinya, ia mengangkat kondisi pekerja perempuan di sektor garmen di Bandung, didominasi oleh buruh perempuan. “Di pabrik-pabrik seperti Primarindo, buruh perempuan mendominasi hingga 80%. Mereka adalah para ibu yang berjuang di tengah tekanan ekonomi, beban ganda, dan minimnya jaminan kerja pasca melahirkan.”

Dr. Hj. Farahdibha Tenrilemba, SS, MKes menawarkan tiga rekomendasi utama.

  1. Revisi Undang-Undang No. 4 Tahun 2024, dengan penetapan minimal 6 bulan cuti maternitas wajib tanpa embel-embel syarat surat dokter.
  2. Fleksibilitas kerja, seperti Work From Home pasca melahirkan, yang memungkinkan pemulihan optimal dan tetap produktif.
  3. Skema pembiayaan kolaboratif antara pemerintah, asuransi sosial, dan perusahaan agar cuti berbayar tidak hanya dibebankan pada pemberi kerja.
BACA JUGA  Prof. Edy Ikhsan Bagikan Kisah Penelitian Disertasi

“Ini bukan soal membuat perempuan ‘istimewa’, tetapi mengakui mereka punya sistem biologis yang secara kodrati tak bisa dinegosiasikan,” papar wanita tangguh kelahiran Ujung Pandang, 26 November 1979 itu.

Ekspert Komunikasi Pembangunan ini juga sudah sering melakukan riset dan studi perbandingan di luar negeri. “Saya telah mewawancarai praktisi dari 10 negara dan melihat bahwa cuti 6 bulan adalah standar dasar. Di negara Skandinavia, misalnya, cuti bisa mencapai 1 hingga 1.5 tahun, dibagi antara ibu dan ayah dengan skema pembayaran berjenjang. Diberi gaji penuh untuk 6 bulan pertama dan 75 persen setelah itu.”

Ia menambahkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk menghasilkan generasi emas. Namun diperlukan fondasi kuat sejak masa kelahiran. “Kecerdasan anak dimulai dari kecerdasan kebijakan,” tegasnya.

Kehadiran beberapa anggota DPR RI dalam forum sidang doktoral ini menunjukkan sinyal positif untuk perubahan regulasi. Pimpinan Sidang Prof Dr Megawati Simanjuntak MSi langsung mengajak para pemangku kebijakan untuk turun tangan memperbaiki regulasi soal Cuti Melahirkan. Karena lanjutnya, persoalan ini mesti dilihat secara bijak dan terkoordinasi, setidaknya ada empat Kementerian ikut terlibat secara fungsional selain lembaga legislasi. Ada Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Sosial.

“Saya percaya dengan kerja tim lintas disiplin dan data yang kuat, kita dapat memperjuangkan kebijakan yang lebih manusiawi dan berdampak luas. Ini adalah kerja panjang, tapi tidak mustahil,” simpul dan harapan Prof Megawati. (Agus Oyenk)

Google

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

spot_img
- Advertisment -

DAERAH