CIBUBUR, PILAR MERDEKA – Di Jalan/Gang Rukun yang lebarnya sekitar 2,5 meter, persis di tepi Kali Cipinang, di seberang Pasar Cibubur, Kecamatan Ciracas, tampak tiga orang pedagang ayam kampung, dua kaum Adam dan satu kaum hawa, salah seorang bernama Gatot (47), kelahiran Jakarta berdarah Jawa (Cilacap), berdomisili di seputaran Kampung Rambutan, Jakarta Timur.
Pagi itu Sabtu (15/11) sekitar Jam 07.00 WIB, Gatot sang pedagang ayam kampung yang berpostur tidak begitu tinggi dan langsing, terlihat duduk santai di tembok tepi kali, menggenggam handphone sesekali menghembuskan asap rokoknya sembari menunggu pelanggan setia, dan satu per satu pelanggan mulai berdatangan memilah pilih ayam yang dijajakan.
Usaha apapun butuh modal yang cukup, tapi bukan pula semata-mata modal menjadi tolak ukur memulai suatu usaha. Kemauan dan tekad yang kuat, keberanian untuk memulai berusaha, sabar serta bisa menanamkan rasa kepercayaan terhadap diri si pemula usaha adalah modal utama yang tak bisa diabaikan. “Tanpa itu, usaha apa saja akan gagal,” cetus bapak seorang putri yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Sebelum usaha dagang ayam kampung, ia pernah melakoni bermacam usaha kecil-kecilan, diantaranya usaha ikan lele. Tapi tak bertahan lama, kurang lebih hanya dua tahun. Disamping banyak saingan, modalpun tipis dan akhirnya gulung tikar alias kemakan modal.
Pada 2004, Gatot memberanikan diri untuk memulai dagang ayam kampung, bergabung bersama pedagang ayam yang sudah senior. Tepatnya di bawah pohon beringin pintu masuk Pasar Cibubur sebelum pindah ke tempat mangkal sekarang. Sebelumnya, lelaki yang kerap melempar senyuman itu, sudah mempelajari tata cara berjualan dan memperhatikan pangsa pasar.

Iseng-iseng sambil belajar coba dulu dengan modal tipis, cukup untuk membeli beberapa ekor ayam saja. “Awalnya begitu, modal kemauan, tekad, nekat, dan saya pikir-pikir juga saat itu masih lajang belum banyak biaya,” kenang suami Nur (40), 24 tahun silam memulai usaha dagang ayam kampung.
Satu tahun kemudian, Gatot menikahi Nur, gadis pujaan berdarah Betawi plus Sunda. Tekadnya pun semakin kuat, dibarengi ketekunan dan keyakinan “aku bisa menjalani kehidupan bersama istri” dengan berdagang ayam kampung. Sang istri sungguh mendukung, sang suami tercinta bertambah semangat membara.
Hari berganti minggu, bulan hingga berganti tahun, pelanggan semakin bertambah dan kepercayaan pemasok ayam semakin melekat. Pasokan ayam datang dari beberapa daerah, yaitu Bogor, Cariu, Cipanas dan Cianjur. Kalau musim Lebaran, Natal dan Tahun Baru, pasokan ayam juga datang dari Kabupaten Sukabumi. Artinya, stok ayam kampung tetap terjamin.
Perlahan tapi pasti, usaha mulai berkembang, di rumah juga buka usaha yang sama. Istri, mertua dan keluarga ikut nimbrung berjualan, sekalian paket potong dan dibersihakan. “Di rumah, istri jualan lewat online. Lumayan, hari biasa saja, Senin-Jum’at bisa terjual rata-rata 30 ekor per hari,” cerita Gatot yang kelihatan gesit melayani pelanggan. Lanjut Gatot, di rumah Sabtu dan Minggu bisa terjual rata-rata mencapai 50 ekor per hari.
Penjualan di rumah dan di lapak pinggir kali seberang Pasar Cibubur, kata Gatot, bisa terjual rata-rata 100 ekor per hari. Laba bersih, setelah dipotong biaya operasional, gaji pekerja, termasuk potong ayam dan dibersinkan, bisa rata-rata mencapai Rp. 500-700 ribu per hari. Sementara, pengeluaran untuk rumah tangga rata-rata Rp. 300 ribu per hari. “Alhamdulillah, masih bisa nabung sedikitlah,” ujar Gatot tersenyum.
Kerja Keras dan Tekun
Pasang surut usaha itu adalah hal biasa, apalagi hanya modal “dengkul”, tentu tak bisa berbuat banyak. Bertahan saja sudah bagus, mau bangkit dan berkembang rasanya tak semudah yang terucap. Tapi semua bukan tak mungkin, Gatot membuktikan bahwa ia perlahan beranjak bangkit dan ada perkembangan usaha. Kuncinya, kata Gatot, usaha itu suatu pekerjaan, karenanya harus kerja keras dan tekun atau ulet pantang menyerah. Disamping itu, usaha juga harus dijiwai agar bisa membaca situasi dan kondisi perkembangan pasar.
Bagi bapak satu putri itu, sebagai pedagang ayam kampung kelas bawah, ia hanya belajar secara alami dan tak pernah sekolah khusus untuk usaha. “Kalau boleh dibilang, saya hanya belajar di lingkungan sekitar pedagang ayam kampung saja,”jelas Gatot sembari menekankan bagaimana dan darimana mendapatkan ayam kampung, kepada siapa dijual serta berapa harga jualnya, poin itu harus dipahami si pedagang.
Hal lain yang tak boleh diremehkan adalah pelayanan dan kualitas ayam. Kalau harga ayam per ekor sesuai ukuran atau proporsional (bukan ditimbang), tidak begitu dirisaukan. Karena, sesama pedagang sudah ada kode etiknya, yakni bersaing secara sehat, bukan bermain di harga.
Menurut Gatot, pelayanan sangat penting untuk menjaga pelanggan agar jangan berpaling. Syaratnya, kenali karakter masing-masing pelanggan, lakukan tegur sapa dan sesekali lempar senyum tanpa bujuk rayu. Pelanggan itu ada yang cerewet, minta harga tak wajar sementara kualiatas ayam bagus dan ukuran diatas harga yang ditawar. Jadi, harus pintar-pintar dan sabar.
Istri Pegang Uang
Gatot tergolong orang yang memegang teguh petuah dan/atau nasehat orang tua. Ia mengatakan, meskipun tak semua petuah atau nasehat itu bisa dilakoni, tapi petuah yang dianggap sakral, contoh petuah atau nasehat itu,”kalau kamu sudah berumah tangga, uang hasil kerjamu serahkan biar istri yang pegang. Karena, do’a istri sangat mempengaruhi rezeki suami.” Bagi Gatot petuah tersebut patut diteladani, bahkan menurut agama yang dianutnya, tutur Gatot, do’a istri tembus hingga ke langit ketujuh.”
Lanjut lelaki kelahiran Jakarta tahun 1978, jika kita membuat hati istri senang, yakinlah kerjaan akan lancar dan rezeki tak putus dan terus mengalir meskipun terkadang tak sesuai keinginan, tapi wajib disyukuri dan dibarengi mau berbagi.
Rasanya mustahil ia mampu menjalankan usaha beli dan jual ayam kampung yang awalnya hanya bermodal tipis. Kerja keras dan tekun harus, tapi dibalik itu do’a istri sangat menentukan perjalanan dirinya dalam usaha dagang ayam.Tapi sebelumnya, Gatot dengan Nur, istrinya menanamkan rasa saling mengerti, jujur, terbuka dan saling memaklumi kekurangan masing-masing. Contohnya, beberapa tahun berumah tangga, istri tidak bekerja. Suatu ketika istri minta uang belanja tidak diberikan. Gatot bilang, “kalau kamu mau uang belanja, iya kerja, bantu saya jualkan ayam, dan syukurnya istri mau”.
Nur mencoba jual ayam kampung lewat online. Awalnya tak gampang, tapi Gatot sabar mengajari hingga sang istri menikmati kerjaannya dan sudah berpengahasilan lumayan. Bukan saja sekedar untuk uang belanja, lebih dari itu bisa disisihkan buat nabung. (Roel Sitohang)

