BerandaKolomTapanuli dan Jeritan Alam yang Terabaikan

Tapanuli dan Jeritan Alam yang Terabaikan

Oleh Hery Buha Manalu
Gelombang banjir bandang danĀ longsor di Pulau Sumatra pada akhir November 2025 , dengan dampak terparah terjadi di kawasan Tapanuli Raya, bukan sekadar peristiwa alam biasa. Kini, bencana itu telah menjadi alarm ekologis dan moral bagi bangsa ini, mengungkap kegagalan panjang dalam menjaga relasi manusia dengan alam.

Menurut laporan terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), total korban jiwa akibat banjir dan longsor di tiga provinsi, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh, hingga 30 November 2025 telah mencapai 442 orang meninggal, sementara 402 orang dinyatakan hilang.

Dari seluruh wilayah terdampak, Sumatera Utara menjadi yang paling parah. Data terbaru menyebutkan bahwa di provinsi ini terdapat 217 korban meninggal dan 209 orang hilang per 1 Desember 2025.

Akses ke banyak kabupaten dan kota di Tapanuli Raya masih terputus akibat longsor dan rusaknya jalan, menjadikan verifikasi korban dan distribusi bantuan sangat lambat.

Tak hanya korban jiwa, ribuan rumah hancur atau terendam, desa-desa terisolasi, fasilitas publik rusak, serta jalan dan jembatan putus. Banyak warga mengungsi, kehilangan mata pencaharian, dan menghadapi ketidakpastian masa depan.

Hujan Ekstrem dan Kerusakan Hulu, Kombinasi Fatal

Penyebab utama bencana ini menurut para pemantau lingkungan bukan hanya hujan deras akibat cuaca ekstrem, tetapi terutama kerusakan ekologis di daerah hulu, yang selama ini menjadi penyerap dan penahan air alami. Hutan, sungai, dan kawasan konservasi yang seharusnya berfungsi sebagai ā€œsponsā€ telah rusak, banyak lahan beralih fungsi, deforestasi, serta izin ekstraktif yang merusak daya dukung alam.

Sebagaimana ditegaskan oleh Direktur WALHI Sumatera Utara (WALHI Sumut), Rianda Purba: ā€œHutan yang seharusnya menyerap dan menahan air sudah hilang; saat hujan ekstrem, air tidak tertahan, diluapkan langsung ke sungai dan permukiman.ā€

BACA JUGA  Andaliman, Cita Rasa tak Terlupakan dari Toba

Menurut WALHI, kerusakan ekosistem di hulu telah mengurangi kemampuan alam untuk menahan limpasan air, menjadikan hujan ekstrem sebagai pemicu bencana besar, bukan sekadar hujan biasa.

Singkatnya, ini bukan eksperimen cuaca, ini adalah konsekuensi langsung dari kesalahan manusia dalam menata alam.

Ketidakadilan Ekologis dan Dampak Sosial terhadap Rakyat Pinggiran

Khususnya mereka yang paling rentan: petani kecil, masyarakat adat, warga desa bantaran sungai atau kaki bukit, adalah pihak yang paling menderita. Mereka jarang terlibat dalam keputusan soal izin lahan atau investasi besar. Namun saat bencana, mereka kehilangan rumah, ladang, akses ke pasar, dan pekerjaan.

Banjir bandang di Tapanuli Raya menunjukkan wajah nyata dari ketidakadilan ekologis, biaya ekologis dibayar oleh yang paling tak berdaya. Infrastruktur rusak, produktivitas pertanian terhenti, akses ekonomi terputus, sementara pemulihan dan kompensasi belum jelas.

Bagi banyak keluarga, bencana bukan hanya kehilangan fisik, tapi kehilangan identitas: kampung, tanah leluhur, mata pencaharian. Trauma jangka panjang, migrasi paksa, komunitas tercerai-berai, semuanya bisa terjadi jika tidak ada tindakan sistemik.

Mendesak, Reformasi Struktural dan Pemulihan Ekosistem

Bencana kali ini tidak bisa dianggap sebagai ā€œkejadian alam yang tak terhindarkanā€. Ia bisa dicegah, jika ada keberanian untuk bertindak di hulu. Berikut beberapa langkah yang harus segera dilakukan:

Pemerintah pusat dan daerah perlu menghentikan izin baru di kawasan hulu yang rawan longsor dan banjir, khususnya di daerah aliran sungai (DAS) dan area hutan kritis.

Audit menyeluruh terhadap semua konsesi ekstraktif (pertambangan, perkebunan, pemanenan kayu, infrastruktur) di kawasan rawan, dengan opsi pencabutan izin jika terbukti merusak.

Program reboisasi, restorasi DAS, dan rehabilitasi ekosistem, melibatkan masyarakat lokal, adat, dan komunitas adat sebagai pemangku kepentingan.

BACA JUGA  Pendekatan Pro-Life dalam Hukum Indonesia: Larangan dan Pengecualian Aborsi

Penataan ulang tata ruang berbasis risiko bencana, termasuk konversi lahan, pola pemukiman, dan rencana pembangunan infrastruktur.

Kompensasi dan rehabilitasi sosial-ekonomi bagi korban, bukan hanya bantuan jangka pendek, tetapi pemulihan mata pencaharian, ganti rugi yang adil, serta perlindungan hak atas tanah adat.

Langkah-langkah ini bukan hanya soal teknik atau ekonomi, ia adalah soal keadilan, martabat manusia, dan tanggung jawab moral terhadap ciptaan.

Panggilan Moral dan Rekonsiliasi Spiritual

Sebagai bangsa dengan akar budaya dan spiritual yang kental, kita perlu menyadari bahwa alam bukan objek eksploitasi, ia adalah bagian dari kehidupan bersama. Banjir bandang di Tapanuli Raya bukan hanya tragedi manusia, tetapi jeritan alam yang diperlakukan seperti komoditas.

Ketika hutan ditebang, sungai dijadikan pembuangan, dan pegunungan dikuliti habis, kita tidak hanya merusak lingkungan. Kita merusak relasi sakral antara manusia dan ciptaan. Ini adalah krisis etik dan spiritual.

Panggilan kita hari ini bukan sekadar membangun kembali, tetapi bertobat secara ekologis. Kita dipanggil untuk mengubah paradigma pembangunan, menghormati hak-hak hidup alam, dan menjunjung tinggi keadilan ekologis.

Bagi komunitas adat, petani, masyarakat pinggir sungai, ini bukan retorika, ini tentang kelangsungan hidup. Bagi generasi masa depan, ini tentang warisan, apakah kita mewariskan krisis atau harapan.

Banjir bandang di Tapanuli Raya adalah cermin besar bagi bangsa Indonesia. Ia menunjukkan bahwa ambisi ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan daya dukung alam hanya akan melahirkan bencana. Ia memaksa kita merefleksikan kembali: apa arti pembangunan jika mengorbankan kehidupan bersama?

Data per 1 Desember 2025 sudah berbicara, ratusan jiwa hilang, alam dan manusia terluka, dan pemulihan akan mahal. Tapi harga paling mahal adalah bila kita terus diam, terus membiarkan alam berseru dalam penderitaan.

BACA JUGA  Air Terjun Janji Menggenapi Keindahan Danau Toba

Kita memiliki pilihan, membiarkan duka berlalu seperti badai yang singgah, atau bangkit bersama, memulihkan alam, menjaga komunitas, dan menata ulang cara kita hidup. Tapanuli telah menangis. Kini saatnya bangsa ini bertobat secara ekologis, sebelum jeritan itu berubah menjadi ratapan abadi.

Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana STT Paulus Medan, Pemerhati Lingkungan dan Budaya

Google

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

- Advertisment -

DAERAH