PILAR MERDEKA – Direktur Utama PTPN IV PalmCo, Jatmiko Santosa, menegaskan bahwa kolaborasi menjadi kunci utama dalam mewujudkan ketahanan pangan dan energi nasional. Menurutnya, kerja sama dapat diwujudkan dengan meningkatkan produktivitas sawit petani yang saat ini masih memiliki ruang besar untuk dioptimalkan.
Pernyataan itu ia sampaikan di hadapan ratusan peserta seminar internasional The 2nd International Conference on Agriculture, Food and Environmental Science (ICAFES) 2025.
Acara yang digelar di Universitas Riau, Pekanbaru, Sabtu (30/8/2025), diikuti 60 dekan Fakultas Pertanian dari seluruh Indonesia, dosen, peneliti, hingga mahasiswa pertanian, dengan Jatmiko hadir sebagai keynote speaker.
Sejumlah pakar dari berbagai negara juga turut serta, di antaranya Johan Kieft, ahli lingkungan dari PBB, Dr Idesert Jelsma peneliti asal Belanda, Prof Ir Usman Pato lulusan Gifu University Jepang, serta akademisi dari Malaysia dan Filipina.
Dalam paparannya, Jatmiko menekankan bahwa ruang terbesar untuk memperkuat ketahanan pangan dan energi dari komoditas sawit terletak pada produktivitas petani.
“Ruang terbesar untuk improvement adalah dari sisi petani. Kita semua dapat berkolaborasi bersama, untuk meningkatkan produktivitas petani sawit Indonesia melalui intesifikasi,” kata Jatmiko.
Ia menambahkan bahwa peningkatan produktivitas petani merupakan salah satu dari dua fokus utama PTPN IV PalmCo dalam mendukung program nasional ketahanan pangan dan energi.
Saat ini, produktivitas petani sawit Indonesia masih berkisar 2–3 ton CPO per hektare per tahun, jauh tertinggal dibandingkan perkebunan korporasi yang bisa mencapai 6 ton.
Untuk mengurangi kesenjangan tersebut, PalmCo menjalankan berbagai inisiatif, mulai dari Program BUMN untuk Sawit Rakyat, penyediaan bibit unggul bersertifikat dengan lebih dari dua juta batang yang sudah diserap petani, skema off-taker yang mencakup lebih dari 10.200 hektare, hingga penguatan kelembagaan koperasi.
Hingga 2024, PalmCo telah mendukung pencairan dana BPDPKS untuk peremajaan sawit mitra KUD seluas 15.321 hektare.
Hasil kemitraan ini terlihat dari produktivitas plasma yang mencapai rata-rata 12,57 ton/ha, bahkan ada yang menembus 18,05 ton/ha, melampaui standar nasional 12 ton/ha.
“Peremajaan sawit rakyat (PSR) adalah kunci. Tanpa itu, kita akan kehilangan daya saing sekaligus melemahkan kontribusi sawit bagi ketahanan pangan dan energi.”Dan melalui forum ini, kami berharap ke depan kita akan saling berkolaborasi dan bersinergi untuk bersama-sama memperkuat inisiatif ini,” ujar Jatmiko dalam bahasa Inggris.
Menurutnya, jika kolaborasi intensifikasi berjalan optimal, maka selain memperkuat ketahanan pangan berbasis sawit, target pemerintah dalam implementasi biodiesel B50 pada 2027 juga bisa tercapai.
Target alokasi biodiesel ini diperkirakan membutuhkan sekitar 20,11 juta kiloliter.
Jatmiko juga menyoroti dampak perubahan iklim yang kini nyata memengaruhi sektor pertanian global, termasuk sawit Indonesia.
Ia mengingatkan agar Indonesia tidak mengulang sejarah seperti industri gula yang dulu menjadi eksportir, namun kini justru menjadi importir besar.
Data yang dipaparkan menunjukkan periode 2015–2024 sebagai dekade terpanas dengan konsentrasi CO₂ tertinggi.
Setiap kenaikan suhu 1°C dapat menurunkan hasil panen antara 3,1–7,4 persen, memicu fenomena ‘climateflation’, yakni kenaikan harga pangan akibat anomali iklim.
“Sehingga ini memerlukan solusi berkelanjutan yang hanya dapat diwujudkan melalui kolaborasi seluruh stakeholders, termasuk bapak ibu akademisi,” tuturnya lagi.
Sebagai produsen CPO terbesar di dunia dengan kontribusi 60% pasokan global, Indonesia memegang peranan penting.
Namun, industri ini menghadapi tantangan besar, mulai dari kesenjangan produktivitas petani dan korporasi, hingga tekanan regulasi keberlanjutan dari Uni Eropa.
“Jadi selain kunci meningkatkan produktivitas petani, dan penguatan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) juga harus berjalan berkesinambungan,” tegas Jatmiko.
PalmCo sendiri menunjukkan komitmen ESG melalui pengembangan energi baru terbarukan.
Hingga kini, perusahaan mengoperasikan 7 unit PLTBg dan 4 unit co-firing biogas dengan total kapasitas 9,3 MW. Selain itu, tengah diproses pengembangan 20 unit Compressed Biomethane Gas (CBG) dan 1 fasilitas Sustainable Aviation Fuel (SAF).
Menutup paparannya, Jatmiko kembali menekankan bahwa investasi strategis, kebijakan tepat, inovasi, serta kolaborasi erat antara petani dan industri merupakan fondasi penting untuk memperkuat ketahanan pangan dan energi Indonesia.
“Sekali lagi kami sampaikan, kolaborasi adalah kunci menuju solusi berkelanjutan. Kesempatan ini kami harap menjadi awal yang baik untuk bersama mewujudkannya,” pungkasnya. (*/Mons)