Oleh Nikolas Saputra & Tim
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 2023) memperkirakan bahwa kasusu aborsi mencapai 2,4 juta jiwa per tiap tahun, dan sekitar 700 ribu kasus terjadi pada remaja. Tinggi angka ini menunjukkan bahwa aborsi bukan sekedar isu medis, tetapi juga masalah hukum dan pertarungan nilai antara hak hidup janin dan hak perempuan atas tubuhnya.
Indonesia melalui perangkat hukum yang tersedia berupaya berdiri diantara dua pandangan besar tersebut, kerap bertolak belakang : pro-life yang menekankan hak hidup janin, dan pro-choise menekankan hak perempuan atas tubuh serta keselamatannya.
Di tengah perdebatan tersebut, negara Indonesia hadir dengan regulasi yang memberikan perlindungan terhadap hak hidup janin. Hak hidup mendapat posisi utama dalam konstitusi. Pasal 28A UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup sertamempertahankan hidup dan kehidupannya, sementara Pasal 28B ayat (2) menjamin hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang.
Prinsip ini ditegaskan kembali dalamPasal 9 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (Selanjutnya disebut UU HAM) yangmenyatakan setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkantaraf kehidupannya. Norma tersebut menjadi landasan bahwa pada dasarnya aborsi dilarangkarena bertentangan dengan hak hidup.
Demikian juga Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan) melalui Pasal 60 menegaskan larangan aborsi kecuali dalam keadaan tertentu yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Salah satu kondisi tertentu yang dimaksud diatur dalam pasal 116 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana UU Kesehatan adalah indikasi kedaruratan medis. Lebih lanjut dalam pasal 117 Peraturan Pemerintah tersebut yang dimaksud indikasi kedaruratan medis adalah kehamilan yang mengancam nyawa dan Kesehatan ibu; dan/atau kondisi kesehatan janin dengan cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki sehingga tidak memungkinkan hidup di luar kandungan.
Tidak hanya larangan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga memberi sanksi tegas untuk melindungi perempuan dari praktikaborsi ilegal.
Pasal 463 KUHP mengancam pidana bagi perempuan yang melakukan aborsi diluar ketentuan hukum dengan sanksi pidana penjara maksimal 4 tahun dan Pasal 464 KUHP menjerat siapa pun yang melakukan tindakan aborsi terhadap perempuan baik dengan persetujuan maksimal 5 tahun pidana penjara maupun tanpa persetujuan maksimal 12 tahunpidana penjara, dan diperberat sanksinya apabila tindakan aborsi tersebut mengakibatkan kematian si perempuan.
Berdasarkan rangkaian regulasi tersebut dapat dilihat bahwa hukum Indonesia mengambil sikap pro-life dengan menempatkan hak untuk hidup sebagai hak utama dalam konstitusiyang tercermin dalam pasal 28A UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam UU HAM.
Selain itu, larangan aborsi yang diatur dalam pasal 60 UU Kesehatan juga mencerminkan sudut pandang regulasi Indonesia yang lebih condong ke pro-life karena melarang tindakana borsi itu sendiri merupakan bentuk perlindungan terhadap hak hidup janin. Pengecualianaborsi sebagaimana diatur dalam Pasal 116 dan Pasal 117 Peraturan Pemerintah Nomor 28Tahun 2024 juga mencerminkan sikap pro-life pemerintah.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa negara tetap menempatkan perlindungan terhadap kehidupan sebagai prinsip utama, namun sekaligus mempertimbangkan keadaan-keadaan luar biasa yang dapat mengancam keselamatan ibu atau janin. Dengan adanya pengecualian yang sangat ketat, pemerintah tidakserta-merta melegalkan aborsi secara luas, melainkan hanya membuka ruang yang terbatasdemi menyelamatkan nyawa dan menjamin kesehatan ibu.
Pengecualian ini juga menjaminkelangsungan hidup serta kesejahteraan janin melalui pengaturan yang ketat terhadapprosedur, alasan, dan pengawasan medis. Sanksi yang berat dari Pasal 463 dan 464 KUHP juga menegaskan bahwa hukum pidana hadir untuk melindungi kehidupan sejak dalam kandungan sekaligus keselamatan ibu dari praktik aborsi yang berbahaya.
Regulasi di Indonesia mulai dari konstitusi, UU HAM, UU Kesehatan hingga PP 28/2024 serta ancaman sanksi pidana dari KUHP secara konsisten menunjukkan pendekatan pro-life, yakni dengan menempatkan hak untuk hidup sebagai prinsip utama dan melarang aborsi demimelindungi hak hidup janin.
Dengan demikian regulasi bukan sekadar berfokus pada laranganaborsi, tetapi juga penegasan bahwa hak hidup tetap dijunjung tinggi yang menunjukkan tanggung jawab negara untuk melindungi keselamatan dan kesejahteraan warganya sejakdalam kandungan.
Penulis adalah TIm Mahasiswa Hukum USU
Tim Penulis:
Nikolas Saputra 220200212,
Enzel Fransena 220200214,
Devina Caterine Oktavia Lubis 220200405,
Annisa Hafizhah S.H.,M.H.