Oleh Muhammad Akbar
Bagi warga kota-kota besar di Indonesia—Jakarta, Bandung, Surabaya, atau Medan—menyeberang jalan bukan lagi sekadar rutinitas biasa, melainkan ujian nyali.
Seharusnya, menyeberang adalah hak dasar. Setiap orang berhak bergerak bebas di ruang publik. Namun, di tengah padatnya lalu lintas dan arus kendaraan yang nyaris tak pernah jeda, pejalan kaki justru seringkali terpinggirkan.
Yang semestinya mudah dan aman, malah berubah jadi momen menegangkan, bahkan mengancam nyawa. Persoalannya bukan cuma rasa tidak nyaman, melainkan juga keselamatan, waktu yang terbuang percuma, dan hak pejalan kaki yang terus diabaikan.
Bagi pejalan kaki—apalagi lansia, anak-anak, ibu menggendong balita, dan penyandang disabilitas—jalan raya sering kali terasa tidak ramah. Justru sebaliknya, jalan menjadi arena adu deru mesin, klakson, dan kendaraan yang melaju cepat. Seolah-olah, jalan hanya milik kendaraan bermotor. Padahal, kota yang maju bukan diukur dari lebarnya jalan atau lancarnya lalu lintas, melainkan dari seberapa aman dan nyaman warganya berjalan kaki dan menyeberang.
Lalu, mengapa menyeberang jalan di kota-kota besar bisa sedemikian sulit? Apa yang salah dengan tata kelolanya? Apa yang bisa dilakukan untuk membuatnya lebih aman dan nyaman?
Zebra Cross Hanya Pajangan, Nyali Tetap Jadi Andalan
Menyeberangi jalan di kota besar nyaris seperti menantang maut. Zebra cross memang ada, tapi jangan harap pengendara bakal patuh. Masih saja pada ngebut, bahkan ketika ada pejalan kaki yang sudah berada di atas garis penyeberangan. Ironisnya lagi, banyak zebra cross justru berada di titik-titik yang tidak strategis, jauh dari halte, dari pusat keramaian, atau jalur pejalan kaki yang aktif digunakan.
Jembatan penyeberangan pun kerap terlalu tinggi dan tidak ramah bagi lansia atau penyandang disabilitas. Tak sedikit pula yang dibiarkan kusam, sempit, bahkan tidak terawat kayak bangunan terlantar. Alhasil, jembatan yang harusnya jadi solusi malah berubah jadi rintangan. Maka, jangan heran bila banyak orang akhirnya memilih “potong kompas”, nekat menyeberang langsung di tengah jalan. Bukan karena tak tahu risiko, tapi karena itulah opsi paling masuk akal di tengah tata kota yang tak berpihak pada pejalan kaki.
Di beberapa lokasi, tidak ada fasilitas penyeberangan sama sekali, memaksa orang untuk mencari celah di antara arus kendaraan yang melaju cepat. Akibatnya, pejalan kaki terpaksa “bernegosiasi” dengan arus kendaraan yang tak pernah jeda, mereka harus gesit menengok kanan-kiri dengan was-was, lalu buru-buru berlari kecil sambil berharap pengemudi melambat. Praktik ini tak hanya melelahkan dan berbahaya, tetapi juga menunjukkan kegagalan kota dalam menyediakan ruang publik yang aman dan ramah bagi semua warganya.
Menyeberang jalan pun akhirnya lebih mengandalkan nyali dan refleks, bukan sistem kota yang semestinya menjamin keselamatan.
Lalu Lintas Kita Maju Kendaraannya, Tertinggal Budayanya
Fenomena ini jadi cermin betapa budaya berlalu lintas kita belum berpihak pada pejalan kaki. Di banyak negara maju, mobil otomatis melambat atau berhenti begitu melihat ada orang berdiri di zebra cross. Di sini, yang terjadi justru sebaliknya: klakson dibunyikan sebagai peringatan agar pejalan kaki minggir. Bahkan tak sedikit, pengemudi malah menambah kecepatan saat melihat ada yang hendak menyeberang.
Zebra cross seolah kehilangan makna, sekadar hiasan aspal, dan pejalan kaki diperlakukan seperti pengganggu arus lalu lintas. Situasi ini menunjukkan betapa minimnya empati, rendahnya penghormatan terhadap hak pejalan kaki, dan absennya budaya berbagi ruang yang adil di jalan.
Budaya pengemudi yang abai terhadap hak pejalan kaki tidak lahir dalam semalam. Ia tumbuh dari kelalaian sistemik yang sudah berlangsung lama— dari regulasi yang lemah, pendidikan yang setengah hati, hingga praktik harian yang terus dibiarkan. hingga praktik sehari-hari di lapangan.
Dalam ujian surat ijin mengemudi (SIM), nyaris tidak ada materi yang menekankan pentingnya menghormati hak pejalan kaki, apalagi kewajiban berhenti di _zebra cross_. Sekolah mengemudi pun lebih banyak fokus pada soal teknis, seperti cara gas-rem, cara parkir atau mengoperasikan setir, ketimbang menanamkan etika berkendara yang menghargai sesama pengguna jalan. Polisi lalu lintas? Jarang menindak tegas pelanggaran di zebra cross. Lebih jauh lagi, banyak orang belajar menyetir dari orang tua atau teman yang justru mewariskan kebiasaan lama—kebiasaan yang tak pernah menganggap pejalan kaki sebagai prioritas di jalan raya.
Ketimpangan Budaya Antar Negara
Banyak turis asing dibuat kaget ketika mencoba menyeberang jalan di Indonesia. Mereka datang dengan asumsi bahwa zebra cross memiliki kekuatan hukum dan moral. Jadi, mereka berdiri di tepi jalan, yakin kendaraan akan berhenti. Tapi kenyataan berkata lain: nyaris tak ada kendaraan yang peduli. Tidak sedikit yang nyaris tertabrak karena keliru memahami “budaya lalu lintas” lokal. Di Indonesia, zebra cross lebih sering jadi dekorasi jalan ketimbang penanda hak pejalan kaki.
Lucunya, saat orang Indonesia bepergian ke negara seperti Jepang, Jerman, atau Australia, justru mereka yang bingung ketika mobil-mobil berhenti memberi jalan. Alih-alih langsung nyebrang, malah bengong, ragu-ragu, kikuk karena terbiasa di Indonesia harus “mengalah” dan menunggu kendaraan lewat. Padahal di sana, pengemudi malah kesal, karena pejalan kaki terlalu lama menunda langkah. Ini bukan soal siapa yang salah atau benar, tapi menunjukkan betapa jauhnya jurang budaya berlalu lintas kita dibanding negara-negara yang lebih menghargai hak pejalan kaki.
Desain Kota: Megah untuk Kendaraan, Bahaya untuk Pejalan
Sulitnya menyeberangi jalan juga memperlihatkan betapa desain kota-kota kita masih mengabaikan keberadaan pejalan kaki. Jalan terus diperlebar, flyover dibangun, tapi semua itu umumnya hanya demi kelancaran kendaraan bermotor. Sementara kebutuhan dasar warga untuk berjalan dengan aman dan nyaman justru terpinggirkan. Trotoar sempit, tak ada ruang aman di tengah jalan untuk berpijak, dan _zebra cross_ yang tak terhubung dengan halte atau stasiun angkutan umum—semua itu menandakan betapa rendahnya prioritas kota terhadap pejalan kaki.
Mau ngajak orang naik transportasi umum? Mulailah dari mempermudah akses pejalan kaki —termasuk kemudahan menyeberang jalan. Sebab kalau untuk mencapai halte atau stasiun saja orang harus bertaruh nyawa, jangan heran kalau minat naik angkutan umum tetap rendah.
Kota-kota seperti Seoul, Paris, atau Bogota, telah lama menyadari bahwa mengutamakan kendaraan pribadi justru memperburuk kualitas hidup. Mereka mulai merebut kembali ruang jalan untuk pejalan kaki dan pesepeda, membangun budaya toleransi di lalu lintas, dan perlahan menggeser prioritas: dari kecepatan kendaraan ke keselamatan warga. Hasilnya? Kota lebih manusiawi, macet berkurang, warganya pun happy.
Solusi Nyata Menuju Kota Ramah Pejalan Kaki
Untuk memperbaiki situasi ini, berikut sejumlah langkah konkret yang bisa dilakukan berikut ini.
Pertama, Revitalisasi fasilitas penyeberangan harus jadi prioritas. Mulai dari menambah _zebra cross_ di titik-titik strategis, memperbaiki pencahayaan di malam hari, hingga memasang _pelican crossing_ otomatis, dan membenahi jembatan penyeberangan orang (JPO) agar ramah bagi lansia (lanjut usia) serta penyandang disabilitas. Rambu dan marka harus jelas dan mudah dipahami. Di sejumlah kota dunia bahkan sudah memakai lampu penyeberangan adaptif berbasis sensor atau AI yang bisa menyesuaikan durasi nyala lampu berdasarkan jumlah pejalan kaki. Teknologi ini bukan hanya mengurangi waktu tunggu, tapi juga meningkatkan keselamatan secara signifikan.
Kedua, Materi ujian SIM dan kurikulum sekolah mengemudi perlu segera direvisi. Edukasi tentang hak pejalan kaki harus dimasukkan sebagai bagian penting, agar pengemudi tak hanya piawai mengendalikan kendaraan, tapi juga paham etika berbagi jalan. Pengemudi perlu paham, bahwa menghormati pejalan kaki adalah kewajiban hukum sekaligus cerminan budaya berlalu lintas yang beradab.
Ketiga, Penegakan hukum harus tegas dan konsisten. Pengemudi yang tidak memberi prioritas kepada pejalan kaki di zebra cross harus ditilang tanpa pandang bulu. Selama aturan hanya jadi hiasan tanpa sanksi nyata, pelanggaran akan terus dianggap biasa.
Keempat, Kampanye budaya lalu lintas harus digencarkan, bukan hanya seremonial. Libatkan media, sekolah, hingga komunitas untuk menanamkan empati di jalan raya—terutama soal pentingnya menghormati hak pejalan kaki. Karena budaya berkendara yang beradab tidak lahir dari aturan semata, tapi dari kesadaran bersama.
Kelima, Desain kota harus dirombak dengan orientasi pada manusia, bukan semata kendaraan. Prinsip _walkable city_ harus diterapkan, dengan integrasi antara moda transportasi dan ruang pedestrian. Prioritas pembangunan tak lagi bisa hanya berdasarkan kecepatan mobil, tapi pada kenyamanan dan keselamatan warganya saat berjalan kaki.
Waktunya Memanusiakan Jalan
Menyeberangi jalan tidak seharusnya menjadi adu nyali. Ia mencerminkan seberapa beradab sebuah kota memperlakukan warganya. Mobilitas bukan cuma soal kendaraan bermotor, tapi tentang bagaimana setiap orang—termasuk anak-anak dan lansia—bisa berpindah tempat dengan aman dan nyaman. Kalau kita bisa bangga dengan jalan layang dan jembatan megah, tapi seorang anak masih takut melangkah di zebra cross, maka kota ini belum benar-benar layak huni.
Kota yang baik adalah kota yang memanusiakan jalan. Bukan sekadar membanggakan tol layang atau flyover megah, tapi yang menghadirkan rasa aman bagi seorang nenek yang menyeberang, anak kecil yang berjalan ke sekolah, atau penyandang disabilitas yang menuju halte. Ukuran kemajuan kota bukan kecepatan kendaraan, tapi seberapa layak dan aman ruang publiknya untuk semua warganya.
Sudah waktunya kota-kota kita berpihak pada manusia. Jalan bukan milik eksklusif mereka yang berkendara. Jalan adalah ruang bersama. Dan menyeberang jalan bukan seharusnya jadi ujian nyali, tapi hak dasar yang dijamin oleh kota yang beradab.
Muhammad Akbar, Pemerhati Transportasi