MEDAN, PILAR MERDEKA – Babe Kodrat, sapaan akrab Kodrat Wisnu Sugeng bagi para mahasiswa. Ia sosok dosen legendaris di BPLP, sekarang Politeknik Pariwisata (Poltekpar) Medan. Babe Kodrat itu bukan sekdar sapaan, tetapi tanda hormat, cinta dan kedekatan layaknya jalinan orang tua dan anak.
Pada Rabu (17/12), sekitar Jam 11.55 WIB, kami alumni tiba di kediaman Babe Kodrat di Jalan Bunga Stella 1, Nomor 44, Blok Kayu Raja, Medan Selayang. Silaturahmi itu merupakan ide spontanitas Rodiah Siregar alias Oddie, Alumni Angkatan ke II BPLP Medan di saat acara penyerahan donasi Alumni STM Poltekpar Medan di Kedai Kopi Mutiara.
“Kapan kita ke rumah Babe Kodrat,” cetus Oddie saat itu dengan nada bertanya kepada rekan-rekan alumni di Kedai Kopi Mutiara. Oddie pun langsung konfirmasi lewat handphone untuk rencana bertemu Babe Kodrat.
“Be, kami mau berkunjung ke rumah Babe, Rabu, tanggal 17 Desember ini ya,” pinta Oddie. “Oke Oddie, jangan lupa bawa jengkol rendang ya,” jawaban Babe singkat dengan suara khasnya.

Babe Kodrat kini tak lagi selincah dulu. Ia berjalan dengan tongkat dan mengenakan topi baret. “Babeh kena urat terjepit, jadi harus pakai tongkat,” katanya pelan. Namun senyum dan kehangatan itu tak berubah. Pelukan dan salaman terasa seperti pertemuan anak dengan orang tua yang lama tak bersua.
Kami larut dalam obrolan. Babe bercerita sambil tertawa. Ia masih ingin bersepeda, meski tak sejauh dulu. “Kalau gowes masih mau, tapi minta tolong dipegangi orang,” ujarnya, disambut tawa kami semua.
Sekitar pukul 12.39 WIB, kami makan bersama. Ayam bakar, rendang jengkol, sayur rebusan, dan sambal buatan Rodiah tersaji di meja makan. Suasana sederhana, namun penuh rasa syukur dan keharuan.
Sosok Babe Kodrat
Babe Kodrat lahir pada tanggal 19 Agustus 1954. Ia memiliki dua putri, Puput dan Kiki. Almarhum papanya lahir di Desa Sibebek, dataran tinggi Dieng Jawa Tengah, dan Almarhumah Ibunya dari Sumatera Barat. Sejak kecil, ia dipanggil Itat oleh keluarga dan teman-temannya.
Di masa muda, Babe dikenal sebagai pribadi yang tuntas. Apa pun yang dipelajarinya harus dikuasai sampai selesai. Ia adalah penyandang DAN III Internasional Taekwondo di dua aliran besar, ITF (International Taekwondo Federation) dan WT (World Taekwondo, dulu WTF).
“Babe belajar Taekwondo sejak usia 17 tahun, diajar langsung Mr. Kang dari Korea, kemudian Babe pernah menjadi sparring partner aktor laga Indonesia, Barry Prima,” kenangnya.

Babe adalah pecinta sepeda sejati dan Penggiat Sepeda Federal Medan dan sekitarnya (Femeds) yang bernaung di MTBFl. “Rumah saya kini dikenal sebagai Rumah Federalist, komunitas pecinta sepeda Federal Indonesia.” ujar Babe yang memiliki sejumlah koleksi sepeda federal.
Tak hanya itu, lanjutnya lagi, Babe juga menyukai motor cross, offroad, dan suka menyanyi. Bahkan di Yogyakarta Babe sempat sekolah musik dan pernah tinggal di Jalan Pengok Yogya di rumah Almarhum Pak Kusbini, sang pencipta lagu “Padamu Negeri.”
Tak Pernah Menyangka Jadi Dosen
“Siapa sangka Babe bisa jadi dosen. Babe sendiri tidak menyangka bakal jadi dosen,” katanya lirih.
Perjalanan hidupnya tak mudah. Ia pernah berpindah-pindah dari berbagai kota, mulai dari kota kelahirannya Medan, Surabaya, Jember, Dieng, Yogyakarta, Jakarta, Bandung, lalu kembali lagi ke Medan.
Bahkan Ia pernah ngamen dan menjadi penyanyi di klub malam Bandung. Setiap hari harus hafal 50 lagu. Hidupnya penuh warna, penuh pengalaman.
Babe kemudian kuliah di Aktripa Bandung, Jurusan Binawisata. Setelah lulus, ia melamar kerja ke banyak tempat namun belum berhasil. Ia sempat bekerja di travel, kapal pesiar selama enam bulan dan lainnya, hingga akhirnya seorang teman kuliah saat di Aktripa Bandung memberinya kabar tentang ada lowongan di Kementerian Perhubungan.
Babe diterima. Tak lama, pegawai berlatar pariwisata dipindahkan ke Kementerian Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi (Menpar Postel – Kementerian Pariwisata). Babe menjadi angkatan pertama. Kini, ia telah enam tahun purna bakti dari Kementerian Pariwisata.
Dosen yang Dicintai Mahasiswa
Babe Kodrat dikenal sebagai dosen yang akrab dan stylish. Ia mengajar dengan santai namun serius. Enerjik, ramah, tegas, dan selalu perhatian pada semua mahasiswa. Maka tidak heran banyak mahasiswanya dulu masih menjalin komunikasi dengan Babe. Bahkan berkunjung ke rumah Babe.
Di masa Babe masih aktif mengajar, ia sebagai dosen Mata Kuliah Keselamatan Kerja dan Kepariwisataan.
“Babe kalau ngajar itu asyik. Kesannya santai tapi materinya mudah dicerna dan tidak pernah membosankan sehingga mata kuliah yang diajarkan Babe tidak terasa selesai,” kenang Monang alumni angkatan ke-III.
Lanjut Monang lagi, saya dan teman-teman mahasiswa punya pengalaman 30 tahun lalu bersama Babe, saat Camping di Danau Lau Kawar, Desa Kutagugung, Kecamatan Naman Teran (dulu Kecamatan Simpang Empat), di bawah kaki gunung berapi Sinabung, Kabupaten Karo. Babe saat itu datang menggunakan PW Safari.
“Masih ingat betul kenangan itu, api unggun berkobar, cahaya hangatnya menerangi wajah-wajah ceria di sekelilingnya. Suasana malam yang sunyi jadi hidup dengan tawa, cerita, dan wejangan Babe. Larut malam, Babe berbagi pandangan hidup. Paginya, kami beberapa orang naik ke atas Gunung Sinabung,” ungkap Monang.
Oddie pun mengingat gaya khas Babe yang selalu tampil rapi, stylis dan gaul. “Kalau Babe masuk kelas, kami senang. Orangnya asyik dan keren. Biasanya Babe waktu di BPLP Medan kalau mengajar ke kampus pakai PW Safari,” ujarnya.
Selain mengajar, Babe juga melatih Taekwondo setiap hari Jumat. Ia meninggalkan kesan mendalam bagi mahasiswanya, bukan hanya sebagai dosen, tetapi sebagai figur ayah.
Pesan Hidup dari Babe
Siang itu, di rumah sederhana penuh cerita, Babeh menutup perbincangan dengan satu pesan yang melekat kuat di hati kami.
“Jangan pernah berhenti untuk berbuat baik.”
Kalimat singkat, namun lahir dari perjalanan hidup panjang seorang Babeh Kodrat, dosen legendaris yang mengajarkan lebih dari sekadar ilmu—ia mengajarkan arti hidup. (Monang Sitohang)

