BerandaFeatureFakta-fakta Heroik di Seputar Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya

Fakta-fakta Heroik di Seputar Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya

Usianya baru dua tahun saat pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, terjadi. Perang terbesar pejuang Indonesia melawan Sekutu (yang dibocengi Belanda) itu, kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.

“Tidak terbersit memori yang jelas. Yang ada adalah memori batin. Bapak saya ikut pertempuran, sementara ibu dan anak-anak diungsikan menjauh dari Surabaya,” ujar Bambang Wiratmadji Soeharto.

Sebagai putra pejuang TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), Bambang Soeharto memiliki keterikatan sejarah dengan peristiwa bersejarah itu. “Sejatinya, tanggal 10 November yang kita peringati sebagai Hari Pahlawan, tidaklah berdiri sendiri,” ujarnya.

Sejarah mencatat, pasca Sukarno – Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda sebagai penjajah belum mau menerima. Dengan berbagai cara berusaha datang kembali untuk melanggengkan praktik kolonisasinya.

Salah satu cara adalah membonceng pasukan Sekutu yang masuk Indonesia tanggal 15 September 1945. Sekutu datang untuk melucuti senjata tentara Jepang, membebaskan tawanan perang, dan mengamankan wilayah setelah kekalahan Jepang di Perang Dunia II. Namun, kedatangan mereka diboncengi NICA (Belanda), sehingga tujuan sebenarnya adalah membantu Belanda untuk menjajah Indonesia kembali.

Di
Foto Brigadir Jenderal Mallaby dan mobilnya yang hancur digranat pejuang. Mallaby tewas di dalam mobilnya.

Inilah yang memicu perlawanan rakyat Indonesia. Sejak itu, pertempuran-pertempuran kecil pecah di berbagai daerah, dan berpuncak pada peristiwa 10 November di Surabaya.

Bambang mengulangi, bahwa prolog dari peristiwa 10 November terjadi tanggal 19 September 1945 yang dikenal dengan peristiwa heroik penyobekan bendera Belanda di Hotel Oranje Surabaya. Bendera Belanda merah-putih-biru, dirobek warna birunya oleh pejuang Indonesia menjadi “merah-putih”.

Pasukan Sekutu makin mengintensifkan tekanan kepada BKR (Badan Keamanan Rakyat cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia). Salah satunya, melucuti senjata api dengan sanksi penembakan di tempat bagi yang menolak atau melawan.

Mallaby Terbunuh

“Perlawanan atas aksi pelucutan senjata oleh Sekutu pecah tanggal 27 Oktober, dan klimaksnya terjadi tanggal 30 Oktober 1945 dengan perisitwa tertembaknya Jenderal Mallaby,” tutur Bambang Soeharto seraya menambahkan, “Sekutu sangat terpukul dengan tewasnya jenderal dari Inggris itu.”

BACA JUGA  Hari Pahlawan: Mengenang Jasa Pahlawan, Membangun Semangat Bangsa

Sehari sebelum Mallaby terbunuh, trio pimpinan Indonesia: Bung Karno, Bung Hatta, dan Amir Sjarifuddin datang ke Surabaya tanggal 29 Oktober bermaksud meredakan ketegangan, menghentikan perang.

Pertempuran tidak benar-benar mereda. Pentolan-pentolan pejuang seperti Sungkono, Roeslan Abdulgani, Hario Kecik, Moestopo, Arnowo, M Jasin (polisi), Sumarsono, dokter Singgih, Nasir (Angkatan Laut), Sutomo (Bung Tomo), dll tidak bisa menjamin rakyat tidak akan melawan, jika Sekutu tetap menindas.

“Ada peristiwa unik. Moestopo yang paling keras menolak gencatan senjata. Ini sempat membuat Bung Hatta marah, dan memecatnya sebagai tentara. Tapi di lain hari, Bung Karno justru mengangkatnya jadi staf khusus di Istana Yogyakarta,” kata Bambang sambil tertawa.

Di depan pasukan Sekutu, Bung Karno memang menyerukan gencatan senjata. Tetapi di belakang itu, ia menunjukkan gestur yang “mengizinkan” arek-arek Suroboyo melanjutkan perjuangan MEMPERTHANKAN KEMERDEKAAN.

Karena itulah, sekembali Bung Karno, Hatta, dan Amir Sjarifuddin ke Jakarta, pertempuran kembali pecah. Bambang menuturkan ulang kekejaman perang saat itu. Arek-arek Suroboyo dengan gagah berani melakukan perlawanan. Banyak pejuang yang gugur, banyak pasukan Inggris (Sekutu) yang juga tewas, bahkan tidak sedikit yang dipenggal lehernya.

“Sebutan arek dalam konteks peristiwa itu tidak melulu merujuk pada sebutan bagi warga Surabaya. Semua pejuang disebut arek, termasuk pejuang yang berasal dari luar Surabaya, bahkan luar Jawa,” ujarnya.

Para pejuang di pertempuran Surabaya, benar-benar digambarkan sebagai perlawanan rakyat semesta. Para pemuda hari-hari itu keluar dari kampung-kampung padat kota Surabaya dan bergabung dengan BKR dan laskar-laskar pejuang lain.

Inferno in Surabaya

Di
Monumen TRIP di Gunungsari, pertahanan terakhir pejuang pertempuran Surabaya.

Sekutu (baca: Inggris) murka atas tewasnya Mallaby, dan mengultimatum para pejuang untuk menyerah sampai batas waktu 9 November 1945. Jika melewati batas waktu, Inggris akan meluluh-lantakkan Surabaya. Inggris bahkan sesumbar, hanya dalam hitungan jam, perlawanan arek-arek Suroboyo bisa dihancurkan.

BACA JUGA  Tersedia Seafood Segar di Bagan Percut

Di markas Jl Pregolan, Kolonel Sungkono mengumpulkan pasukan pejuang. Ia menyampaikan, yang hendak menyerah, dipersilakan pulang. Yang tidak mau menyerah, ikut bersama dia melanjutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Tak disangka, hampir semua pejuang bertekad bulat melanjutkan perang melawan Sekutu. Mereka bahkan memanfaatkan tenggat waktu menyerah untuk bergerilya mencuri persenjataan musuh dari kamp-kamp Sekutu di berbagai penjuru kota Surabaya dan sekitarnya.

Tenggat waktu lewat, dan tidak ada tanda-tanda pejuang Indonesia menyerah. Syahdan, puluhan ribu pasukan dengan senjata lengkap diterjunkan untuk menaklukkan Surabaya. Surabaya digempur dari darat, laut dan udara. Meski begitu, Pasukan Divisi Kelima India “Ball of Fire” pimpinan Mayjen Robert Eric Carden Mansergh kesulitan menduduki kota sepenuhnya.

Perlawanan tentara, polisi, hingga laskar rakyat justru makin membabi-buta. Tak jarang di beberapa sektor justru pasukan Inggris yang terdesak. Korban berjatuhan, sehingga pasukan Inggris menyebut pertempuran Surabaya sebagai ‘inferno” alias neraka. Lebih dahsyat dari peristiwa “Bandung Lautan Api”.

Para pejuang di Surabaya tak menghiraukan jatuhnya korban. Apabila satu jatuh, yang lain tampil maju ke muka. Bren (senapan mesin ringan) terus menyalak. Onggokan mayat di barikade berserak, tetapi rakyat datang dan datang dalam jumlah yang tak ada habis-habisnya. Begitu kurang lebih pernah ditulis oleh Letkol AJF Doulton di buku “The Fighting Cock”.

Tiga hari sejak 10 November 1945, Mansergh yang semula sesumbar bisa menaklukkan Surabaya, ternyata gagal. Untuk itu, ia meminta tambahan kekuatan. Di antaranya, tambahan delapan pesawat tempur P-47 Thunderbolt, dua pesawat De Havilland Dh.88 Mosquito, 21 tank Sherman, dan sejumlah kendaraan lapis baja Bren Gun Carrier.

Pertempuran Surabaya pun berlangsung hampir tiga minggu lamanya. Perlawanan terakhir terjadi di Gunungsari, yang menewaskan 5 anggota BKR Tentara Pelajar di Gunugsari. Hingga hari ini, tegak berdiri prasasti atau ‘tetenger’ TRIP di Gunungsari.

BACA JUGA  Sepenggal Kisah Dua Veteran Indonesia dan Timor Leste, Dulu Dar-Der-Dor Sekarang Berpelukan

Puncak perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya dan daerah-daerah lain, seperti di Ambarawa (kemudian terkenal dengan Palagan Ambarawa), adalah pengembalian kedaulatan Indonesia secara resmi pada tanggal 27 Desember 1949 melalui upacara penyerahan kedaulatan oleh Belanda di Den Haag dan Jakarta, setelah Konferensi Meja Bundar (KMB).

Untuk diketahui, Bambang Soeharto adalah putra dari staf BKR Sungkono, yang selalu bersama-sama BKR Pelajar, embrio TRIP bahu-membahu selama pertempuran Surabaya. “Darah saya adalah darah TRIP. Mengenang pertempuran Surabaya selalu membuat saya emosional,” tuturnya, sendu.

Membuat Sejarah

Bambang W Soeharto, yang sukses sebagai politisi, aktivis HAM dan pengusaha itu, mengajak segenap bangsa untuk mengheningkan cipta bagi arwah pahlawan yang telah gugur demi merah putih. Khusus kepada generasi muda, suami aktris senior Lenny Marlina itu berpesan agar jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.

“Barang siapa mempelajari dan mendalami sejarah, pasti bisa membuat sejarah,” kata Bambang pula.

Ia pun menyambut positif langkah Menteri Kebudayaan Fadli Zon ihwal penulisan ulang sejarah nasional. Bahwa ada pro dan kontra, dinilai sebagai hal yang wajar.

“Sebaik-baiknya sikap adalah tidak apriori, tetapi justru kita apresiasi. Lepas benar atau salah, lepas penulisan ulang itu valid atau tidak, akan ditentukan kemudian,” ujarnya.

Di mata Bambang Soeharto, langkah Fadli Zon adalah upaya menyatukan kepingan-kepingan sejarah. “Tidak ada yang salah dengan penulisan ulang sejarah. Akan ada penambahan fakta dan data baru untuk menyempurnakan sejarah yang ada. Toh nanti akan diuji oleh publik, tidak hanya ahli sejarah,” ujar Bambang seraya melanjutkan, “percayalah, sejarah akan mengalir menemukan jalan kebenarannya sendiri.” (*)

Google

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

- Advertisment -

DAERAH