PILAR MERDEKA – Cocote tonggo berarti mulut tetangga yang tak bisa diam. Bicara nyerocos tanpa batas dan nyinyir. Serba kepo (ingin tahu) dan julid (sinis).
Istilah cocote tonggo adalah bahasa Jawa kasar Mataraman.
Di film bertajuk ‘Cocote tonggo’ yang disutradarai Bayu Eko Moektito alias Bayu Skak, penggunaan bahasa Jawanya hampir 80% (ada teks bahasa Indonesianya) dan selebihnya bahasa Indonesia.
Ini adalah film yang dibuat Bayu Skak setelah Yo Wis Ben, Yo Wis Ben 2, Yo Wis Ben 3, Yo Wis Ben finale, Lara Ati dan Sekawan Limo. Semuanya berbahasa Jawa.
Film produksi Skak Studios dan Tobali Films ini mengangkat isu fenomena realitas sosial yang dibalut komedi.

Pasutri Luki dan Murni menjual jamu kesuburan di kampung padat di Solo.
Mencuat sindiran dan nyinyiran yang bukan dari dalam rumah tangga tapi dari opini masyarakat tetangga.
Pemeo n sindiran kenapa jualan jamu kesuburan kok penjualnya belum dikaruniai anak ?
Ini opini dan gosip yang muncul dari pengaruh hidup berdampingan dan bertetangga.
“Ini tekanan psikologis yang serius dan harap dimaklumi. Masalahnya pasutri Luki dan Murni kuat atau enggak ditengah himpitan hidup bertetangga di Indonesia,” tanya Bayu Skak tidak melucu.
Ihwal bahasa Jawa yang digunakan di film dikatakan Bayu Skak ada coach bahasa Jawa.
“Mungkin saya salah atau kurang tepat. Karena bahasa Jawa ada di timur, barat dan tengah. Bahasa Jawa dialek Solo dan Jogja berbeda dengan gaya dan style bahasa Jawa khas Jawa Timur. Beda lagi bahasa Jawa model ngapak di Banyumas dan di pantura Tegal dan Pekalongan. Ini saya pelajari di ilmu linguistik,” papar Bayu Skak.
Hampir sepanjang adegan, Cocote Tonggo menggiring penonton terpingkal. Baik melalui ‘pingpong’ dialog maupun peristiwa dan situasi yang dibangun oleh para pelakunya.
Pemeran yang segerobag bermain los dan segar.
Ayushita Nugraha, Dennis Adhiswara, Bayu Skak, Marwoto, Asri Welas, Yati Pesek, Devina Aureel, Firza Valaza, Sundari Soekotjo, Benedictus Siregar sampai cameo Lesti Kejora dan Rezki Billar tampil apa adanya tapi ‘roh’ sosok yang dibawakan sungguh ciamik dan pas.
Lokasi syuting diambil di Kampung batik Laweyan, Lokananta dan Colomadu yang seluruhnya di Solo tidak menimbulkan stigma melainkan mencuatkan kejadian nan menggelitik dan mengocok perut penonton.
Sebuah kritik sosial di lapisan menengah bawah .yang patut diberi punten. Bravo untuk Bayu Skak ! (pik)