Oleh Nasrul Sitohang
Di sore hari, antara Jam 14.30-1630 WIB, adalah waktu senggang bermain bagi anak-anak di usia 6-12 tahun atau anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar, itupun anak-anak boleh bermain setelah membantu orang tua di ladang atau di sawah.
Contohnya, membantu mengantarkan beberapa karung pupuk kandang ke ladang tanaman bawang dan/atau merumput di sawah yang saat bunga padi mulai timbul. Selain itu, membantu membawa pulang singkong atau ubi jalar/rambat dari ladang.
Semua itu dilakoni para anak setelah pulang sekolah dan makan siang. Selepas membantu orang tua di ladang atau di sawah, tanpa janji masing-masing anak datang dan berkumpul di satu lokasi yang menjadi pusat pertemuan para anak. Posisinya, tidak jauh dari pemakaman umum, namanya Sitakkubak, atau berjarak sekitar 300 meter dari jalan setapak/jalan kampung di masanya.
Permainan anak-anak saat itu, sebagian mungkin tidak ada di daerah lain. Contohnya, berseluncur dari badan pebukitan yang berketinggian 10-20 meter, landai tidak vertikal. Badan bukit yang menjadi arena bermain seluncur itu berada kurang lebih 500 meter setelah pemakaman umum, menanjak arah timur.
Permainan anak-anak di masa itu, kemungkinan tidak menjadi permainan anak-anak di daerah lain. Contohnya, berseluncur dari salah satu badan pebukitan yang ada disana, berketinggian 10-20 meter, landai dan/atau tidak vertikal, nyaman dan aman untuk tempat bermain anak.

Lokasi bukit berjarak sekitar 1-1,5 km dari jalan setapak/kampung (dahulu disebut dalan kudi), saat ini jalan itu sudah menjadi jalan antar desa-kecamatan. Atau posisi tempat berseluncur itu berada arah selatan dari jalan, menanjak menuju bukit.
Bahan atau material yang dijadikan alat untuk berseluncur adalah pelepah pohon kelapa. Dari pangkal pelepah (kepala pelepah) dipotong hingga 1-1,2 meter panjangnya. Kemudian, sebatang kayu dipaku/dilekatkan diatas kepala pelepah sebagai pijakan kedua kaki.
Sebutan permainan itu, berlomba seluncur pelepah kelapa (marlubba bakkar ni kalapa, sebutan anak-anak lokal). Dua sampai empat anak siap lomba berseluncur, mereka serentak naik ke pebukitan mencapai ketinggian 10 meter, dan anak yang lebih berani dan mahir mengendalikan sarana seluncur naik hingga ketinggian 20 meter. Permainan dilakukan berulang kali.
Tak jarang, sarana atau alat seluncur terlepas, si anak pun merosot dengan posisi terduduk diatas rerumputan, kedua kaki diluruskan, sedangkan kedua telapak tangan diletakkan diatas rerumputan sebagai kontrol keseimbangan agar tidak terbalik. Sesekali tak terkendali, si anak jatuh berguling-guling, namun tak membahayakan, kalaupun cedera hanya sebatas lecet kaki dan tangan.
Anak-anak cenderung berhasil mulus meluncurkan sarana permainannya dari badan bukit yang landai sampai di pangkal bukit. Dan permainan pasti disudahi bila tiba waktu anak-anak hendak menghalau kerbau pulang ke kandang sebelum pukul 6 sore.
Permainan anak-anak selain berseluncur dari badan bukit, adalah bermain di danau menggunakan sampan (solu, bahasa lokal). Kerap kali mereka pilih waktu bermain sampan saat ombak muncul, sore antara Jam 15.00-17.00 WIB. Sebenarnya, sampan berukuran sekitar lebar 0,5 meter x panjang 3 meter itu, digunakan untuk menjala ikan (mardoton, bahasa lokal) di pagi hari. Hanya saja kalau di sore hari, sampan dimanfaatkan anak si pemilik untuk bermain di danau bersama teman-temannya dengan cara sembunyi-sembunyi.
Mereka tidak banyak, 3-5 anak saja, dan biasanya yang naik ke sampan cukup tiga anak, bergilir secara bergantian. Pola bermainnya, ketiga anak memilih duduk-jongkok di bagian belakang, sehingga bagian depan terangkat saat posisi sampan berhadapan/berlawanan dengan datangnya gulungan ombak, ketinggian ombak diperkirakan 30-40 cm.
Bagian depan sampan terangkat, terhempas, perlahan maju dan menjauh 5-10 meter dari pinggir danau tanpa kayu pendayung (hole, bahasa lokal). Ketiga anak menggunakan kedua telapak tangan dan terkadang piring berbahan kaleng sebagai pengganti kayu pendayung sampan. Karena, kayu pendayung dibawa pulang oleh si pemilik, sedangkan sampan ditambatkan tidak jauh dari danau.
Terlihat para anak seakan bermain jetjetan di atas air. Tampak berani, namun bercampur rasa was-was/cemas bergelayut dalam hati. Bagaimana tidak, kedalaman air diperkirakan sudah mencapai diatas 5 meter. “Kalau terjadi sesuatu, tidak tertolong,”kira-kira begitu bisik hati si anak.
Terkadang, si anak yang mahir berenang iseng, sampan diolengkan ke kiri dan kanan hingga terbalik. Seiring itu, anak mahir berenang memberi aba-aba kepada kedua anak yang kurang mahir renang agar pegangan sampan erat-erat, sembari ia mendorong sampan ketepian mengikuti ritme ombak. Ketiga anak lelah dan ngos-ngosan.
Meskipun sangat jarang, tapi selama bermain “adu” sampan dengan ombak, tak pernah sampai terjadi hal yang membahayakan. Paling para anak ngap-ngapan, kelelahan dan terminum air. Permainan tersebut, tanpa sengaja atau secara alami telah mengajari para anak bisa berenang. Kelompok anak yang berusia antara 8-11 tahun itu, tak lebih dari 6 anak, dan mereka tergolong agak nakal yang berani di usianya.

Pabodil dan Sepak Bola
Pabodil, nama suatu tempat dengan hamparan agak luas, seperti Savana di Benua Afrika. Ingat Pabodil ingat sepak bola. Karena memang tempat itu identik menjadi area bebas bermain/bertanding sepak bola. Meskipun beragam tumbuhan liar tumbuh subur tak beraturan, dan bebatuan hitam pekat sebagian batu jenis batu cadas tanpa susunan disana, bukan penghalang untuk bermain sepak bola.
Di desa itu, Pabodil adalah satu-satunya area yang ideal untuk bermain/pertandingan sepak bola. Permukaan tanahnya rata, rerumputan tumbuh bersahabat alias tak begitu mengganggu, dan adapum bebatuan di area lapangan, hanya jenis kerikil-kerikil mungil. Tetapi di luar area sekitar lapangan, tak sedikit bebatuan berbobot diatas 20 kilogram.
Beberapa faktor menjadi penyebab yang menengarai penduduk desa setempat tak bisa memanfaatkan lapangan bola kaki/sepak di Pabodil semaksimal mungkin. Pertama, tak banyak waktu luang bagi anak seusia enam hingga belasan tahun/remaja untuk bisa bermain sepak bola. Mereka sudah terbiasa dan terdoktrin untuk membantu orang tua bersawah, berladang, membantu di rumah, dan sesekali orang tua akan menyuruh anak-anaknya mencari kayu bakar.
Faktor kedua, kayaknya sepak bola belum begitu akrab di tengah kehidupan anak-anak di masanya. Sebetulnya, anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar masa itu, sangat berminat bermain bola kaki, tapi bola langka, terlihat hampir tak pernah ada bola kaki di desa tersebut. “Kalaulah ada pohon jeruk bali tumbuh di desa itu, bisa saja anak-anak menjadikan buah jeruk bali untuk sarana bermain sepak bola. Sebagaimana legenda bola Argentina, Diego Armando Maradona masa kecil di kampungnya, Villa Florita, Buenos Aires.
Jadi kalaupun ada bermain/pertandingan sepak bola di Pabodil, itu cuma temporer saja, seperti 17 Agustus-an atau musim libur panjang anak sekolah. Barulah terlihat ada permainan sepak bola di Pabodil, tanding persahabatan anak setingkat sekolah lanjutan pertama dan atas antar desa satu kecamatan. Miris, pertandingan tersebut belum tentu terulang di tahun-tahun berikutnya.
Lapangan sepak bola apa adanya atau tanpa fasilitas di Pabodil tersebut, tinggal cerita usang, terselip sedikit kenangan yang tak terlukiskan. Kini berubah, tampak sebagian dari area sepak bola Pabodil, telah tumbuh subur puluhan dan mungkin ratusan pohon kopi.
Bukit Dekat Pabodil
Cerita permainan berseluncur dari badan bukit, “adu” sampan dengan ombak dan pertandingan sepak bola temporer di Pabodil, adalah penggalan kisah 50 tahun silam ketika seorang anak pernah tinggal di satu perkampungan kecil bernama Lumban Uruk, Desa Janjimartahan, Kecamatan Harian Boho, Kabupaten Samosir (dahulu Samosir masih bagian Tapanuli Utara).
Desa Janjimartahan diapit dua dataran tinggi atau pebukitan, sebelah timur Bukit Holbung dan sebelah barat Bukit Sibeabea. Arah selatan pebukitan semakin menanjak agak curam. Dan arah utara bentangan Danau Toba. Dataran tinggi atau pebukitan itu, disebut ‘robean’ oleh masyarakat lokal dan sekitarnya.
Rentetan atau barisan pebukitan di desa-desa se-Kecamatan Harian Boho, saat itu tak punya lebel nama, sebutan umumnya tetap saja robean. Kecuali dataran tinggi di antara Kecamatan Sianjur Mulamula dan Pangururan, dataran tinggi itu sudah masuk kategori gunung dengan ketinggian kalau tidak salah hampir 2.000 mdpl, namanya Gunung Pucuk Buhit, dan tertinggi se-Kabupaten Samosir.
Waktu terus bergulir, kemajuan zaman dibarengi kecanggihan teknologi berkembang pesat tak terhentikan Peradaban manusia pun berkembang mengikuti zamannya. Tiap orang dituntut tidak cukup hanya pintar, tetapi juga harus cerdas.
Menyikapi kemajuan dan perkembangan zaman yang serba online-medsos, dulunya orang-orang di desa miskin informasi, sebaliknya sekarang kaya raya informasi. Mungkin, situasi serba online itu salah satu pendorong orang-orang berkapasitas di Desa Janjimartahan bersikap dan berupaya untuk mendayagunakan segala potensi sumber daya alam yang ada di desa tersebut agar produktif.
Baik secara tersirat maupun tersurat, setidaknya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, Desa Janjimartahan sudah lebih dikenal dari sebelumnya oleh masyarakat luas. Desa itu memiliki kurang lebih 13 perkampungan (huta) penduduk, antara lain Pea/Pea Raja, Kobun, Rumataruan, Taharan, Golakbarat, Simegor, Lumban Bulu, Lumban Bagas, Lumban Habeahan, Lumban Uruk, Pamukkahan, Pintu Nauli dan Siganjang. Tak sangka, desa yang mayoritas bermarga Pasaribu tersebut, punya dua bukit yang di masa lalu hanyalah sekedar ‘robean’ biasa dan tak tahu kini takdirnya berubah menjadi bukit nyentrik “komersil”.
Bukit komersil itu adalah Bukit Sibeabea dan Bukit Cinta. Serupa bukit yang berada di tepian Danau Toba, tapi tak sama bobot dan daya tarik komersilnya. Bukit Sibeabea punya Patung Yesus, sedangkan Bukit Cinta belum punya daya tarik komersil bergengsi.
Tapi apapun ceritanya, kedua bukit destinasi wisata tersebut, patut dibanggakan dan diapresiasi siapapun penggagasnya, serta jangan sekali-kali lupa mensyukurinya. Kalau mengingat puluhan tahun ke belakang, Bukit Cinta hanya dikenal sekedar ‘robean’ saja, dan tak punya lebel nama setenar sekarang.
Di kala itu, hampir tak pernah dan tak ada alasan bagi orang/masyarakat luar desa untuk berkunjung ke Bukit Cinta, ngapain juga kesana? Kalaupun penduduk setempat sesekali menginjakkan kaki ke bukit itu, biasanya hanya anak-anak pengembala. Karena si anak mau menghalau pulang kerbau, lembu atau kambing yang berada di bukit tersebut.
Namun, di suatu waktu tertentu, pernah terlihat sejumlah orang berkunjung ke Bukit Cinta, bukan untuk bertamasya, tapi mau berziarah. Mendekati bagian ujung bukit arah utara, kalau tidak salah ada makam/pusara (simin) bermarga Manik, keberadaan makam diperkirakan sudah lebih dari 60 tahun. Beberapa tahun kemudian, masih di bukit yang sama, menyusul satu makam bermarga Pasaribu.
Gambaran singkat diatas membuktikan bahwa Bukit Cinta merupakan bukit original-alami, sejatinya belum “pintar bersolek” ibarat seorang gadis remaja tanpa dandanan. Dan bukit itu juga tidak punya keistimewaan komersil, cuma bukit biasa tanpa trend mark.
Kini berubah, bukit seakan tercipta kembali, ibarat anak sudah diberi nama dan akan beranjak remaja menuju dewasa. Panggilan kren dan komersilnya adalah Bukit Cinta atau ‘Robean Holong’ dalam Bahasa Bataknya.
Seseorang yang pernah berkunjung ke Bukit Cinta mendapatkan informasi dari pihak pengelola bahwa penabalan sebutan untuk Bukit Cinta muncul seketika tanpa perencanaan. Sedikit menggugah inspirasi, bila berdiri di ketinggian bukit, posisi ke arah timur dan memandang ke bagian bawah maka akan tampak air danau mirip berbentuk ‘love’. Kelihatannya, ada lekukan pada bukit dan agak meliuk sehingga terbentuk love dipermukaan air danau.
Kesannya memang iseng, tapi itu pula yang menginspirasi, seketika terbersitlah spirit untuk menabalkan sebutan Bukit Cinta.pada bukit tersebut. Pertanyaannya, siapa orang pertama penabal sebutan atas nama Bukit Cinta, hingga kini belum terkonfirmasi.
Lokasi Bukit Cinta berada diantara Desa Janjimartahan dengan Dusun Holbung. Persisnya, dekat hamparan Pabodil – area bermain sepak bola, atau segaris dengan dataran rendah Pabodil. Dan juga tak jauh dari tempat anak-anak bermain “adu” sampan dengan ombak di pinggiran Danau Toba setelah Pabodil pada puluhan tahun silam.

Hikmah Dibalik Isu Pungli
Belum lama ini, sekitar Maret 2025, Bukit Cinta sempat diterpa isu pungutan liar (pungli) retribusi parkir. Tudingan pungli diviralkan oleh seseorang perempuan melalui salah satu akun medsos, ia sebelumnya berkunjung ke Bukit Cinta. Meskipun durasi viral tak hitungan minggu, namun kemungkinan telah menarik perhatian ribuan netizan, dan tentu tak terlepas dari commen-commen bernada sentimen.
Dari sejumlah informasi, sebenarnya duduk permasalahan tidaklah fatal, kayaknya miskomunikasi sehingga terjadi kesalah pahaman diantara juru parkir dengan seorang pengunjung. Sayang…, terlanjur “saling benar”.
Di satu pihak, perempuan si pengjung keberatan dikenakan biaya parkir mobil (mobil pribadi jenis sedan) sebesar Rp.30 ribu. Ia keberatan, mungkin dibandingkan dengan di tempat wisata lain, uang parkir di Bukit Cinta terlalu besar baginya, sekalipun akhirnya ia membayarkan uang parkir sembari melontarkan kata-kata berintonasi agak tinggi.
Di pihak lain, juru parkir meladeni si pengunjung berargumen dengan suara berintonasi lebih tinggi. Bisa saja, ia tersulut marah karena merasa tidak bersalah dan merasa hanya sebatas juru parkir. Sementara, retribusi parkir Rp.30 ribu, bukanlah inisiatif pribadinya sebagai juru parkir dan/atau kebijakan pihak pengelola saja.
Dalam situasi dan kondisi miskomunikasi, sesaat itu mungkin juru parkir tak sempat menjelaskan bahwa retribusi parkir yang diberlakukan adalah resmi sesuai kesepakatan lintas instansi. Restribusi resmi, karena penentuan tarif parkir melalui proses yang melibatkan Dinas Pariwisata Kabupaten Samosir, pihak Kecamatan Harian Boho, Kepala Desa Janjimartahan dan pihak pengelola Bukit Cinta. Dan pajak retribusi parkir telah disetorkan kepada BPKPD (Badam Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah) selama dua bulan sejak tarif resmi diberlakukan.
Berpijak dari landasan diatas, pihak pengelola Bukit Cinta secara tegas membantah tudingan pungli. Sebab tudingan tersebut tak dibarengi adanya fakta dan bukti yang sebenarnya.
Kata orang-orang bijak, “setiap suatu peristiwa pastilah menyimpan sesuatu misteri positif”. Sederhananya, kejadian viral isu pungli di Bukit Cinta bisa menjadi pembelajaran bagi kedua pihak yang sempat salah paham sekejap.
Ke depan, marilah kita maknai bahwa setiap destinasi wisata di bumi nusantara adalah sebuah karunia tak ternilai. Karenanya, jaga, rawat dan lestarikanlah potensi sumber daya alam sebagai titipan generasi mendatang dari generasi sekarang.***
Penulis adalah wartawan Pilar Merdeka.Com


