Oleh Djoko Setijowarno
Untuk mendorong perbaikan angkutan umum di daerah, pemerintah pusat dapat menawarkan alternatif, anggaran transfer ke daerah tidak akan dipotong jika pemda berkomitmen membiayai angkutan umum dengan APBD-nya
Presiden Prabowo Subianto telah menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2026 pada Sidang Tahunan MPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025). Dalam RAPBN 2026 itu, pemerintah mengusulkan alokasi dana transfer daerah sebesar Rp 650 triliun. Besaran itu turun 24,7 persen dibandingkan dana transfer daerah tahun 2025 sebesar Rp 864,1 triliun (Kompas, 23/08/2025).
Dana transfer daerah dan dana desa pada RAPBN 2026 sekaligus menjadi yang terendah dalam lima tahun terakhir. Pada 2021, realisasi transfer daerah dan dana desa mencapai Rp 785,7 triliun. Alokasi anggaran serupa terus naik hingga tahun 2024. Dari Rp 816,2 triliun pada 2022, Rp 881,4 triliun pada 2023, hingga Rp 863,5 triliun pada 2024.
Anggaran ke daerah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang dikenal dengan istilah Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Tujuan utamanya adalah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah, mengurangi ketimpangan fiskal, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik di seluruh Indonesia
Anggaran Transfer ke Daerah itu berupa Dana Perimbangan (Dana Bagi Hasil/DBH, Dana Alokasi Umum/DAU, Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Dana Desa.
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah bagian dari anggaran transfer ke daerah. Dana ini berasal dari sebagian pendapatan negara, seperti pajak dan sumber daya alam (contohnya minyak, gas, dan pertambangan), yang dialokasikan kembali ke daerah. Tujuannya adalah untuk mengurangi kesenjangan antara pemerintah pusat dan daerah penghasil dan membantu daerah lain yang tidak menghasilkan, terutama untuk menangani dampak negatif dari aktivitas ekonomi atau untuk pemerataan pembangunan.
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah bagian dari anggaran transfer ke daerah. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi kesenjangan keuangan dan kualitas pelayanan publik antar-daerah. Dana ini bisa digunakan secara fleksibel untuk membiayai kebutuhan umum daerah, seperti membayar gaji pegawai (termasuk gaji PPPK) dan membiayai operasional pemerintahan.
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah bagian dari anggaran transfer ke daerah yang bersifat spesifik. Dana ini hanya bisa digunakan untuk membiayai program, proyek, atau kebijakan yang menjadi prioritas pemerintah pusat, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Dengan kata lain, penggunaan DAK sudah ditentukan dari pusat, berbeda dengan Dana Alokasi Umum (DAU) yang lebih fleksibel.
Dana Otonomi Khusus merupakan bagian dari anggaran transfer ke daerah yang diberikan secara spesifik kepada provinsi-provinsi yang memiliki hak otonomi khusus. Dana ini bertujuan untuk mendukung pelaksanaan otonomi dan mempercepat pembangunan di wilayah tersebut, seperti di Provinsi Aceh dan seluruh provinsi di Papua (Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Barat Daya, Pegunungan, dan Papua Tengah).
Selain itu, Daerah Istimewa Yogyakarta juga menerima dana keistimewaan yang serupa dengan tujuan untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan serta status istimewanya. Secara umum, dana ini menjadi instrumen penting untuk memastikan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah-wilayah istimewa tersebut dapat berjalan optimal.
Dana Desa merupakan wujud komitmen pemerintah pusat untuk membangun Indonesia dari pinggir. Dana ini langsung disalurkan ke setiap desa untuk membiayai seluruh kegiatan, mulai dari operasional pemerintahan, pembangunan, hingga program pemberdayaan masyarakat. Dengan adanya Dana Desa, setiap desa diharapkan dapat lebih mandiri dan mampu meningkatkan kesejahteraan warganya
Pemda Membiayai Angkutan Umum
Meskipun pemda sering terkendala masalah anggaran untuk membenahi angkutan umum, setidaknya 34 pemda sudah berinisiatif mengalokasikan APBD mereka untuk membiayai operasional layanan tersebut. Upaya ini telah dilakukan oleh 11 pemerintah provinsi, 14 pemerintah kota, dan 9 pemerintah kabupaten.
Sebelas pemerintah provinsi telah membiayai angkutan umum, di antaranya Trans Koetaradja di Aceh, Trans Siginjai di Jambi, dan Trans Jakarta di Daerah Khusus Jakarta. Angkutan umum serupa juga beroperasi di Jawa Barat (Metro Jabar Trans), Jawa Tengah (Trans Jateng), Daerah Istimewa Yogyakarta (Trans Jogja), dan Jawa Timur (Trans Jatim). Sementara itu, ada juga Trans Metro Dewata di Bali, Trans Banjarbakula di Kalimantan Selatan, Trans Sulsel di Sulawesi Selatan, dan Trans NKRI di Gorontalo.
Sebanyak 14 kota juga sudah mengoperasikan angkutan umum yang dibiayai APBD, seperti Trans Binjai di Kota Binjai, Trans Metro Deli di Kota Medan, dan Trans Padang di Kota Padang. Di pulau lain, ada juga Trans Metro Pekanbaru di Kota Pekanbaru, Trans Batam di Kota Batam, serta Trans Musi Jaya di Kota Palembang. Di Jawa, layanan serupa tersedia di Kota Bogor (Trans Pakuan), Kota Bandung (Trans Metro Bandung), Kota Semarang (Trans Semarang), Kota Surakarta (Trans Batik Solo Trans), dan Kota Surabaya (Suroboyo Bus dan Trans Semanggi Surabaya). Sementara di Kalimantan dan Sulawesi, layanan ini hadir di Kota Banjarmasin (Trans Banjarmasin), Kota Banjarbaru (Angkutan Juara), dan Kota Palu (Trans Palu).
Kota Cilegon dan Kota Cirebon menjadi contoh dua daerah yang pernah menyelenggarakan angkutan umum, tetapi kini tidak lagi beroperasi. Layanan Trans Cilegon dan Trans Cirebon kini hanya tinggal kenangan bagi warga di kedua kota itu.
Sementara itu, sembilan kabupaten lainnya juga telah membiayai angkutan umum, seperti Trans Wibawa Mukti di Kabupaten Bekasi, Si Mas Ganteng di Kabupaten Tuban, dan Trans Bangkalan di Kabupaten Bangkalan. Upaya serupa juga dilakukan oleh Kabupaten Banjar (Trans Intan), Kabupaten Donggala (Trans Donggala), Kabupaten Tanah Laut (Trans Lakatan), Kabupaten Balangan (Trans Sanggam), Kabupaten Trenggalek (Trans Trenggalek), dan Kabupaten Tabalong (Trans Langsat Manis).
Jangan Dipangkas
Kewajiban pemerintah dalam menyediakan angkutan umum sudah diatur jelas. Berdasarkan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, angkutan umum harus diselenggarakan untuk memastikan masyarakat memiliki akses transportasi yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau. Ini menunjukkan bahwa pemerintah bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan layanan ini.
Di tengah kesadaran beberapa pemerintah daerah akan pentingnya angkutan umum, anggaran daerah justru jangan sampai dipangkas. Pemda sudah menghadapi tantangan besar karena keterbatasan fiskal, sehingga membiayai operasional angkutan umum menjadi kendala tersendiri. Oleh karena itu, rasanya kurang bijak jika pemerintah pusat tetap memangkas anggaran daerah dengan dalih efisiensi, karena langkah itu justru bisa menghambat perbaikan transportasi publik.
Pemerintah pusat memberikan dukungan penuh kepada daerah yang serius membenahi angkutan umum. Sebagai bentuk insentif, pemerintah memastikan anggaran transfer ke daerah (TKD) tidak akan dipangkas jika pemda mengalokasikan APBD untuk operasional transportasi publik.
Dua pemerintah daerah di Jawa Tengah, yakni Pemkab Semarang dan Pemkab Magelang, punya cara unik untuk mendukung angkutan umum. Mereka memberikan insentif bahan bakar sebagai pengganti biaya operasional, dengan satu syarat utama, yaitu angkutan lokal wajib mengantar dan menjemput para pelajar secara cuma-cuma. Menariknya, setelah melayani pelajar, angkutan ini masih bisa beroperasi seperti biasa untuk mencari penumpang umum dengan tarif normal.
Di tengah kesulitan ekonomi, daya beli masyarakat melemah dan tingginya angka pengangguran, program angkutan umum dengan tarif yang murah menjadi penyelamat. Layanan ini sangat membantu masyarakat untuk tetap bisa bermobilitas tanpa harus mengeluarkan biaya besar, sehingga beban harian mereka sedikit berkurang.
Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat