JAKARTA, PILAR MERDEKA – Mahagenta sukses memukau ratusan penonton melalui konser musik bertajuk “Lentera Khatulistiwa” yang digelar di Graha Bakti Budaya (GBB), Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Sabtu (15/11). Pertunjukan yang berlangsung sejak Jam 20.00 hingga 22.00 WIB itu menghadirkan perpaduan harmonis antara musik tradisional Nusantara dan sentuhan modern.
Malam itu, suasana etnik sudah terasa sejak para penonton memasuki Aula GBB TIM. Puluhan alat musik tradisional seperti kendang, bonang, saron, hingga guci tersusun di panggung dan dipadukan dengan instrumen modern seperti gitar elektrik dan keyboard. Kolaborasi tersebut menghasilkan pengalaman musikal yang kaya, segar, dan memikat.
Hadir dalam konser tersebut perwakilan Kementerian Kebudayaan, Meta Ambar Pana, yang memberikan apresiasi tinggi kepada Mahagenta. “Atas nama Kementerian Kebudayaan, kami menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada keluarga besar Mahagenta atas 29 tahun kontribusi nyata dalam budaya seni Indonesia,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa konser ini menjadi puncak perjalanan panjang Mahagenta sekaligus penanda masa depan yang lebih gemilang.
Pujian juga datang dari Wakil Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Felencia Hutabarat. “Mahagenta menunjukkan bahwa tradisi dan inovasi adalah dua kekuatan yang saling melengkapi,” katanya.
Sejumlah penyanyi seperti Ita Permata, Desya, dan Anton Leily Aspari tampil membawakan lagu-lagu bertema alam dan budaya Indonesia. Atraksi menarik juga hadir lewat aksi Uyung Mahagenta menabuh guci serta penampilan puluhan penari yang gerakannya terinspirasi tari Saman dari Aceh.
Dalam konser ini, Mahagenta menampilkan 17 karya terbaik dari perjalanan panjang mereka selama hampir tiga dekade. Alunan musik yang bergantian antara komposisi lembut dan enerjik membuat penonton terpaku menikmati setiap perubahan suasana.
Mahagenta, yang berdiri sejak 11 September 1996 dan pertama kali tampil dalam Ethno Music Festival Dewan Kesenian Jakarta, terus konsisten merawat nilai-nilai tradisi melalui karya-karya bernuansa Nusantara. Perjalanan mereka yang dimulai hampir 30 tahun lalu kini semakin matang, tanpa meninggalkan identitas budaya yang menjadi ruh utama kelompok tersebut.
Sorak tepuk tangan panjang di akhir pertunjukan menjadi bukti betapa kuatnya resonansi musik yang dibawakan malam itu. Di TIM, cahaya Lentera Katulistiwa tidak hanya menerangi panggung, tetapi juga hati para penonton yang pulang dengan rasa bangga akan kekayaan budaya Indonesia. (Agus Oyenk)


