BerandaDaerah"Batu Marsanggul" di Desa Janji Martahan, Diperkirakan 300 Tahun

“Batu Marsanggul” di Desa Janji Martahan, Diperkirakan 300 Tahun

JAKARTA, PILAR MERDEKA – Di bawah lereng pebukitan terjal, hamparan rerumputan, semak belukar, pepohonan liar tumbuh tak beraturan dan disana sini bebatuan legam tanpa susunan diantaranya, terlihat sebuah batu beridiri kokoh di atas tanah. Warga lokal menyebut batu itu, Batu “Marsanggul”. Berada di Desa Janji Martahan, Kecamatan Harian Boho, Kabupaten Samosir.

Diameter Batu Marsanggul, kurang lebih sepuluh meter, tinggi mencapai tiga meter lebih dari permukaan tanah, dan warna dasar hitam legam berlapis putih lumut kering.

Sejak kapan dan siapa orang pertama menabalkan julukan batu itu menjadi Batu Marsanggul, hingga kini tak satupun sumber yang dapat dijadikan refrensi yang memiliki bukti kuat, akurat dan/atau sahih sebagaimana literatur asal usul sebutan Batu Marsanggul tersebut.

Sederhanya, sebutan Batu Marsanggul hanyalah sebuah sebutan lepas yang sudah turun-temurun dari para generasi pendahulu di Desa Janji Martahan. Batu Marsanggul, sudah tidak begitu familiar bagi warga desa setempat, terlebih warga generasi kelahiran 90-an hingga generasi sekarang, belum tentu pernah mendengar sebutan Batu Marsanggul, apalagi melihat langsung.

Bila diperhatikan sepintas, sebutan Batu Marsanggul hanyalah sebuah sebutan terucap lepas yang sudah turun-temurun diwariskan oleh para generasi pendahulu di Desa Janji Martahan. Sebenarnya, batu itu biasa saja atau tidak ada istimewanya bagi warga desa setempat, sehingga kederangannya tidak begitu familiar. Mungkin bagi generasi kelahiran 90-an, mereka belum tentu pernah mendengar sebutan Batu Marsanggul, apalagi melihat langsung.

Sederhananya, Batu Marsanggul punya cerita usang mengenai asal-usul penabalan sebutan yang melekat padanya hingga kini. Katanya, dulu pada zamannya, di bagian atas belakang batu, tumbuh beberapa jenis tanaman liar seperti setumpuk rerumputan, sebatang pohon beringin mungil tak rimbun, dan pohon senduduk yang tak berbuah lebat.

Bila kita berhadap-hadapan dengan Batu Marsanggul, terlihat setumpuk tumbuh beberapa jenis tanaman liar di bagian belakang sebelah atas batu tersebut. Sehingga, batu itu kayak bersanggul, atau sebutan umumnya berkonde. Dan sekitar tahun 80-an, adalah terakhir kali melihat kondisi batu itu mirip seperti bersanggul.

Batu
SMAN 1 Harian Boho, Kabupaten Samosir. (Foto. Pilar Merdeka)

Letak Batu Marsanggul, berada diantara empat arah mata angin. Sebelah Utara menghadap ke arah Danau Toba, Selatan pebukitan Aek Martua Julu (Air Martua Julu : air murni pebukitan di Janji Martahan), sebelah Timur pebukitan, dan sebelah Barat tebing, di bawahnya aliran air (bondar : bahasa lokal) dari pebukitan yang mengalir hingga perkampungan penduduk.

Dari jalan umum yang berjarak kurang lebih 600 meter atau sekitar 300 meter dari SMAN 1 Harian Boho, Batu Marsanggul masih terlihat mencolok. Tak ada batu sebesar Batu Marsanggul di dekat atau sekitarnya. Kondisi jalan ke arah batu itu dari jalan umum, menanjak landai. Posisi jalan umum berada di bawah (toruan, bahasa lokal) dan posisi Batu Marsanggul menanjak landai ke atas (dolok).

Sejak puluhan tahun silam hingga sekarang, tak ada warga masyarakat Desa Janji Martahan yang mensengajakan diri untuk datang melihat Batu Marsanggul, dan untuk apa juga, karena memang tak apa-apa disana? Jadi wajar saja kalau banyak warga lokal belum pernah melihat langsung Batu Marsanggul, mungkin sekedar mendengar saja.

Masa anak-anak, semasih duduk di bangku sekolah dasar, kelas dua sampai kelas enam, cenderung lebih punya kesempatan untuk bermain ke sekitar lokasi Batu Marsanggul. Terutama anak-anak pengangon/pengembala ternak, seperti kebanyakan ternak kerbau, sedangkan lembu lebih memilih merumput di badan pebukitan, dan ternak kambing sangat jarang sampai ke dekat Batu Marsanggul.

BACA JUGA  Jatmiko Krisna Santosa: Kembalikan Seluruh Kejayaan Regional

Jika kerbau dilepas bebas oleh pemiliknya di hamparan luas padang rumput (jalangan, bahasa lokal) yang tak seluas padang rumput savana, cenderung memilih cari makan ke arah Batu Marsanggul. Karena banyak rerumputan tumbuh subur, segar dan bermacam dedaunan tumbuhan liar lainnya bisa dilahap kerbau. Kalau kerbau dan lembunya berada disana, anak-anak pengangon merasa gembira. Sebab, mereka tak begitu jauh menghalau ternaknya dari jalangan kembali ke kandang menjelang sore.

Anak Pencari Kayu

Batu
Lokasi mencari kayu bakar yang berada di kaki lereng bukit sebelah timur, berupa semak belukar (ruru, kata warga lokal). (Foto. Pilar Merdeka)

Di kala musim panas, sebagian orang tua akan menyuruh anaknya, anak laki dan/atau perempuan untuk mencarari kayu bakar guna stok sebelum musim hujan tiba. Biasanya, si orang tua menyuruh dua orang anaknya ke tempat mencari kayu bakar agar volume kayu yang dibawa pulang bisa lebih banyak dibandingkan seorang anak. Dan mencari kayu itu dilakukan setelah anak-anak pulang bersekolah.

Lokasi mencari kayu bakar yang berada di kaki lereng bukit sebelah timur, berupa semak belukar (ruru, kata warga lokal). Jarak rumah si anak ke lokasi semak belukar, kurang lebih mencapai satu kilometer. Dan kebetulan tak begitu jauh dari Batu Marsanggul, sekitar dua sampai tiga ratus meter.

Hanya anak-anak, baik pencari kayu (parsoban) maupun pengangon/pengembala (parmahan) yang punya kesempatan untuk bisa sambil melihat langsung Batu Marsanggul di dolok/dataran tinggi Desa Janji Martahan nan permai.

“Masa itu adalah masa-masa paling ceria bagi si anak yang tak mungkin terulang kembali, terlalu indah bila dilukiskan, terlalu lama untuk dikenang, dan tak tergantikan oleh waktu lainnya.” Kalau si anak disuruh memilih, bantu orang tua di sawah atau ke ladang dengan ‘marmahan dan marsoban’, kebanyakan si anak pasti memilih yang terakhir, peluang bermain lebih banyak, bisa dua sampai empat jam, sekitar Jam 14.00 -17.00 WIB.

Masing-masing anak mengumpulkan kayu bakar sebanyak kemampuannya membawa pulang, dikumpulkan dan dikemas rapi, pada dua bagian ujung pangkal diikat menggunakan lalang (rih-ri’, bahasa daerah setempat), sejenis rumput yang bagian atasnya runcing/tajam, panjang kayu bakar rata-rata dua sampai tiga meter, dan diameter kayu bervariatif atau maksimal sepuluh centimeter. Jenis kayu bakar beragam, diantaranya bunga-bunga kata masyarakat di desa itu, salah satu jenis tanaman liar yang relatif mudah tumbuh subur dan gampang layu atau berusia pendek.

Menjelang petang, tiba waktu pulang, anak-anak menyempatkan diri bermain di sekitar Batu Marsanggul. Mereka, ‘parmahan dan parsoban’ berkumpul, bercanda ria dan tertawa lepas sambil istirahat melepas lelah usai mencari kayu bakar.

Mistis

Di balik cerita yang disajikan apa adanya, mungkin saja ada kisah atau legenda lain berupa cerita rakyat tentang Batu Marsanggul yang tak terungkap hingga kini. Silang pendapat tentu terjadi, percaya dan tidak percaya, tapi yang jelas, cenderung anak-anak tidak mau sembrono atau berbuat sembarangan bila sedang berada di sekitar Batu Marsanggul.

Sekali waktu, orang tua/nenek-kakek akan mengingatkan si anak agar jangan bermain sembarangan di Batu Marsanggul. Misalnya, naik turun atau duduk-duduk diatas batu. Apalagi si anak sampai iseng mau buang hajat, sekalipun buang hajat kecil, takut kualat. Semasa itu, teman-teman sebaya tak ada yang berani berbuat iseng di batu tersebut.

BACA JUGA  Paslon Bupati Deli Serdang Nomor Urut 2: Butuh Dukungan Rakyat

Era berganti, peradaban berkembang mengikuti zamannya. Mungkin, bagi generasi sekarang, pola pikir mensakralkan atau menerima adanya aroma mistis di Batu Marsanggul, sebatas mitos belaka, sehingga Batu Marsanggul dianggap hanya batu biasa.

Fakta atau mitos, ada atau tidak di Batu Marsanggul beraroma mistis, pastinya hanya Sang Pencipta-lah yang tahu. Keberadaan mistis yang di luar logika itu, hingga saat ini belum ada sumber yang menyatakan bahwa di Batu Marsanggul melekat mistis dan/atau sejenisnya. Kalaupun dahulu ada cerita atau kisah horror disana, biarkanlah cerita/kisah itu sebuah “nostalgia” masa lalu.

Senduduk-Sadduduk

Batu
Senduduk, satu jenis tanaman liar tumbuh di semak-semak, umumnya di daerah tropis, ada di kawasan Batu Marsanggul. (Foto. Pilar Merdeka)

Hamparan terbuka padang rumput di Desa Janji Martahan, tidaklah seluas padang rumput sabana di Benua Afrika, serta tidak memiliki satwa liar mamalia besar seperti singa, gajah, zebra dan jerapah.

Sesama padang rumput, kemungkinan ada kesamaan jenis tumbuhan liar yang dapat dikonsumsi atau dijadikan sayuran-lalapan. Kalau di padang rumput Janji Martahan, setidaknya ada tiga jenis tumbuhan liar yang kerap dimakan oleh anak-anak saat mengangon dan/atau mencari kayu bakar, antara lain senduduk (dialek warga lokal, sadduduk), ciplukan atau pultak pultak dan pepohonan.

Senduduk, satu jenis tanaman liar tumbuh di semak-semak, umumnya di daerah tropis, dan berdaun hijau tua, tinggi pohon rata-rata sekitar 50-100 cm, batang berwarna coklat agak kemerahan dan berbunga segar khas warna ungu. Ciri-ciri buah, sebesar kacang bogor, dan bentuk bulat oval seperti telur.

Kalau buah senduduk dimakan, seketika lidah dan bibir pasti berubah menjadi berwarna ungu pekat. Rasanya, manis bercampur pahit. Kata orang, senduduk banyak khasiatnya, daun direbus bisa buat obat serta buahnya juga obat panas dalam. Dulu, jika bibir si anak kering kayak bebelah-belah, memakan tiga sampai lima buah senduduk, beberapa hari kemudian sembuh. Hingga sekrang, senduduk masih tumbuh tak jauh dari pinggiran Batu Marsanggul.

Selain senduduk, ciplukan (pultak pultak sebutan warga setempat) dan pohpohan juga tumbuh liar di padang rumput Janji Martahan. Pohpohan merupakan sebutan yang berasal dari bahasa Sunda, dan pohpohan termasuk sayuran muda lalapan populer di ranah Sunda.

Batu
Linggom Sitanggang saat memperlihatkan Senduduk kemudian memakan buahnya. (Foto. Pilar Merdeka)

Di Desa Janji Martahan, tumbuh di sembarang tempat tak berumpun, jarang dan berjarak pohon yang satu dengan lainnya. Cirinya, daun hijau, pinggir daun agak berigi, bentuk/lebar mirip daun sirih, dan nuansa rasa khas, ketir sedikit pahit serta harum. Pepohonan sangat jarang dijadikan lalapan sembari makan. Hanya dimakan iseng atau seketumunya saja oleh anak-anak saat mengangon kerbau, lembu atau kambing.

Ciplukan (sebutan umum di sebagian daerah Jawa) atau pultak pultak (sebutan sebagian bahasa Batak), salah satu tanaman liar dapat dikonsumsi yang tergolong unik. Di Desa Janjimartahan, pultak pultak tumbuh subur di sembarang tempat, tapi cenderung di semak-semak. Ciri khasnya, buah ciplukan terbungkus rapi oleh sejenis kembang berkulit tipis menggembung dan permukaannya halus.

Jika pultak-pultak sudah matang, tandanya pembungkus layu, buah menguning dan berubah warna orange bila buah semakin matang. Rasanya, asam manis dan berbiji, seperti buah markisa. Tak sedikit orang bilang, buah pultak pultak bermanfaat bagi kesehatan.

Linggom Sitanggang (26), lelaki kelahiran Janji Martahan menuturkan, senduduk dan pultak pultak masih tumbuh di kawasan padang rumput (jalangan) Desa Janji Martahan, tapi tidak sebanyak dulu, apalagi pohpohan sudah jarang terlihat di ‘jalangan”.

BACA JUGA  Rosen Jaya Sinaga Bacaleg DPRD Medan Jadi Narasumber Dialog Publik di UMA

Lanjut Linggom, saat ia masih duduk di sekolah dasar, tidak sering tapi pastilah pernah memakan buah senduduk, pultak pultak dan bahkan sampai sekarang kalau terlihat senduduk masih dimakan. Kalau daun segar-pohpohan hampir tak pernah makannya.

Cerita Pemandu wisata/tour guide di Bukit Cinta itu, jarang anak-anak mau sengaja mencari tumbuhan liar tersebut. Kalau kebetulan lagi mengangon kerbau atau pergi ke jalangan, barulah anak-anak memetik senduduk dan pultak pultak. “Sekarang pultak pultak sudah jarang, kalaupun ada di semak-semak,”kata Linggom, dan menambahkan senduduk masih banyak tumbuh di jalangan, termasuk di sekitar Batu Marsanggul

Batu
Linggom Sitanggang bersama pengunjung dari Kota Medan saat jalan-jalan ke kawasan Batu Marsanggul. (Foto. Pilar Merdeka)

Perkiraan Berdasarkan Asumsi

Diperkirakan Batu Marsanggul setidaknya sudah berusia sekitar 250-300 tahun. Perkiraan itu, bukan berdasarkan penelitian, hitungan matematika dan/atau hitungan ilmu pasti. Tapi berdasarkan asumsi pribadi yang dilandasi hitungan berapa generasi/keturunan, khususnya para pendatang (sonduk hela) terdahulu ke Janji Martahan.

Berpijak dari itu, para pendahulu marga-marga pendatang seperti marga Sitanggang, Situmorang dan marga Sitohang, diantaranya sudah bergennerasi empat sampai lima generasi, dan generasi pertama sudah berada disana sekitar 200 tahun. Sementara, para pendahulu marga mayoritas Pasaribu-Serumpun Pasaribu, jauh sebelumnya sudah bermukim di Janjimartahan.

Seorang sumber, N. Boru Pasaribu, di masa hidupnya pernah bercerita bahwa Batu Marsanggul sudah ada sejak di zaman kakek-buyutnya (opung). Hanya saja, ia tidak tahu pasti siapa orang pertama kali datang dan membuka perkampungan di desa yang “kaya” bebatuan tersebut.

Perkiraan lain, kemungkinan keberadaan Batu Marsanggul muncul setelah terjadinya Danau Toba secara alami akibat letusan Gunung Api Toba sekitar 70 ribuan tahun silam. Sangat mungkin, Batu Marsanggul dan batu-batu lainnya merupakan sisa-sisa material letusan gunung berapi yang juga berproses secara alami selama ratusan atau ribuan tahun dan mengeras menjadi batu.

Berbeda dengan pebukitan, sekalipun tanpa penelitian, bisa ditebak usia pebukitan sudah seusia sejak bumi diciptakan. Sedangkan Danau Toba dan Batu Marsanggul terjadi atau muncul karena adanya faktor proses alam.

Batu
Batu Marsanggul di Desa Janji Martahan, Kecamatan Harian Boho, Kabupaten Samosir. (Foto. Pilar Merdeka)

Lestarikan Warisan Bumi

Geopark mengusung filosopi, “memuliakan warisan bumi, mensejahterakan masyarakat”. Sungguhlah filosopi itu mengandung makna yang menyentuh nurani umat manusia sebagai penghuni bumi. Dan bila dimaknai, filosopi tersebut merupakan sebuah pesan dan peringatan bagi tiap orang agar senantiasa menjaga, merawat dan melestarikan apapun itu warisan bumi.

Memperhatikan sejenak filosopi yang diusung oleh geopark tersebut, bukanlah hal yang berlebihan bila dikatakan Batu Marsanggul dan batu-batu lain di sekitarnya adalah bagian warisan bumi.

Ada apa dan apa bedanya Batu Marsanggul dengan batu lainnya yang ada di Janji Martahan, tentu saat ini belum bisa dijawab secara ilmiah. Untuk mengetahui lebih jauh, dibutuhkan suatu observasi dan konservasi oleh badan/lembaga yang punya kapabilitas mumpuni di bidangnya.

Ke depan, bukan tidak mungkin Batu Marsanggul dapat dimanfaatkan warga lokal menjadi salah satu bagian objek tujuan wisata yang ada di Desa Janji Martahan. Buktikan, sesungguhnya Batu Marsanggul memiliki sensasional yang belum tergali. Dan camkanlah filosopi yang diusung geopark “memuliakan warisan bumi, mensejahterakan masyarakat. (Nasrul Sitohang)

Google

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

spot_img
- Advertisment -

DAERAH