Oleh Djoko Setijowarno
Tenggelamnya KMP Tunu Pratama menjadi pelajaran berharga dan pengalaman memilukan bagi bangsa ini. Seolah terjebak dalam kebodohan “jatuh di lubang yang sama adalah kebodohan.” Inilah yang terjadi dan kita tidak pernah mau belajar dari setiap kejadian kecelakaan angkutan penyeberangan di perairan.
Alasan mendasar dan gampang dilontarkan ke masyarakat adalah cuaca buruk, daftar manifest, tata cara pemuatan (overt draft) dan lemahnya pengawasan terhadap keselamatan manajemen pelayaran. Alih-alih nakhoda, pemilik kapal dan staf bawah yang harus bertanggung jawab.
Angkutan penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya. Artinya penyelenggaraan angkutan penyeberangan tidak bisa dipisahkan dengan jaringan jalan.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih kurang 17.000 pulau, maka Indonesia sangat membutuhkan angkutan penyeberangan yang handal modern dengan tingkat keselamatan, kenyamanan dan keamanan yang mumpuni.
Sebagai gambaran terdapat beberapa lintasan penyeberangan yang cukup padat, seperti lintas Ketapang – Gilimanuk, Merak – Bakauheuni, Bajoe – Kolaka dan Kayangan – Pototano adalah lintasan penyeberangan yang menghubungkan Pulau Jawa- Sumatera, Jawa – Bali, Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat, penumpang dan kendaraan (termasuk muatannya) dari satu sisi perairan ke sisi lainnya.
Dalam konteks operasional kapal, baik kapal penyeberangan dan kapal laut serupa tapi tidak sama. Secara teknis dan secara layanan juga berbeda dan masing masing memiliki karakteristik berbeda. Contoh kapal penyeberangan harus memiliki 2 pintu ramp mesin double bottom, draft yang lebih rendah.
Sedangkan kapal laut sebaliknya. Dari sisi layanan juga berbeda, rata rata kapal penyeberangan melayani point to point, sementara kapal laut bisa lebih. Karakteristik inilah yang menjadikan urusan angkutan sungai, danau dan penyeberangan berada di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, yang sejak bulan April 2025 diserahkan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Aspek Keselamatan Kapal dan Regulasi
Kejadian kecelakaan tenggelamnya KMP Tunu Jara Pratama di Selat Bali, mengingatkan kita kembali pada kasus kecelakaan kapal penyeberangan di Indonesia, seperti KM Sinar Bangun di Danau Toba, KMP Lestari Maju di Perairan Selayar, KMP Yuncee di Selat Bali. Secara teknis kapal penyeberangan yang mengalami kecelakaan adalah rata-rata kapal LCT yang dimodifikasi menjadi kapal penumpang Roro.
Secara teknis keselamatan kapal ini sangat rentan terhadap kecelakaan dan sudah seharusnya Kementerian Perhubungan mengevaluasi semua kapal penyeberangan yang melakukan modifikasi dari LCT ke kapal penumpang. Termasuk kebijakan di beberapa lintas penyeberangan yang harusnya dilayani dengan kapal minimal 5.000 GT, tapi dilayani oleh kapal yang di bawah 5.000 GT tapi dimodifikasi menjadi kapal 5.000 GT untuk memenuhi syarat layanan angkutan di lintasan penyeberangan tersebut (lintas Merak – Bakauheuni).
Dalam penyelenggaraan kapal penyeberangan diatur dalam beberapa regulasi untuk aspek keselamatan, antara lain:
Pertama, PM 104 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan angkutan penyeberangan yang mengatur tentang ke pengusahaan baik ijin perusahaan angkutan maupun angkutannya/kapalnya sendiri. Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (DJPD) mengeluarkan ijin pengoperasian dengan salah satu item pemeriksaan adalah masa berlaku dari sertifikat/surat/dokumen kelaiklautan kapal. Untuk item kelaiklautan kapal saat ini diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (DJPL).
Kedua, untuk pengikatan kendaraan di atas kapal diatur dengan 2 regulasi, yaitu PM 30 Tahun 2016 tentang Kewajiban Pengikatan Kendaraan pada Kapal Angkutan Penyeberangan (DJPD) dan PM 115 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengangkutan Kendaraan Di atas Kapal (DJPL). Pada PM 115/2016 sangat detail sampai dengan kekuatan dan kemiringan tali lashingpun ditentukan. Dan 2 Peraturan Menteri itu memuat sanksi administrasi sampai dengan pencabutan ijin operasi kapal.
Ketiga, drill kebakaran dan kecelakaan kapal sesuai amanah konvensi wajib dilaksanakan setiap minggu dan menjadi temuan yang sifatnya “Mayor Item” tapi tidak pernah dilaksanakan. Ajaibnya SMC tetap berlaku padahal kita tahu administrasinya saja yang diakali.
Di setiap kejadian kecelakaan kapal penyeberangan banyak pendapat teknis termasuk tenggelamnya kapal KMP Tunu Pratama Jaya. Baik itu cuaca, teknis pemuatan seperti pergeseran muatan dan lain-lain, ini lagu lama yang selalu muncul di internal Kemenhub. Di setiap kecelakaan kapal penyeberangan selalu pendekatan penyelesaian permasalahan kelaiklautan kapal dan keselamatan pelayaran adalah kelembagaan, contohnya Ditjenhubla vs Ditjenhubdat dan ini sangat “LUCU” substansi tidak diperbaiki terutama realisasi/implementasi regulasi di lapangan, malah organisasi yang menjadi target perbaikan. Ini adalah salah satu bukti ketidakpahaman substansi permasalahan.
Yang dikorbankan selalu organisasi, seharusnya substansi Keselamatan Manajemen Pelayaran, seperti yang disebutkan di atas yang harus didorong untuk diperbaiki dan dijalankan secara serius. Tidak ada lagi akal-akalan terhadap syarat untuk pemenuhan regulasi, seperti kapal LCT diubah menjadi kapal penumpang, kapal 3.000 GT diubah ruang penumpang lalu dinaikkan menjadi 5.000 GT untuk pemenuhan syarat.
Di beberapa kesempatan, materi kelaiklautan kapal yang disampaikan “Seperti Malaikat Menyampaikan Firman Tuhan” SOLAS, MARPOL, ISM Code dan lain-lain, tetapi minim implementasi di lapangan. Masalah di kapal penyeberangan dari sisi kelaiklautan kapal sangat banyak dan jadi masalah turun temurun. Pasca diserahkannya kewenangan Kesmanpel DJPD pada saat kejadian kecelakaan KM Sinar Bangun di Danau Toba, DJPD terus melakukan perbaikan system. Termasuk penguatan SDM untuk menghilangkan dosa masa lalu sebagai suatu paradigma baru untuk perubahan di pelabuhan penyeberangan, sayangnya minim dukungan.
Hal ini disadari, bahwa Direktorat Jenderal Perhubungan Laut belum ikhlas dengan kebijakan Menteri Perhubungan (Budi Karya Sumadi) pada saat itu, dan sekarang (bulan April 2025) dikembalikan lagi ke “Rumah Tua” Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Bahkan, bukan hanya masalah Keselamatan Pelayaran angkutan penyeberangan tetapi upaya perubahan Peraturan Presiden terkait Organisasi Kementerian Perhubungan sudah ditingkat atas untuk mengambil alih semua urusan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan yang melekat di Direktorat Jenderal Perhubungan Darat ke Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Kalau alasan kemampuan SDM dan sebagainya menjadi alasan pengambilalihan urusan tersebut, yang menjadi pertanyaan apakah jika diserahkan ke Perhubungan Laut masalah kecelakaan kapal dan masalah lainnya selesai? Ini juga bukan jaminan, buktinya pada saat baru saja urusan ini diserahkan ke Direktorat Jenderal Perhubungan Laut terjadi lagi kejadian kecelakaan kapal penyeberangan di Selat Bali. Termasuk beberapa kejadian kecelakaan kapal laut yang sering terjadi hanya kurang mendapat perhatian. Beberapa wilayah kepulauan yang masih dilayani kapal laut juga rentan bahkan kerap terjadi kecelakaan kapal.
Tentu juga bukan jaminan kalau di Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, bahwa masalah kecelakaan kapal ini selesai, tapi paling tidak apa yang sudah berjalan selama ini harusnya ada evaluasi secara komprehensif termasuk perilaku negatif di lapangan. Harusnya fair dan tidak tendensius hanya seolah kalah dengan kebijakan Menteri Perhubungan yang lama lalu organisasi dikorbankan.
Menurut hemat kami, bahwa urusan lalu lintas angkutan sungai, danau dan penyeberangan dengan berbagai macam permasalahan, maka sudah selayaknya Menteri Perhubungan memikirkan untuk memisahkan dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut menjadi Direktorat Jenderal Transportasi Sungai Danau dan Penyeberangan. Hal itu sangat mendasar, mengingat banyaknya lintasan penyeberangan di perairan laut, sungai dan danau, yang semua ini membutuhkan penanganan yang serius.
Apalagi Indonesia merupakan Negara Kepulauan Terbesar, tentu urusan penyelenggaran angkutan penyeberangan harus mendapatkan porsi yang sama dengan penanganan angkutan laut, angkutan udara, angkutan jalan dan angkutan kereta api. Bukan malah diletakkan di salah satu Direktorat Jenderal dengan setingkat Direktorat (eselon 2).
Selama ini urusan TSDP di bawah DJPD ditangani satu Direktorat (eselon 2), sementara urusan LLAJ ditangani oleh tiga Direktorat (Eselon 2). Dari sudut pandang penyelesaian masalah, maka ini tidak adil dan tentu seorang Dirjen juga kurang fokus dengan berbagai macam permasalahan transportasi darat. Demikian halnya jika nanti urusan TSDP diambil alih DJPL, maka hal ini akan sama, karena permasalahan lalu lintas angkutan laut juga sangat kompleks dan masih banyak PR yang belum terselesaikan.
Semoga dari kejadian KMP Tunu Prtama Jaya ini para pimpinan di Kemenhub bisa berfikir lebih jernih untuk lebih memikirkan substansi keselamatan dan keamanan pelayaran. Bukan memikirkan bagaimana urusan diambil kembali atau istilah bagi-bagi kue, karena tidak ada jaminan kalau urusan tersebut akan menjadi lebih baik jika dialihkan ke DJPL.
Semoga catatan kecil ini bisa menjadi bahan pertimbangan kita semua untuk mengakhiri polemik Direktorat Jenderal Perhubungan Darat VS Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, dan mengakhiri praktek penyelenggaraan angkutan penyeberangan dan angkutan laut yang belum memenuhi regulasi yang dipersyaratkan untuk menjadikan tata kelola angkutan penyeberangan dan angkutan laut yang lebih baik.
Di bawah ini beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian pimpinan internal Kemenhub dan yang terhormat Pimpinan beserta Anggota Komisi V DPR RI untuk menjadi agen perubahan tata kelola Transportasi Sungai Danau dan Penyeberangan di Indonesia.
Pertama, Kapal Penyeberangan pada lintasan Merak-Bakauheni yang dipersyaratkan wajib memiliki GT lebih 5.000. Para operator berlomba-lomba menambah volume bangunan atas kapal untuk menambah jumlah GT, sehingga memenuhi kriteria lebih 5.000 GT. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan kapasitas muat kapal yang semakin berkurang tapi pada kondisi lapangan syahbandar tetap mengijinkan kapal berlayar dengan kondisi over draft, karena operator kapal memuat sesuai luasan cardeck kapalnya. Proses perubahan konstruksi kapal untuk menaikkan GT kapal tetap diijinkan oleh DJPL pada waktu itu.
Kedua, Kapal-kapal penyeberangan pada lintasan Ketapang-Gilimanuk justru banyak yang berlayar pada kondisi over draft. Harusnya kapal-kapal yang tidak memenuhi syarat baik secara pelayanan (SPM/standar pelayanan minimal) maupun kalaiklautan nya segera dikeluarkan dari pelayanan kemudian direkomendasikan untuk perbaikan. Menurut pengamatan kami, jumlah keberangkatan kapal di atas 200 trip per hari sangat jauh berada di atas dari demand pada lintasan tersebut, pertanyaannya, ada apa? Bukankah trip yang banyak akan mengurangi port time sehingga pengikatan (lashing) kendaraan menjadi hal yang mustahil dilaksanakan.
Ketiga, pada beberapa kesempatan juga ditemukan para perwira deck di atas kapal, seperti nakhoda dan lain-lain tidak bisa membaca stabilitas booklet, sehingga acuh dengan kesesuaian kapal dengan kondisi cuaca atau perairan pada saat kapal berlayar. Memang nakhoda tidak sehebat naval architect dalam memahami stabilitas tapi minimal bisa membaca kurva karakteristik hidrostatik kapal dan kurva stabilitas dari kapal yang dinakhodai, sehingga bisa mengantisipasi keadaan darurat.
Keempat, implementasi ISM Code pada kapal penyeberangan sangat tidak baik. Hanya beberapa operator saja yg patuh. Para auditor terkesan membiarkan dengan dalih akan ada perbaikan kedepan.
Kelima, intervensi pimpinan kepada pejabat pemeriksa keselamatan kapal maupun petinggi klas/PT. BKI kepada surveyor klas juga sangat berpengaruh, sehingga dokumen keselamatan kapal bisa diterbitkan untuk waktu berlaku yang sangat singkat/tertentu. Terkesan mengakali kondisi.
Hal ini perlu mendapat perhatian serius, walaupun dosa ini adalah DOSA BESAR TURUN TEMURUN tapi bukan tidak bisa terselesaikan, kita hanya tersandera pada masalah KESELAMATAN vs PELAYANAN, yaitu pemenuhan aspek keselamatan dianggap mahal dan mengganggu pelayanan.
Ini masalah serius setiap kapal hanya menunggu apes saja. Kapan, dan di perairan mana akan mengalami kecelakaan kapal, baik angkutan penyelenggara maupun angkutan laut.
Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat